[CERPEN] Kedai Salok

Daftar Isi
ilustrasi berbelanja (pexels.com/Anna Shvets)

“Akan saya sampaikan, hasil sidang isbat penetapan bulan Ramadan tahun 1446 Hijriah jatuh pada tanggal 1 Maret 2025. Ditetapkan di Jakarta, 28 Februari 2025 tertandatangani Menteri Agama Republik Indonesia ….” (Siaran live TikTok) 

Tok-tok-tok!

“Ningi, ayo siap-siap ke masjid! Masjid Ulul Quran saja kah, ya? Siapa tau dapat makanan, ha-ha-ha,” ucap seseorang yang dari suaranya aku yakin adalah Neyna. Gadis cantik itu berasal dari Bandung.

“Bentar, bentar, aku masih ngedit pamflet ini!” jawabku kepada Neyna setengah berteriak. Saat itu aku sedang sibuk dengan HP-ku, mengedit pamflet di aplikasi Canva. Setelah azan Isya berkumandang, aku dan Neyna menuju masjid untuk salat Isya sekaligus Tarawih malam pertama puasa. 

***

“Ney, coba cek pamflet yang aku kirim, menurutmu bagaimana?” tanyaku pada Neyna. 

Neyna membuka WhatsApp-nya. “Njir?” Mata Neyna membulat begitu melihat gambar yang kukirim. (“Kamu mau jualan, Ning? Ada aja gebrakanmu, ya.” Neyna tertawa.

“Hish, kamu, nih. Jadi gimana?” 

“Menurutku udah oke, kok. Nggak ada yang perlu direvisi, udah perfect itu. Aku dukung kamu, Ning, biar aku bisa makan masakanmu terus, ha-ha-ha,” ucap Neyna sambil menepuk pundakku. 

“Sebenarnya sih aku masih ragu. Tapi nggak tahu gimana, tiba-tiba ngalir aja gitu. Oke deh, makasih ya, Ney. Bantu aku post story sekarang, ya!” Sedetik kemudian, aku tersadar sesuatu. “Eh? Sekarang banget, ya? Bentar ….

 Aku langsung melirik jam tangan, sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB. Sepertinya masih oke. 

Aku dan Neyna akhirnya mem-posting pamflet di story WhatsApp. Tidak hanya Neyna yang kumintai bantuan, aku juga menghubungi teman dekatku, Putri. Kami serentak mem-posting, berharap ada yang memesan. Pamflet yang aku buat itu berisi informasi jual paket ayam goreng terasi daun jeruk. Ide ini sangatlah dadakan. Sore hari itu setelah pulang mengajar, aku langsung rebahan dan membuka TikTok. Kebetulan sekali isi FYP-ku rekomendasi makanan takjil. Nah, dari situlah tebersit di hati untuk berjualan. Memang ya, gen Z ini sangatlah banyak ide, tetapi maju mundur buat mencoba. 

Bulan Ramadan tahun ini, aku ingin sekali membuat gebrakan baru, sesuatu yang berbeda dan tidak pernah kulakukan di tahun sebelumnya selama kuliah. Sebelumnya, aku fokus untuk penelitianku di luar kota. Jadi, aku tidak ada kesempatan buat mencoba berjualan sekaligus mengembangkan hobi. Aku juga niatkan berjualan selama bulan Ramadan selain untuk nambah penghasilan dan branding, juga ingin berbagi lebih. Caranya dengan membuat porsinya lebih banyak dengan harga yang tetap terjangkau. Hal itu pastinya dicari mahasiswa yang kebanyakan adalah perantau. 

Aku mencatat keperluan bahan dan mengecek alat-alat untuk masak. Semuanya sudah di-list dan tinggal belanja besok. Jualan ini aku menggunakan sistem pre-order agar mudah bagiku untuk mengatur pembelian bahan dan tidak ada stok yang mubazir nantinya. Pesanan itu mulai ready di hari keempat puasa. Aku berharap teman-temanku antusias untuk mencoba. 

***

Pagi harinya kubuka WhatsApp. Muncul banyak notifikasi dari orang yang me-replay story-ku. 

[Kak Ningi, aku mau satu.] 

[Boleh dicoba satu ya, Ning.]

Putri juga mengirimi aku pesan. [Aku satu, Ning, lalu buat temenku yang dikos ini tiga ya. Buat Tyas dan Mbak Novi.]

[Lia satu juga, Kak Ningi, tapi aku ambil langsung di kos Kakak, ya. Sudah lama kita tidak berjumpa, malah jadi agenda terus hahaha.] Itu pesan dari salah satu adik tingkatku.

Masih banyak lagi pesan masuk dari teman-teman yang mau memesan makananku. Aku harus mencatatnya satu per satu.

***

Hari pertama aku berjualan pun tiba. Pagi hari, aku membeli ayam, sayur-sayuran pelengkap, dan bumbu dapur. Sampai di kos, aku langsung mengolah ayam dan menyiapkan semua bahan yang akan diolah. Tak sekali-dua kali Neyna menyapaku. Posisi pintu kamarku terbuka. 

“Butuh bantuan nggak, Ning? Gabut nih gue,” ucap Neyna sambil asyik bermain game. 

“Tidak perlu, Ney. Kamu tinggal tunggu matang saja. Repot entar aku kalau ada kamu,” balasku dengan nada mengejek. 

Sore hari pun tiba. Aku sibuk sekali mondar-mandir ke kamar dan dapur. Tak lupa, Neyna juga terus mengganggu, tetapi juga membantu. Sepertinya dia kasihan melihatku sedikit kewalahan. Setelah semuanya siap, aku mulai mengantar pesanan, dibantu juga sama Neyna. Aku juga menambahkan sticky note di setiap kotak dengan tulisan “Selamat berbuka puasa, enjoy 😊”. 

Semuanya berjalan lancar dan yang terakhir datang mengambil pesanan ialah adik tingkatku, si Lia. Kami berpelukan karena sudah lama tidak bertemu, mungkin sudah 2 tahunan. Itu pun pertama kali kami berjumpa saat dia masih mahasiswa baru. Aku ingat sekali momen itu karena Lia merupakan keponakan guruku di SMA dan kami berjumpa di kampus. 

Ternyata sudah hampir magrib. Aku meminta Lia untuk berbuka di kosku saja. 

“Kak Ningi, ini buat Kakak. Terima ya, Kak, semoga Kakak suka. Maaf, Lia hanya bisa memberikan ini,” ucap Lia sambil memberikan totebag yang isinya banyak sekali makanan ringan. 

“Loh, loh … dalam rangka apa ini, Lia? Ngapain kamu repot-repot bawa beginian,” tanyaku dengan nada bingung. 

“He-he-he, tidak ada apa-apa, Kak Ningi, ini buat Kakak. Udah lama aku mau ngasih ini, tapi kita nggak pernah ketemu, kan? Nanti baca aja pesannya ya, Kak!” Lia tersenyum padaku. 

Kami selanjutnya mengobrol panjang, membahas apa saja, sampai tidak terasa azan Isya berkumandang. Kami siap-siap ke masjid untuk Tarawih. Setelah ibadah selesai, kami lanjut mengobrol. Banyak sekali topik yang dibicarakan, pastinya seputar perkuliahan. Seru sekali waktu kami berjumpa itu hingga tak terasa sudah pukul 9 malam. Lia pun pamit pulang.

“Jangan lupa dibaca, Kak Ningi, tulisan di kertas itu! Jajannya juga dimakan ya, Kak. Aku nggak tahu Kak Ningi suka apa, jadi aku beliin yang asin-asin sama yang manis juga, he-he. Tapi liat Kak Ningi aja udah manis sih, ha-ha-ha.” Lia menyalakan motor sambil melempar senyum.

“Eh, dasar kamu ini, ya. Hati-hati di jalan, Lia. Besok-besok kalau senggang kita Tarawih bareng, keliling masjid di sekitar kampus!” balasku padanya sambil melambaikan tangan.

***

Aku membuka totebag yang berisi banyak sekali camilan dari Lia. Tak lupa di dalamnya ada secarik kertas yang ditulis lebih dari satu halaman. Aku pun membukanya, tak terasa diri ini meneteskan air mata. Isinya sangat menyentuh hati. 

Kak Ningi, snack kecil ini salah satu bentuk rasa terima kasih aku ke Kak Ningi yang udah berjasa besar untuk hidup aku, terutama kehidupan perkuliahan. Mungkin, tanpa bimbingan dari Kak Ningi dulu, belum tentu aku ada di titik sekarang. 

Aku salah satu dari sekian banyak orang yang ingin melihat Kak Ningi mencapai hal-hal yang Kak Ningi harapkan. Semoga proses Kak Ningi dilancarkan dan dimudahkan. Sehat dan bahagia selalu tentunya untuk Kak Ningi dan keluarga.

Pesan yang sangat indah kudapatkan di awal bulan Ramadan ini serta doa dan harapan di dalamnya. Bagaimana hati ini tidak bergetar, bahkan tidak menyangka. Hal baik yang kita berikan kepada orang lain tanpa sadar sangat membekas di hati mereka, memberikan kesan yang baik pula. Aku tidak berharap akan balasan itu, tetapi ini membuatku semakin percaya pada firman Allah Swt. yang maknanya, ‘bahkan kebaikan sekecil biji sawi pun akan Allah balas dengan kebaikan yang lebih atau sangatlah besar tanpa kamu duga’. Allah tahu diriku saat ini sedang banyak ujian, makanya dihadirkan Lia dengan jalur tak terduga dari aku berjualan. 

***

Jualanku disambut baik oleh teman-temanku. Aku meminta kepada mereka yang sudah membeli untuk me-review dan memberikan kritik saran untuk masakanku. Ternyata responsnya positif semua. Mereka sangat suka, bahkan mau pesan lagi jika aku kembali membuka pre-order. Puas sekali rasanya dan bersyukur bisa menjual hasil buatan tangan sendiri. 

Hari pun berlalu, aku rutin mem-posting pamflet jualanku dan review dari teman-temanku. Banyak dari mereka yang membalas story-ku untuk membeli lagi. 

Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB, muncul notifikasi dari WhatsApp yang ternyata dari dosenku. Jarang sekali ada dosen yang membalas story-ku malam-malam. 

[Mbak Ningi jualan sekarang? Bukannya sibuk mengajar di sekolah? Kamu ada bakat wirausaha, nih. Saya modalkan deh, harus dikembangkan ini, kamu tahu peluangnya!]

Seperti disambar petir, tetapi ini menyala sekali. Kaget aku membaca pesan dari dosenku. Bingung pula menjawabnya. 

Aku pun membalas chat-nya. [Iya, Ibu, iseng saya sambilan mengisi kegabutan pulang ngajar sebenarnya. Kan pulangnya siang, daripada tidur sampai magrib, kurang faedah kan, Bu, hehe.] 

[Masyaallah, Ibu, saya terkaget dengan chat Ibu mau modalin saya. Jujur bingung balasnya, Bu.]Aku menambahkan emotikon tertawa karier di akhir pesan.

Dosenku mengetik. Aku memantau beliau sambil memikirkan, ada rencana apalagi ya Allah, yang akan Engkau berikan padaku. Aku mencoba positif thinking. 

[Oh gitu, sudah ada nama produk dan kedainya? Gampang nanti kita diskusikan. Saya salut sama kamu mau memulai bisnis kecil begini, apalagi sangat bertolak belakang dengan jurusanmu. Saya yakin kamu bisa berkembang ke depannya. Jangan terlalu dipikirkan!]

Balasan dosenku kudiamkan sejenak, lalu aku mengetik. 

[Saya berencana membuka outlet kecil-kecilan, Bu. ini sambil mencari modal dulu dan konsumen. Kedainya mau saya beri nama “Kedai Salok”. Salok itu merupakan bahasa Melayu yang artinya ‘rindu atau kangen’. Usaha ini saya hadiahkan nantinya kepada orang tua saya, terkhusus mamak saya, Bu. Saya rindu sekali masakan mamak saya, sudah empat tahun kami tidak bertemu. Setiap tahun di bulan Ramadan, saya rindu dengan masakan dan pelukannya. Kurang lebih filosofinya seperti itu, maaf malah curhat, Bu. Terima kasih banyak, Ibu, atas kepercayaannya. Nanti saya pertimbangkan kembali dan diskusikan dengan orang tua saya terkait tawaran Ibu ini, ya.] Aku kembali menyematkan emotikon, kali ini emotikon maaf dan senyum lebar.

Aku merasa Ramadan ini sangat bermakna, tiap harinya selalu ada hal baik yang tak terduga. Semoga usahaku ini bisa berjalan terus sampai habis Lebaran nanti. Percayalah apa yang kamu tanam pasti akan mendapatkan hasilnya, serta janganlah berharap akan kebaikan itu dibalas oleh orang yang kamu bantu. Sebab, balasannya itu terkadang tidak dari orang yang kita bantu langsung, tetapi dari perantara lain yang Allah siapkan. Jangan berhenti untuk jadi orang baik dan bermanfaat bagi orang lain. 

***

Tentang Penulis

Puspita Rahayu adalah seorang edukator lulusan S-1 Kimia yang saat ini disibukkan dengan dunia kerjanya. Selain menulis, ia memiliki hobi memasak dan sekarang merintis usaha kecil di bidang kuliner. Ingin tahu lebih lengkap kegiatannya, bisa cek di IG @Puspitarahayu77 dan Linkedln: Puspitarahayu.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

3 komentar

Comment Author Avatar
Sisuka
Rabu, 30 April, 2025 Hapus
semoga lancar usahanya mbak ningi✨
Comment Author Avatar
Anonim
Rabu, 30 April, 2025 Hapus
Semoga ya kak sisukaaa.. Aamiin kencang. Semoga ningi sukses selalu.
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 01 Mei, 2025 Hapus
Wah, sangat menginspirasi sekali.. Semoga aku bisa belajar dari kak ningi.. Ternyata memang benar kalau kita niat okhlas membantu orang lain pasti akan terbalas entah kapan waktunya..