[CERPEN] Kehangatan di Ujung Senja
![]() |
ilustrasi suasana senja (pexels.com/yx b) |
Di sore hari, jalanan begitu ramai oleh banyak orang. Angin sore yang berembus lembut dan langit cerah yang memanjakan mata, menjadi kesempatan yang cocok menikmati sore hari menjelang berbuka puasa.
Tak jauh berbeda dengan seorang pemuda bernama Yudhi. Ketika pulang kuliah lebih awal, dia pergi ngabuburit untuk mencari menu berbuka puasa. Dia pergi bersama adik perempuannya, Fia, yang masih berusia 8 tahun. Keduanya pergi menggunakan motor.
“Abang, kita mau pergi ke mana memangnya?” Fia bertanya dari belakang punggung Yudhi.
Yudhi menoleh sejenak dari depan. “Kamu diam aja. bocil, bentar lagi sampai, kok.”
Fia hanya diam sambil mencebik, merasa kesal karena pertanyaannya tidak mendapat jawaban.
Motor yang dikendarai Yudhi membelok ke arah lapangan. Fia langsung melompat turun dari motor dan bersorak senang. “Wah, ramai sekali, Abang. Ada banyak sekali jajanan. Aku boleh beli jajan, kan?” tanya Fia penuh harap.
Yudhi tertawa kecil, merasa gemas dengan pertanyaan adiknya. Tentu saja dia mengajak ke sini untuk membeli jajan. Kemudian, Yudhi mengangguk tanda mengizinkan. Fia kembali bersorak senang dan berlari menuju stan jajanan yang menggodanya sedari tadi, disusul oleh Yudhi di belakangnya.
Harum aneka jajanan begitu menggoda perut yang seharian ini kelaparan. Rasa serakah ingin membeli semua jajanan pun muncul begitu saja. Namun, Yudhi berusaha agar tidak teperdaya. Itu hanya nafsu semata, makanan sebanyak itu tidak akan habis. Berbuka hanya dengan segelas air pun terkadang sudah cukup mengenyangkan.
“Abang! Fia mau itu.”
Yudhi menatap jajanan yang ditunjuk adiknya. Ramai orang mengantre di sana. “Dimsum? Emang kamu doyan?”
Fia mengangguk semangat. “Ayo, Abang, kita beli.”
Yudhi menahan napas melihat antrean yang begitu panjang. Dia melihat ke sekeliling, kemudian tersenyum lebar. “Dek, lihat.” Yudhi menunjuk stan jajanan yang antreannya tidak begitu panjang, hanya ada beberapa orang. Apalagi makanan tersebut sudah ada yang dibungkus, jadi tidak begitu lama menunggu. “Takoyaki, kamu belum pernah coba, kan? Enak loh, ada isinya. Beli itu aja, yuk.”
Yudhi berharap Fia menyetujui negosiasinya. Ia begitu malas mengantre. Namun, Fia menggeleng. “Mau dimsum, Abang.”
Yudhi masih tetap berusaha membujuk. “Lihat, antreannya panjang banget. Nanti kamu nggak kebagian. Takoyaki juga enak banget loh, ada isi sosis, ayam, gurita, banyak, deh.”
Fia merasa penasaran akibat hasutan abangnya hingga akhirnya mengangguk setuju, membuat Yudhi tersenyum puas.
Setelahnya, Yudhi menggandeng tangan Fia menuju stan takoyaki. Alasan lain kenapa dia mengajak membeli takoyaki, ya karena takoyaki adalah jajanan favoritnya. Yudhi terkikik dalam hati.
“Tunggu ya, Abang beli dulu. Kamu diam di sini.” Yudhi melepaskan tangan Fia untuk mengambil dompet. Menunggu pesanannya dibungkus, mata Yudhi menangkap tangan kecil yang diam-diam mengambil sekotak takoyaki tanpa ada yang menyadari, terkecuali dia. Yudhi tersentak melihat keberanian anak kecil seusia adiknya melakukan hal itu. Anak kecil itu berlari setelah mendapatkan jajanan yang dia mau.
Setelah selesai membayar dan menerima pesanannya, Yudhi segera mengejar anak tadi. Tak lupa dia menggendong sang adik agar lebih cepat. Anak kecil tadi belum jauh karena menyesuaikan langkahnya yang pendek.
Setelah sampai di dekat anak kecil itu, Yudhi segera mengadang langkahnya. Dia menurunkan adiknya dari gendongan. Fia hanya diam kebingungan, sedangkan anak kecil itu merasa terkejut dan gemetar.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Yudhi dengan tatapan tajam. “Kemarikan!”
Anak kecil itu menyembunyikan hasil curiannya, kepalanya menggeleng kuat. “Jangan! Ini punyaku!” Tatapannya tajam, tetapi tersirat rasa takut.
Yudhi merendahkan badannya, menyamakan dengan tinggi badan anak kecil itu. “Kenapa mencuri? Jangan merasa tidak ada yang menyadari perbuatanmu, aku melihatnya tadi.” Nada tegas dari Yudhi membuat anak kecil itu menahan tangis. “Ayo, kembalikan pada yang punya.”
Yudhi hendak merebut kotak takoyaki yang digenggam erat oleh si anak kecil. Anak itu justru terduduk, kemudian menangis. Yudhi dan Fia bertatapan karena bingung.
“Aku ingin sekali makan enak. Ibu hanya memberiku sepiring nasi berlauk garam setiap buka puasa dan sahur. Aku bosan. Aku juga ingin makan enak.” Anak kecil itu berucap di tengah isakannya. “Hanya kali ini, aku berjanji tidak akan mencuri lagi. Aku mohon biarkan aku pergi.” Matanya yang basah menatap Yudhi, memohon.
Yudhi termenung lama, hatinya terenyuh dan sakit melihat anak sekecil ini mencuri karena begitu menginginkan sekotak jajan. Sejenak dia membayangkan adiknya melakukan hal itu, tidak. Yudhi akan memastikan keinginan adiknya terpenuhi. Dia tahu bagaimana perasaan anak tersebut, bagaimana rasanya ingin makan enak, tetapi keadaan tidak mendukungnya. Yudhi sempat mengalaminya dulu semasa remaja, ketika ekonomi orang tuanya masih begitu sulit.
“Di mana ibumu?”
“Sella!” Seorang wanita paruh baya dengan pakaian lusuh mendekat. Karung berisi barang bekas dia letakkan sembarang. “Kenapa kamu di sini? Ibu mencarimu dari tadi. Bukankah Ibu bilang, tetap di rumah! Ibu hanya pergi keluar sebentar.” Nada tinggi yang dikeluarkan ibu itu menyiratkan kekhawatiran yang begitu kentara.
“Ini anak Ibu?” Yudhi menyela. Melihat Ibu tersebut mengangguk dengan tatapan heran, Yudhi menjelaskan apa yang terjadi. Tidak ada yang dia tutupi, ibunya berhak tahu perbuatan anaknya.
Selesai menjelaskan, Yudhi melihat binar kecewa, tetapi juga merasa sedih sekaligus malu di raut wajah ibu itu. “Sella? Kenapa sampai mencuri, Nak? Ibu nggak pernah ngajarin kamu mencuri.”
Sella tertunduk ketakutan menahan tangisnya. Ibu memeluk Sella dengan erat. “Maafin Ibu yang belum bisa kasih apa yang Sella mau. Maafin Ibu, ya.”
Fia dan Yudhi hanya diam menyaksikan semua itu.
“Maafkan atas kesalahan anak saya, dia akan saya tegur. Namun, biar saya yang bertanggung jawab atas kesalahannya. Dia masih kecil,” ujar ibu itu sambil menyatukan tangannya, memohon. Yudhi membuang muka melihat itu, dia begitu tak tega. Air matanya dia tahan sejak tadi.
Selesai menenangkan gemuruh yang ada di hatinya, Yudhi mengajak ibu Sella untuk mengikutinya. Diikuti Sella di belakang. Fia dia gandeng di sampingnya. Yudhi mengajak ke stan penjual takoyaki tadi. Yudhi menjelaskan semuanya pada sang penjual dan membayar makanan yang diambil Sella tadi. Meski awalnya dicegah ibunya, Yudhi bersikukuh untuk membelikannya. Untungnya sang penjual tidak memperpanjang masalah tersebut, justru memberikan dua kotak takoyaki secara gratis untuk mereka. Yudhi dan ibu Sella sangat berterima kasih.
Langit senja itu menjadi saksi indahnya ketika orang baik bertemu orang baik. Mega merah itu melukiskan kehangatan. Dalam hangatnya suasana, kumandang azan Magrib yang ditunggu pun terdengar.
“Alhamdulillah,” ujar mereka ketika mendengar azan.
“Ayo, buka bareng aja di sini,” ajak sang penjual sambil menggelar tikar.
Yudhi dan yang lainnya menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Mereka berbuka bersama dan mengobrol banyak hal. Fia dan Sella pun menjadi akrab dan berteman.
Ramadan mengajarkan kita tentang bagaimana sulitnya menahan keinginan (nafsu). Rasa yang begitu lapar, padahal ketika berbuka cukup dengan segelas air saja. Bukti bagaimana ketika kita begitu haus akan nikmatnya dunia, padahal setelah meninggal, yang dibawa hanya amal perbuatan. Ramadan juga mengajarkan tentang indahnya kesabaran dan memaafkan kesalahan orang lain. Mungkin terkadang ada orang yang berbuat salah dengan terpaksa. Kita akan tampak bijaksana ketika menekan ego dan berlapang dada untuk memaafkannya.
***
Tentang Penulis
Anastasya Aryani, lahir di Purwokerto, Jawa Tengah. Saat ini penulis menempuh pendidikan di UIN Saizu Purwokerto. Menulis dan membaca adalah hobinya. Penulis bisa dihubungi melalui e-mail spesialliterasi@gmail.com atau Instagram @binarrenjana__.