[CERPEN] Adakah Tempat Pulang?

Daftar Isi
ilustrasi rumah (pexels.com/Sebastian Sørensen)
Tidak apa-apa kan, seperti ini?

Sebenarnya, hal ini tidak seharusnya terus dipertanyakan. Namun, apa daya yang terjadi malahan sebaliknya. 

Tetapi bukannya sama saja dengan membunuh tanpa menyentuh?

Aku termenung lagi. 

Brak!

Jick yang terlempar ke lantai membuyarkan lamunanku, berikut beserta batangan rokok yang tercecer. Aku terdiam sesaat, menahan kesal, karena sudah kesekian kalinya ini terjadi. 

“Alon, Yu, alon. Aja grasak grusuk, masih esuk iki.”

Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan rekan kerja yang berada tepat di sampingku ini. Dengan enggan aku segera beranjak, memunguti barang yang berjatuhan. Lantas, aku langsung kembali duduk, meneruskan bekerja. Maklum, target harian masih jauh dari jangkauan.

Ini menjadi sangat menyebalkan ketika otak sudah tidak bisa lagi diajak bekerja sama. Dua-tiga kali lem meleset mengotori tangan, jick yang tidak bisa ditarik, dan parahnya, etiket yang sobek setelah masuk dalam slok master. 

Aku menghela napas berkali-kali. Sabar, sabar, lagi puasa. Setelah meyakinkan diri, tangan mulai gesit mengerjakan tugasnya. Mengambil selembar etiket. Mengelem yang bakal menjadi tutup akhirnya. Meletakkan jick, mengambil batangan rokok dalam slok kayu. Menata selang-seling tiga-tiga. Mengelem kembali tiap bagiannya, menarik jick keluar, menempelkan bagian terakhir sebelum ditaruh di slok master. Dalam slok master maksimal berisi dua puluh pack rokok. Begitu terus, secara berulang hingga menghasilkan satu pasokan pack rokok berisi seratus bungkus. Setelahnya baru bisa diangkat, dibawa ke dalam kereta pasokan guna diberikan ke bagian selanjutnya.

Seperti itu terus hingga target harian terpenuhi bagi masing-masing orangnya. Pagi hingga menjelang sore, kami diizinkan berhenti sejenak untuk istirahat. Namun, pada kenyataannya jarang ada yang istirahat terkecuali kepepet, buang air atau haus sampai kerongkongan kering. Terlalu ngoyo, istilah Jawanya. Namun, apa mau dikata, semua itu dilakukan guna bisa selesai tepat waktu dan pulang sesuai jadwal, tidak ngaret sebab target belum tercapai.

Aku memilih berhenti sejenak, berdiri dan bergegas ke kamar mandi. Biarlah tertinggal dengan yang lainnya, palingan hanya sepasok dua pasok. Sampai pintu, selagi tubuh diraba satpam, aku menyelisik area belakang yang lumayan ramai. Satu-dua pegawai ada yang sedang mematut diri di kaca, membenarkan kerudung. Ada juga yang tengah mencuci lap, duduk bersandar di tembok luar kamar mandi, dan yang paling ramainya ya mengerubungi galon air. Menenggak satu-dua gelas, bergantian, lantas langsung masuk kembali ke pabrik.

Ternyata, banyak yang tidak berpuasa, ya. Aku menghela napas, lelah. Bunyi keran air terdengar nyaring. Benar adanya memang, bagi orang yang tengah menahan dahaga, air keran pun sepertinya sangat nikmat. Namun, aku tak cukup bodoh untuk melakukannya. Masih eling. Tentu saja, alasan besarnya karena cukup malu untuk membatalkan puasa hanya karena haus semata. Malu sama Simbah, yang sudah sepuh saja puasanya selalu tamat. 

Si Mbah juga bilang, “Urip iku semestine urup, Nduk! Mugi-mugi kawontenanipun saged migunani kangge tiyang sanes. Kados dene geni ingkang nglebur peteng, manungsa kedah nggawa cahya lan kabecikan. Nanging saderengipun, ingkang kedah dipun-garis bawahi ing gesang punika ….

“Cara ngagem dhiri. Saderengipun tiyang sanes, utamaken dhiri. Mboten wonten ingkang langkung utama ing sasi suci punika, Nduk. Wulan Romadhon wulan kang pinuji, kesempatan kang langka kanggo ngendap-endapi amal kebajikan. Salah satunggaling cara inggih punika ngawrat pasa. Pasa iku ibadah kang luhur ganjarane gedhe ing sisi Gusti Allah manawi dipun-laksanaken kanthi ikhlas lan sabar. Mugi-mugi, ikhlas lan sabar punika nggawa berkah lan kawontenan kangge panjenengan lan tiyang ing sak ngeling-ngelingipun. Cukup dipun-doaken kemawon, ingkang sae.”

Entah bagaimana wejangan yang panjang itu bisa aku hapal dengan tepatnya. Mungkin karena Simbah yang terus mengulang wejangan yang sama setiap bertemu, tak pernah bosan pula aku mendengarnya karena di satu waktu wejangan itu cukup manjur membuatku kembali eling.  

Setelah menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandi, aku keluar, lalu masuk ke pabrik. Namun, sebelum itu, kembali diraba satpam dan mataku masih lagi menangkap kerumunan baru di area galon air minum. 

Makin ramai saja ternyata.

***

Akhirnya aku bisa keluar pabrik juga. Aroma soto di kantin langsung menyabet indra penciuman. Mengedarkan pandangan, menjelang Asar ini, kantin masih saja dipadati karyawan. Toko juga tak luput dari sasaran, beberapa keluar dengan menenteng minuman botol, parahnya ada yang langsung menenggaknya begitu keluar. Astaga! Jam-jam ini memang rawan, terlalu banyak godaan. Tak membuang waktu lama, aku bergegas pulang.

Sampai hampir habis bulan Ramadan ini, tak kunjung juga aku menikmati nikmat berpuasa. Tak ada bedanya dengan hari-hari biasa. Aku kembali berpikir, apakah tidak apa-apa terus seperti ini?

Salah tidak ya, aku bekerja di sini? Pabrik yang memproduksi barang-barang ini, tidak apa-apakah aku terus di sini? Tapi, aku butuh uang untuk bayar sekolahku. Tapi, apakah tidak apa-apa?

Ada setidaknya banyak rasa bersalah yang mengendap di hati. Saat menjejakkan kaki pertama kali di gerbang, memasuki area pabrik, saat menatap batangan-batangan rokok yang dibungkus selongsong, memperhatikan pack rokok yang sudah rapi dalam pasokan. Membayangkan jika saat rokok ini berhasil disebarluaskan ke khalayak. Dibeli, dengan harga yang setara dengan 1 kilo beras. Mengenyangkan tidak, malahan sebaliknya. 

Padahal, risiko-risikonya terpampang nyata di bungkusannya, depan belakang. Namun, yang mengonsumsi bebal sekali, tidak patuh peringatan, seolah larangan memang seharusnya dilanggar. Toh katanya, “Ngerokok nggak ngerokok tetep aja mati, kan? Nggak ada bedanya.”

JELAS BEDA! Ingin rasanya aku berteriak secara langsung kepada manusia-manusia bebal itu. Kematian adalah ketetapan Tuhan, tetapi dengan merokok itu mendahului ketetapan yang telah Tuhan berikan. Dan parahnya, secara tidak langsung aku membantu manusia-manusia tak patuh larangan ini mempercepat kematian.

Ya, Tuhan. Aku bimbang dan butuh tempat pulang. 

“Ayu!” Di perjalanan pulang, bahuku ditepuk. Seorang kenalan yang entah datang dari mana, berucap kalimat yang jika bisa, aku ingin menyampluk kepalanya dengan ribuan serapahan yang sudah sejak pagi ini tertahan.

“Mokel, yuk! Aku laper, nih. Soto di kantin udah abis ternyata. Si Ibu bikinnya kurang banyak. Beli bakso ayo di depan.”

Sialan! Eh, astagfirullah al-azim. Lagi-lagi aku kelepasan. Bulan puasa memang harus banyak-banyak beristigfar agar eling.

***

Dan, di sinilah aku sekarang. Rumah Simbah. Membutuhkan 1 jam perjalanan menggunakan kendaraan, padahal besok aku masih bekerja. Namun, entah kenapa keinginan untuk pulang ke rumah jauh lebih besar, meninggalkan kosan yang niat awalnya sepulang kerja aku ingin langsung rebahan di sana.

Azan Magrib berkumandang, dibersamai suara jangkrik di luar. Nuansa Ramadan yang benar-benar ingin aku rasakan di perantauan, tetapi tak pernah mendapatkannya. Namun, tak apalah, untuk sekarang aku sudah merasakannya di rumah Simbah.

Tiga butir kurma dan secangkir teh telah tandas. Setelah selesai salat Magrib, aku lebih memilih duduk di teras rumah. Angin membelai wajah lembut, terpaannya membawa sejuk, membuat rindu akan entah apa itu.

Aku menoleh tatkala Simbah berjalan mendekat. Duduk tepat di sampingku. Kusunggingkan senyum padanya, sebelum menatap jauh ke depan, kepada pekatnya malam.

Seolah paham kegundahanku, Simbah mengusap belakang kepalaku, tersenyum. “Nduk, aku paham kegundahan hatimu. Sorot matamu telah mengutarakan semuanya.”

“Gusti Allah itu dekat, Nduk. Ingat kata-kataku ini. Gusti Allah itu dekat. Saking dekatnya, bahkan banyak dari kita tidak menyadari-Nya, bahkan melupakan-Nya. Tutup matamu, Nduk. Usap-usap dadamu, perlahan. Tarik napas dalam, embuskan. Ulangi beberapa kali. Rasakan semua gundah hatimu itu yang perlahan luruh bersama embusan napasmu.”

“Ulangi beberapa kali, Nduk. Ingat kata-kataku ini. Gusti Allah itu dekat. Dan percayalah semua keresahanmu itu akan sirna, perlahan.”

“Ingat kata-kataku ini. Gusti Allah itu dekat.”

Dengan mata terpejam, aku mengulang ucapan Simbah, meresapinya, dan perlahan rasanya semua gundah meluruh jatuh. “Gusti Allah itu dekat.”

Buka matamu, Nduk.

Perlahan, tetapi pasti, kedua kelopak mata ini terbuka. Remang-remang cahaya tertangkap, silau. Sejenak, ada keheranan melanda jiwa. Kembali angin membelai wajah, butuh beberapa waktu untuk menyadarkan diri dari pening yang mendera.

Aku langsung menangkap sebuah tulisan di sana, Rejawikarta. Pada sebuah batu nisan yang tertancap di salah satu pusara bertabur bunga. Menunduk, tanpa bisa dicegah, air mata menganak sungai di pipi. Simbah, telah berpulang.

Padahal, sudah cukup lama, tetapi kepergiannya seolah baru terjadi kemarin. Ingatan yang sama terus berulang, selepas Magrib, di teras rumah, berikut pesan terakhirnya masih terus terngiang di kepala.

“Gusti Allah itu dekat, Nduk.”

Aku kembali tertunduk lesu. “Benar, Mbah. Gusti Allah itu dekat.” Setelahnya, aku mengusap lembut nisan itu, membelai tulisan yang terukir apik di sana, penuh kehati-hatian, takut merusaknya.

Ya, Tuhan. Aku masih bimbang dan sekarang aku sudah tak lagi punya tempat pulang. 

“Gusti Allah itu dekat, Nduk. Kedah dipun eling-eling.”

***

Tentang Penulis

Devtri, kelahiran Cilacap Barat. Membaca menjadi salah satu hobinya. Sudah cukup lama vakum dari dunia kepenulisan dan cerita pendek ini merupakan langkah awalnya untuk kembali. Mari berkenalan dengannya dan temukan ia di Instagram @lingkarsepi.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar