[CERPEN] Terbukanya Gerbang Impian di Bulan Ramadan
![]() |
ilustrasi wisuda (pexels.com/HONG SON) |
Hari ini Krisna sengaja pulang sekolah terlambat. Dia ingin membuka pengumuman itu di rumah, dalam kesunyian, seorang diri. Dia tak ingin ada sorot mata lain yang mengamatinya saat layar ponselnya menampilkan hasil yang mungkin tak sesuai harapan. Krisna akan benar-benar membukanya seorang diri karena orang tuanya sedang berada di rumah sakit. Ayahnya sudah 10 hari terbaring lemah di sana dan Ibunya dengan setia menemani.
Sesampainya di rumah, Krisna meletakkan ranselnya di kursi belajar dengan lesu. “Lebih baik aku bersih-bersih dan salat Asar dulu, abis itu baru buka pengumumannya,” ucapnya.
Krisna melaksanakan salat dengan khusyuk dan tidak lupa untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt. “Di bulan Ramadan yang mulia ini, aku menyerahkan segala urusanku padamu. Aku yakin bahwa apa pun hasilnya nanti, itu adalah yang terbaik darimu. Jika aku diterima, tolong berikan kemudahan aku dalam menjalaninya. Sebaliknya, jika aku tidak diterima, tolong bantu aku untuk mengikhlaskannya. Aamiin.”
Setelah selesai melaksanakan salat, Krisna langsung menuju meja belajarnya dan duduk dengan perasaan tak karuan. Dia meletakan ponsel di ujung meja dan menyalakan video untuk mengabadikan momen sekali dalam seumur hidupnya ini.
Dengan jantung berdebar kencang, Krisna membuka laptopnya. Jari-jarinya dingin saat mengetikkan alamat situs pengumuman SNBP. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Dia mulai memasukkan data yang diminta, lalu mengklik tombol yang tersedia untuk melihat hasilnya.
Bola mata Krisna hampir keluar. Warna biru itu berhasil didapatnya. Dengan saksama, dia membaca kalimat yang tertera dalam layar. “Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SNBP 2025”. Yang lebih mengejutkan, dia diterima di pilihan pertama, yaitu Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran.
Seketika, air mata haru membanjiri pipi Krisna. Dia menutup mulutnya dengan tangan, tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Impiannya sejak bangku SMP, untuk menimba ilmu di Jurusan Sastra Indonesia di salah satu universitas terbaik di Jawa Barat, akhirnya menjadi kenyataan. Dia membayangkan betapa bangganya Ayah dan Ibu jika mereka tahu. Mereka selalu mendukung minatnya pada dunia literasi, membelikannya buku-buku sastra, dan tak pernah bosan mendengarkan puisi-puisi karangannya.
Akan tetapi, kebahagiaan itu seketika meredup, digantikan oleh gelombang kecemasan yang lebih besar. Universitas Padjadjaran terletak di Bandung, sebuah kota yang berjarak ratusan kilometer dari tempat tinggalnya. Itu artinya, jika dia mengambil kesempatan ini, dia harus merantau, meninggalkan rumah, meninggalkan Ibu yang kini seorang diri merawat Ayah yang sakit. Pikiran itu bagai duri yang menusuk hatinya. Bagaimana mungkin dia meninggalkan Ayah dalam kondisi seperti ini? Bagaimana mungkin dia membiarkan Ibu berjuang sendirian? Dia membayangkan betapa sedihnya mereka jika dirinya harus pergi jauh.
Sebenarnya, ini salahnya juga tidak bilang saat akan mendaftar waktu itu. Dia tidak kompromi dengan orang tuanya kalau dia mendaftar di luar kota. Pada akhirnya, dia sendiri yang sekarang pusing dan ketakutan dengan reaksi dari orang tuanya. Dia takut tidak dibolehkan merantau, terlebih dia adalah anak tunggal.
Krisna menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. “Kris, ingat, kalau Allah kasih ini berarti memang ini yang terbaik buat kamu. Percayalah bahwa Allah pasti akan mudahkan segala jalannya. Tidak mungkin Allah berikan ini jika kamu tidak mampu. Ayo yakin dengan ketetapan Allah!” katanya sambil tersenyum.
Dengan tekad yang lebih bulat, dia memutuskan untuk pergi ke rumah sakit. Dia harus menyampaikan kabar ini kepada Ayah dan Ibu, seberat apa pun reaksinya nanti. Dia percaya bahwa kejujuran adalah langkah pertama untuk menemukan solusi terbaik.
Dikarenakan azan Magrib berkumandang saat dalam perjalanan, Krisna memilih untuk berhenti di salah satu masjid untuk melaksanakan salat terlebih dahulu. Setelah itu, baru dia melanjutkan perjalanan ke rumah sakit. Langkah Krisna terasa lebih mantap saat memasuki area rumah sakit. Dia menyapa beberapa perawat yang sudah dikenalnya dan langsung menuju kamar Ayah. Ibu terlihat sedang duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Ayah sambil membacakan Surah Yasin dengan suara lirih. Ayah tampak lebih tenang dari terakhir kali dia menjenguk.
“Assalamu’alaikum, Ayah, Ibu,” sapa Krisna lembut, berusaha menyembunyikan kegugupan dalam suaranya.
“Wa’alaikumussalam, Nak. Sudah pulang sekolah?” jawab Ibu sambil mengusap lembut rambut Krisna. Ayah membuka matanya perlahan dan tersenyum tipis, tetapi tatapannya masih memancarkan kehangatan yang selalu dia rindukan.
Krisna menarik kursi dan duduk di samping ranjang Ayah. Dia meraih tangan ayahnya yang terasa semakin kurus dan menggenggamnya erat. “Ayah, Ibu … hari ini … hari ini adalah hari pengumuman SNBP.”
Ibu menghentikan bacaannya dan menatap Krisna dengan tatapan penuh harap. Ayah pun terlihat memberikan perhatian penuh meskipun raut wajahnya masih menyimpan jejak kelelahan.
Krisna menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Alhamdulillah … Krisna diterima, Ayah, Ibu. Di Universitas Padjadjaran, Jurusan Sastra Indonesia.”
Ruangan itu hening sejenak. Krisna menunduk, menunggu reaksi kedua orang tuanya dengan jantung berdebar-debar. Dia siap menerima segala kemungkinan, termasuk kekecewaan atau kekhawatiran mereka.
Akan tetapi, reaksi mereka jauh di luar perkiraan Krisna. Mata Ibu berkaca-kaca, tetapi senyum lebar dan tulus terukir di wajahnya. “Alhamdulillah, ya Allah! Nak, Ibu bangga sekali sama kamu! Itu impianmu sejak kecil, kan?” Ibu langsung memeluk Krisna erat, air matanya kini tumpah membasahi hijab Krisna.
Krisna kemudian menoleh ke arah ayahnya. Air mata haru juga terlihat menggenang di pelupuk mata Ayah. Dengan suara lirih dan penuh semangat, Ayah berujar, “Selamat ya, Nak. Ayah bangga sekali padamu. Kamu memang pantas mendapatkannya. Ayah selalu tahu kamu punya bakat di bidang ini.”
Krisna terkejut sekaligus merasa sangat lega. Beban berat yang selama ini menghimpit dadanya seolah terangkat seketika. “Tapi, Ayah … Unpad di Bandung. Krisna harus merantau. Ayah sedang sakit ….”
Ayah menggeleng pelan, tetapi senyumnya semakin mengembang. “Nak, justru kabar inilah yang menjadi penyemangat Ayah untuk segera sembuh. Ayah ingin melihat kamu sukses, meraih cita-citamu setinggi langit. Jangan khawatirkan Ayah. Ibu akan selalu menemani Ayah di sini. Kamu fokus saja belajar yang rajin dan gapai semua impianmu di sana.”
Ibu mengangguk setuju, mengusap lembut punggung Krisna. “Benar kata ayahmu, Nak. Ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh kamu sia-siakan. Kami akan selalu mendukungmu dari sini. Kita bisa sering bertukar kabar lewat telepon atau video call. Jarak bukanlah penghalang untuk kasih sayang keluarga.”
Air mata Krisna kembali menetes, tetapi kali ini bukan karena kecemasan, melainkan karena haru dan kebahagiaan yang tak terkira. Dia tidak menyangka kedua orang tuanya akan memberikan reaksi yang begitu positif dan penuh dukungan. Kekhawatirannya selama ini ternyata tidak beralasan. Cinta dan kepercayaan orang tuanya jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.
“Terima kasih banyak, Ayah, Ibu,” ucap Krisna dengan suara bergetar. Air matanya terus mengalir. “Krisna janji akan belajar sungguh-sungguh, menjaga diri baik-baik di sana, dan membuat Ayah dan Ibu bangga.”
Senyum Ayah terlihat lebih cerah dari sebelumnya. Ada pancaran semangat baru di matanya, seolah kabar bahagia dari putranya telah memberikan kekuatan tambahan untuk melawan penyakitnya. “Nah, begitu dong, anak Ayah. Ini adalah berkah Ramadan yang sangat indah. Kabar baik ini pasti akan membuat kita semua semakin kuat dan semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT.”
Malam itu, di tengah syahdunya bulan Ramadan yang penuh berkah, kebahagiaan yang tulus menyelimuti ruangan sederhana di rumah sakit itu. Kabar diterimanya Krisna di universitas impian, yang awalnya dia khawatirkan akan menjadi beban, justru menjelma menjadi penyemangat dan harapan baru bagi kesembuhan ayahnya.
Ramadan kali ini mengajarkan Krisna tentang kekuatan doa, restu orang tua, dan betapa cinta keluarga mampu membuka gerbang impian di tengah kesulitan. Dia tahu, perjalanan kuliahnya di Bandung tidak akan mudah, tetapi dengan dukungan dan doa dari Ayah dan Ibu, dia yakin mampu menghadapi segala tantangan dan meraih cita-citanya. Dan, bagi ayahnya, kebahagiaan putranya adalah obat mujarab yang memberikannya semangat baru untuk terus berjuang demi keluarga tercinta. Malam itu, mereka bertiga larut dalam doa syukur, mengagungkan kebesaran Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan.
***
Tentang Penulis
Misnati adalah wanita asal Provinsi Banten kelahiran 2007. Dia mulai terjun ke dunia kepenulisan sejak akhir 2021. Dia sangat suka menulis karya berbentuk cerita dan tulisan motivasi. Dia memiliki beberapa karya di Wattpad (@JasjusOlen) yang bisa dibaca. Berkenalan lebih lanjut dan lihat karya lainnya melalui Instagram @__ntyyyyy atau @jasjusolen_.
Posting Komentar