[CERPEN] Kedamaian Malam Ramadan

Daftar Isi
ilustrasi sedang menulis (pexels.com/Ron Lach)

Sore itu, langit kota tertutup awan kelabu diiringi hujan deras membasahi jalanan kota yang mulai lengang. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi gorengan yang menggugah selera. Di pinggir jalan, berjejer beberapa penjual takjil yang dikerumuni para pembeli yang antusias menyambut berbuka. Di samping jalan tersebut, berdirilah sebuah kafe klasik. Aku duduk di salah satu sudut kafe tersebut, menunggu temanku yang belum kunjung datang. 

Hari itu aku berangkat dari rumah ke kota ini, Malang. Kota tempatku berkuliah dulu. Jaraknya tidak jauh, sekitar 1 jam perjalanan. Hanya, karena tiba-tiba turun hujan, alhasil aku terlambat datang, tetapi ternyata teman-temanku juga terlambat sepertiku. Mataku tertuju pada layar handphone yang kupegang, fokus membaca tulisan yang baru saja kuunggah di platform menulis hari ini, sampai tiba-tiba nada dering handphone-ku mengalihkan fokus.

“Halo, di mana?” tanya temanku dari seberang.

“Di dalam, cepat buruan ke sini!”

“Ok, otw.”

Terdengar derap langkah memasuki ruangan kafe. Tampak dua orang sedang celangak-celinguk seperti mencari sesuatu. Aku yang melihatnya tertawa kecil sambil mengangkat tangan. Mereka adalah kedua temanku, Zidan dan Dirga.

“Hoi, di sini!”

Mereka menatapku sambil tersenyum, kemudian berjalan menghampiriku.

“Apa kabar?” Zidan mengulurkan tangan ke arahku, kemudian disusul Dirga.

“Baik, kalian berdua gimana kabarnya? Masih sering bangun kesiangan, ha-ha?”

“Hah, ya sudah enggak, toh,” balas Dirga. 

Mereka duduk di bangku depan yang berhadapan denganku. Kami bercerita tentang keseharian dan kesibukan setelah lulus kuliah. Tidak banyak yang berubah dari penampilan mereka semenjak kami lulus kuliah.

“Kalian sibuk apa sekarang?” Aku memulai pembicaraan.

“Biasa bikin logo seperti dulu,” jawab Zidan dengan wajah santai.

“Oh ya, kau masih menggeluti bidang itu? Kukira kau sudah lama berhenti.” Aku memang mengira Zidan sempat berhenti membuat logo karena pernah bercerita bahwa sekarang dia sedang bekerja menjadi operator di salah satu sekolah dekat rumahnya.

“Masih dong, buat sampingan dan hobi selain pekerjaan utama.”

“Zidan habis menang lomba kemarin, hadiahnya lumayan. Makanya sekarang kita diajak bukber bersama di kafe ini. Biasa, traktiran ha-ha.” Dirga menimpali.

“Widih … siap, bosku.” Aku memberi hormat ke arah Zidan dengan nada bercanda.

“He-he, seng suantai.” Zidan mencoba sok cool, tetapi tampak mukanya sedikit memerah.

“Kalau kau gimana sekarang, Van? Masih mengajar di sekolahmu yang dulu?” tanya Dirga kepadaku.

“Iya nih, masih setia. Sambil coba nulis-nulis dikit di platform internet, buat nambah kesibukan, ha-ha.”

Derap langkah ringan terdengar mendekati meja kami. Itu adalah pegawai kafe yang mengantarkan buku menu dan kertas untuk menulis pesanan. Dirga mengambil buku menu terlebih dahulu.

“Gimana rasanya jadi guru, Van?” tanya Zidan. 

“Alhamdulillah, Dan. Seru, untuk sekarang aku masih belajar memahami karakteristik peserta didik, mencari model pembelajaran yang pas untuk mengajar, dan belajar sabar. Apalagi murid-muridku cukup aktif di kelas.”

“Bagus tuh, berarti kau sudah selangkah lebih maju menjadi guru yang lebih baik. Karena kau sudah memahami kekuranganmu dan mencoba untuk memperbaikinya,” jawab Dirga sambil menyerahkan buku menunya ke Zidan.

Aku mengangguk setuju. Memang jika ingin berkembang dalam suatu hal, kita harus memahami apa kekurangan kita dalam hal tersebut, kemudian belajar untuk memperbaikinya agar menjadi lebih baik dan tidak terulang lagi ke depannya. Kami bergantian memesan makanan dan sekalian memesankan makanan teman kami yang belum datang, sesuai dengan yang sudah di-list di grup kami sebelumnya. 

Hujan mulai mereda, menyisakan embun basah di dedaunan dan bau tanah yang menyengat. Berbagai gorengan mulai dihidangkan di etalase kafe. Membuat semakin tidak sabar menunggu waktu berbuka.

Semenjak lulus kuliah, kami mulai fokus dengan kesibukan masing-masing dan sulit menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama. Bahkan, terkadang aku pun tidak bisa ikut berkumpul bersama teman-temanku. Hari ini saja ada beberapa anak yang tidak bisa ikut berkumpul karena terkendala jarak dan memiliki kesibukan lain.

“Kukira Johan dan Rama berangkat sama kalian.”

Zidan menggeleng. “Tidak, mereka berangkat dari kos masing-masing.”

“Paginya mereka ada kuliah, makanya tidak sempat mampir ke rumah,” jawab Dirga.

Aku mengangguk paham. “Kalau Fatur dan Gus Ali datang, kan?”

“Katanya datang, tapi agak telat, soalnya Fatur nganterin istrinya bukber ke rumah temannya. Kalau Gus Ali ngajar sebentar di pondoknya.” Zidan merespons sambil melihat layar handphone-nya. 

Fatur adalah temanku yang sekarang fokus berjualan baju dan kopi online. Dia adalah orang pertama yang menikah di kelompok kami. Gus Ali adalah salah satu anak kiai di daerahnya. Sekarang dia mengajar Agama di pondoknya, sejak kuliah S-1 dulu tepatnya. Dia mengajar Bahasa Indonesia di salah satu sekolah swasta di kota ini. Sementara itu, Johan dan Rama adalah dua di antara temanku yang melanjutkan kuliah setelah S-1. Mereka memutuskan menimba ilmu lagi di kota ini sambil bekerja sampingan. Alasan lainnya karena mereka belum bisa meninggalkan kenangan selama kuliah dulu. 

Yah, jujur saja, sebenarnya kalau disuruh memilih, aku juga ingin kembali ke masa-masa itu, masa saat cuma ada tugas untuk dikerjakan tanpa memikirkan kekurangan uang saku atau menghadapi dunia kerja. Aku masih ingat saat puasa dulu kami sering pergi ke depan kampus untuk war takjil. Bahkan, kadang aku tidak sadar sudah membeli banyak makanan sampai kekenyangan saat berbuka, ha-ha-ha.

Dulu kami tidak perlu memikirkan banyak hal kalau mau berkumpul bersama. Kalau mau kumpul, ya tinggal kumpul. Bahkan, di setiap bulan puasa, kami sering berbuka di kosku atau kos temanku yang dekat kampus. Yah … sekadar makan bersama di satu kamar. Meski begitu, rasa kebersamaannya benar-benar terasa. Namun, kini kalau mau kumpul saja perlu menimang waktu dan keadaan. Waktu kuliah memang masa-masa yang menyenangkan.

“Halo, guys!”

Sebuah suara membuyarkanku dari lamunan panjang. Aku menoleh ke arah sumber suara. Rupanya itu Johan dan disusul oleh Rama di belakangnya.

“Assalamu’alaikum, guys,” ucap Rama dengan nada lembut.

“Wa’alaikumussalam,” jawab kami serentak.

Johan dan Rama bersalaman dengan kami satu per satu, kemudian duduk di bangku kosong di sebelahku. Mereka mengenakan jaket yang agak basah, sepertinya alasan keterlambatan mereka adalah kehujanan di jalan. Maklum memang tadi hujan turun cukup lebat.

“Bro, di jalan hujan deras banget. Tadi aku dan Rama sampai berhenti beberapa kali.” Johan melepas jaket basahnya.

“Tadi kami hampir tidak berangkat, tapi mengingat kita jarang berkumpul dan acara bukber ini tidak setiap waktu kita jalankan, kami terobos saja hujannya,” lanjut Rama sambil merapikan rambut yang basah dengan sisir.

“Ha-ha, ya kapan lagi kita kumpul seperti ini? Apalagi ini bulan yang suci, bulan kemenangan. Kita sempatkan untuk berkumpul bersama berbagi kebahagiaan.” Dirga tersenyum mendengar cerita mereka. “Oh iya, makanan dan minuman kalian sudah dipesankan sesuai yang kalian ketik di grup, ya.”

“Oke.” 

“Eh, Van. Kamu sekarang mulai aktif menulis, ya? Aku terkadang membaca tulisanmu yang kau bikin status. Ceritanya lumayan menarik juga, tentang anak indigo yang berurusan dengan dunia mistis, kan?” Johan menatapku dengan wajah antusias.

“He-he, iya, Jo. Aku nulis dikit-dikit sekarang buat ngisi waktu, apalagi kalau bulan puasa gini kegiatan di sekolah nggak terlalu padat. Jadi bisalah aku sambi dikit-dikit menjalani hobiku ini.”

“Widih … dapat ide dari mana itu ambil tema mistis?” Rama menimpali.

“Dapet dari buku yang pernah kubaca sama cerita horor YouTube, lah. Masa dari pengalamanku, kan setannya sedang dikerangkeng sekarang.”

Kami semua tertawa bersama mendengar jawabanku yang agak nyeleneh itu. Sore itu sambil menunggu pesanan datang, kami bergurau tentang banyak hal sampai tidak terasa waktu berbuka tinggal beberapa menit lagi. Pegawai kafe datang membawa pesanan kami.

“Permisi, reservasi atas nama Zidan. Ayam bakar 2, ikan bakar 1, iga bakar 2, bebek goreng 2, Thai tea 2, jus alpukat 2, kopi tubruk 2, lemon tea 1?”

“Iya benar, Kak,” jawab Zidan.

Pegawai kafe menaruh pesanan kami di meja.

“Ada lagi, Kak?

“Sudah, Kak.”

“Baik, nanti kalau mau pesan lagi, silakan ke kasir ya, Kak.”

Zidan mengangguk. Kami melanjutkan obrolan sampai azan berkumandang, menandakan pergantian waktu dan saatnya berbuka.

“Alhamdulillah.” 

Kami meneguk minuman masing-masing guna membatalkan puasa. Kemudian, dilanjutkan menyantap makanan masing-masing. Kafe hari itu lumayan ramai, banyak orang yang melaksanakan buka bersama juga. Dan, kelihatannya sepertinya mereka berumur 18−20 tahunan. 

“Eh, Van, Bagus dan Hasyim kenapa kok nggak ikut bukber?” Johan menatapku sambil menggigit paha ayamnya.

Bagus dan Hasyim adalah teman kami semasa kuliah. Mereka masih satu kabupaten denganku. Yah, mereka memang mengabariku bahwa tidak bisa hadir. Ada acara Pondok Ramadan di sekolah Bagus sehingga ia tidak bisa hadir, sedangkan Hasyim berhalangan hadir karena sakit demam. Mendengar penjelasanku, Johan mengangguk sambil lanjut melahap ayam bakarnya. Setelah makan, kami melaksanakan salat berjemaah di musala kafe. 

Fatur dan Gus Ali datang tepat setelah kami salat. Fatur baru kembali dari mengantar istrinya bukber, sedangkan Gus Ali menunggu hujan reda sekalian mengimami salat Magrib di pondoknya. Kami langsung menyambut mereka dan mengajak mereka duduk.

Obrolan kami lanjutkan, sejenak aku merasa bisa melupakan beban kerjaan dan kenyataan dunia yang sedang dijalani. Selain menjaga tali silaturahmi, acara bukber ini juga menjadi sarana kami untuk berbagi pengalaman dan cerita mengenai perjalanan hidup kami setelah menempuh jalan masing-masing. Saat bertemu mereka, aku merasa lebih bersemangat lagi dalam menjalani hidup. Hari itu aku menyadari, bukan hanya aku yang berusaha dalam menghadapi kenyataan dunia. Ternyata mereka juga sedang berusaha dengan dunia masing-masing. Malam Ramadan ini aku bersyukur dipertemukan lagi dengan teman-temanku. Hatiku terasa lebih damai.   

***

Tentang Penulis

Affan Ghaffar Ahmad adalah seorang pemuda yang gemar menyelami labirin kata dalam novel fiksi dan horor. Dia memiliki kecintaan tersendiri dalam dunia literasi. Kini dia aktif menorehkan imaji pikirannya di aplikasi Wattpad dalam tema horor berjudul Nightmare Diary. Dengan permainan diksinya, dia membawa pembaca ke dunia imajinasi yang mencekam.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar