[CERPEN] Es Campur Terakhir Sebelum Tarawih
![]() |
ilustrasi es campur (pexels.com/Shameel mukkath) |
Langit senja masih menyisakan semburat jingga ketika Fahmi berdiri di depan Masjid Al-Hidayah. Beduk tua di serambi masjid itu—yang dulu selalu dipukul ayahnya sebelum azan—kini ditutupi sarang laba-laba. Tangannya gemetar menggenggam sajadah lipat.
“Dua belas tahun”, batinnya. Dua belas tahun ia menghindari tempat ini.
“Fahmi, ayo! Nanti saf depan penuh!”
Suara ayahnya bergema lagi di kepalanya. Suara itu sama kerasnya dulu, saat ia menarik-narik lengan baju Fahmi kecil yang ketakutan.
1999, malam ke-17 Ramadan.
“Tapi aku takut gelap, Yah.” Fahmi mengedipkan mata, berusaha tak menangis. Ayahnya—pria bertubuh tegap dengan kumis melintang—menghela napas sambil memakaikan peci putih di kepala anaknya yang berusia 8 tahun.
“Masjid cuma 200 meter dari sini. Lihat, lampunya masih nyala.” Jari ayahnya menunjuk ke arah masjid yang dari sini seperti kotak korek api bercahaya. “Ayah janji, habis Tarawih, kita beli es campur di warung Bu Lilis.”
Fahmi menggosok hidungnya yang gatal. Es campur. Es campur dengan sirup merah merek “Cap Jempol” yang selalu bikin lidahnya merah. “Nanti … Ayah jangan lupa, ya.”
“Lupa? Ayahmu ini sopir angkot, bukan sopir delman!” Ayahnya tertawa sambil menggendong Fahmi kecil ke bahu. Mereka melangkah di jalan setapak berbatu, diterangi remang-remang lampu minyak dari rumah-rumah kayu.
Salat Isya baru saja usai ketika mereka tiba. Fahmi terpana. Masjid yang dari jauh tampak kecil, ternyata dipenuhi ratusan jemaah. Aroma minyak wangi dan keringat bercampur dalam udara lembap. Ayahnya menyodorkan sebungkus permen kopi.
“Taruh di saku. Kalau ngantuk, isap satu.”
Imam mulai membaca Al-Fatihah. Suaranya mengalun dalam, seperti ombak yang naik turun. Fahmi mencuri pandang ke kanan-kiri. Beberapa anak-anak seusianya berbisik-bisik lirih. Sementara para jemaah dewasa dan tua terlihat khusyuk dengan mata tertutup, bibir bergetar membisikkan ayat. Tiba-tiba, ia merasa jadi bagian dari sesuatu yang besar—seperti biji salak di tengah tumpukan buah nangka.
Takbir. Rukuk. Sujud.
Saat salam penutup, Fahmi tersadar: ia takjub. Tak ada lagi ketakutan yang tadi sempat menghampirinya. Bahkan, saat listrik padam dan masjid gelap sesaat, ia hanya memegang erat jari ayahnya yang berkapalan.
“Yah, es campurnya …,” bisiknya sambil menarik lengan Ayah.
“Sabar … Ayah salaman dulu sama Pak Imam.”
Akan tetapi, Fahmi merajuk. Air matanya meleleh. “Aku mau sekarang!”
Ayahnya menghela napas. “Iya, iya. Ayah antar ke warung dulu.”
***
2024, malam ke-17 Ramadan.
“Assalamu’alaikum ….”
Salam itu ia ucapkan pelan ketika memasuki Masjid Al-Hidayah. Masjid itu masih sama: dinding kapur yang mengelupas, karpet merah pudar, dan kaligrafi “Allah” di mihrab yang cat emasnya sudah luntur. Namun, tak ada lagi jemaah anak-anak. Hanya para lansia yang saling bersandar di saf belakang.
Ia duduk di pojok, tepat di tempat ia dan ayahnya dulu salat. Sajadahnya masih tergulung. “Aku harus bisa,” desaknya dalam hati. Namun, dadanya sesak. Gambaran truk gandeng yang menabrak angkot Ayah—berita yang ia dengar diam-diam dari percakapan orang dewasa—kembali menghantui.
“Fahmi, kamu nggak salah,” kata Ibu berulang kali setelah pemakaman. Namun, Fahmi tak percaya begitu saja. Kalau saja ia tak merengek minta es campur, Ayah tak akan terburu-buru menyeberang jalan.
***
1999, 15 Menit Sebelum Kejadian.
“Es campurnya enak, Yah!” Fahmi menyeruput sampai pipinya menggembung.
Ayah tertawa, mengelus kepalanya. “Jangan buru-buru. Nanti perutnya kembung.”
Bu Lilis, pemilik warung, menyodorkan gorengan. “Ditambah risol, Bang? Masih hangat.”
“Aduh, Mbak. Dompet Ayah sudah kempes dicemplungin si Raja Es Campur ini.” Ayah bergurau sambil mengacak-acak rambut Fahmi.
Allahu akbar.
Allahu akbar.
Tiba-tiba, azan Isya berkumandang. “Ayo, kita salat Tarawih lagi di rumah. Biar ibumu nggak marah.” Ayah berdiri, merogoh dompet.
Fahmi menggeleng. “Aku mau es lagi, Yah!”
“Besok saja. Kalau kebanyakan, nanti kamu sakit. Lagian ini juga sudah malam, jalanan sepi ….”
“NGGAK MAU! AKU MAU SEKARANG!” teriak Fahmi, menendang kursi plastik hingga terjungkal.
Diam.
Ayah memandangnya lama. Lalu, dengan wajah lelah, ia berbalik ke Bu Lilis, penjual es campur. “Mbak … tolong temani Fahmi sebentar. Ayah ambil uang di angkot.”
“Loh, Bang? Angkotnya kan parkir di seberang jalan itu.”
“Iya, bentar saja.”
Fahmi tak melihat wajah Ayah terakhir kali. Ia sibuk menjilat tetesan sirup di gelas.
***
2024, malam ke-17 Ramadan.
Fahmi berlari keluar masjid. Napasnya tersengal. Ia tak sanggup melanjutkan salat Tarawih di masjid. Tak terasa, ia berhenti di warung Bu Lilis, warung es campur yang ternyata masih berdiri di pojok jalan meski kini berpagar kaca dan neon box.
“Es campurnya, Bang?” tanya perempuan paruh baya di belakang meja.
Fahmi tercekat. “Bu … Bu Lilis?”
Perempuan itu mengernyit. “Oh, Fahmi! Wah, sudah jadi bujang ganteng, ya”
“Bu … masih jualan di sini?”
“Masih. Tiap Ramadan.” Bu Lilis menyeka gelas plastik. “Dulu, kamu dan ayahmu langganan tiap malam, ya,” lanjut Bu Lilis sambil melirik Fahmi.
Fahmi mengatupkan mata. “Bu … kecelakaan waktu itu … apa Ibu lihat?”
Bu Lilis diam. Lama. Lalu, ia menarik kursi. “Duduklah.”
“Ayahmu itu … sebenarnya sudah balik ke sini.” Suara Bu Lilis terdengar serak. “Tapi lihat kamu lagi asyik minum, dia bilang mau beliin kacang rebus buat ibumu. Baru nyeberang … truk gandeng itu ….”
Fahmi menggigit bibir sampai terluka kecil. Selama ini, ia mengira Ayah menuruti rengekannya. Ternyata ….
“Fahmi,” Bu Lilis memegang tangannya, “ayahmu nggak pernah marah. Malah, waktu di ambulans, dia masih pegangin kacang rebus sama duit buat bayar esmu,” kata Bu Lilis sembari menyerahkan segelas es campur kepada Fahmi.
“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri,” lanjut Bu lilis pelan.
Fahmi terdiam. Tangannya sibuk memegang sendok, mengaduk-ngaduk es campur. Namun, pikirannya melayang. Malam ini ia memutuskan untuk tidak langsung pulang ke rumah.
***
Pukul 23:45, tengah malam.
Fahmi berdiri di pinggir jalan itu. Jalan nasional yang kini semakin lebar, dipenuhi marka zebra crossing dan lampu lalu lintas. Di seberang sana—di halte angkot yang sudah direnovasi—ia membayangkan ayahnya berlari menyeberangi jalan, membawa plastik kacang rebus.
Entah kenapa malam ini terasa sunyi. Di tengah kesunyian itu, tiba-tiba angin malam berembus kencang. Sebuah bayangan samar muncul: pria berkumis tebal dengan peci miring, tersenyum sambil mengacungkan gelas es campur.
“Yah?” Fahmi terisak.
Bayangan itu mengangguk. “Salat Tarawihnya nggak boleh bolong lagi ya, Dek.”
“Tapi … tapi aku ….”
“Ayah senang melihatmu kembali ke masjid.”
“Tapi, Yah, aku yang salah! Kalau saja waktu itu aku tidak merengek ….”
“Dosa itu milik truk yang ngebut, bukan milik anak yang minta es campur.”
Bayangan itu memudar, digantikan bunyi klakson truk dari jauh. Fahmi jatuh berlutut. Setelah sekian lama, 12 tahun ia mengubur diri dalam penjara rasa bersalah. Dan kini, di tengah aroma aspal dingin dan es campur yang manis, ia akhirnya bisa menangis.
***
2024, malam ke-18 Ramadan.
Fahmi berdiri di saf depan, persis di tempat ia dan ayahnya dulu biasa salat Tarawih. Di sakunya, ada sebungkus permen kopi. Sebelum azan bergema, Fahmi melirik anak kecil di sebelahnya, lalu ia membisikkan sesuatu ke anak kecil di sebelahnya.
“Nih, kalau ngantuk, isap satu.”
Anak itu tersenyum canggung. Fahmi mengangguk. Sementara itu, di luar lampu warung es campur Bu Lilis berkedip-kedip seperti bintang malam yang tak pernah padam.
***
Tentang Penulis
Desinta Mega merupakan seorang pengajar serabutan sekaligus content writer. Saat ini ia tergabung dalam komunitas Kawan GNFI dan Ufuk Literasi. Beberapa artikelnya telah dimuat di berbagai media daring. Tertarik menulis fiksi karena gemar mengamati kondisi kanan-kiri.
Posting Komentar