[CERPEN] Antara Harapan dan Indahnya Takdir Allah
![]() |
ilustrasi sedang mengaji (pexels.com/RDNE Stock project) |
Dua minggu sebelum keberangkatan, ayahnya tiba-tiba jatuh sakit. Awalnya hanya kelelahan biasa, tetapi semakin hari kondisinya semakin memburuk. Aisyah mulai khawatir, tetapi ia masih berusaha berpikir positif. “Mungkin Ayah hanya butuh istirahat,” katanya kepada diri sendiri. Namun, suatu malam, keadaan ayahnya memburuk. Ibu segera membawanya ke rumah sakit dan setelah pemeriksaan intensif, dokter memberikan kabar buruk. Ayahnya mengidap penyakit jantung yang tidak terdeteksi sebelumnya dan kondisinya cukup serius.
Hati Aisyah hancur mendengar kabar itu. “Ayah akan sembuh, kan?” tanyanya penuh harap.
Ibunya berusaha tersenyum meskipun jelas terlihat kesedihan di matanya. “Insyaallah, Nak. Kita doakan yang terbaik untuk Ayah.”
Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan. Aisyah tidak lagi memikirkan umrah atau iktikaf di Masjidilharam. Yang ada di pikirannya hanyalah kesembuhan ayahnya. Ia menghabiskan waktu lebih banyak di rumah sakit, duduk di samping tempat tidur ayahnya, menggenggam tangannya yang mulai melemah. Ayah tetap berusaha tersenyum untuknya.
“Maaf, Sayang,” katanya lirih suatu hari. “Kita mungkin harus menunda perjalanan kita ke Makkah.”
Aisyah menggeleng dengan air mata yang sudah menggenang. “Tidak apa-apa, Ayah. Yang penting Ayah sembuh.”
Akan tetapi, Allah punya rencana lain. Beberapa hari kemudian, di tengah bulan Ramadan, Ayah mengembuskan napas terakhir. Dunia Aisyah runtuh seketika. Tangisnya pecah di pelukan ibunya. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa sosok yang selalu menjadi panutan dan pelindungnya. Hari-hari setelah kepergian Ayah terasa sangat berat. Ramadan yang seharusnya penuh kebahagiaan kini terasa hampa. Ia hampir tidak bisa makan, hampir tidak bisa tidur. Hanya ada kesedihan yang menggelayuti hatinya. Setiap kali melihat sajadah yang biasa dipakai Ayah, hatinya semakin remuk.
Hari-hari berlalu dengan berat. Aisyah merasa ada lubang besar di hatinya. Ia tidak tahu bagaimana cara mengisi kekosongan itu. Setiap malam, ia berbaring menatap langit-langit kamar, mengingat kembali suara Ayah, senyum Ayah, cara Ayah selalu membuatnya merasa aman. Tidak ada lagi sosok itu sekarang.
Menjelang sepuluh hari terakhir Ramadan, ibunya berusaha menyemangatinya. “Aisyah, meskipun kita tidak bisa ke Makkah, kita masih bisa beriktikaf di masjid dekat rumah. Ayah pasti akan senang melihatmu tetap semangat beribadah. Yuk, Nak, kita iktikaf di masjid tersebut.”
Mendengar ajakan tersebut, Aisyah ragu. Apakah rasanya akan sama? Ia ingin merasakan suasana Masjidilharam, bukan masjid kecil di kotanya. Namun, ia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka, ia memutuskan untuk menerima ajakan tersebut.
Malam pertama iktikaf, Aisyah memasuki masjid dengan hati yang masih berat. Ia duduk di sudut, membuka mushafnya, dan mulai membaca ayat demi ayat. Suasana masjid begitu tenang, hanya ada beberapa orang yang juga sedang beriktikaf. Ia menutup mata, membayangkan seandainya ia berada di Masjidilharam saat ini.
Akan tetapi, semakin ia tenggelam dalam bacaan Al-Qur’an, semakin ia merasakan ketenangan. Ia mulai memahami bahwa iktikaf bukan soal tempat, melainkan soal hati yang hadir sepenuhnya untuk Allah. Ia merasakan kehangatan yang tak pernah ia duga. Meskipun tidak berada di Makkah, Allah tetap dekat. Ia bisa merasakan bahwa kehadiran-Nya tidak terbatasi oleh tempat. Aisyah menangis dalam sujudnya, bukan lagi karena kecewa, melainkan karena menyadari bahwa kebahagiaan dalam ibadah bukan terletak pada lokasi, melainkan pada keikhlasan hati.
Hari demi hari berlalu dan Aisyah semakin menikmati iktikafnya. Setiap malam, ia merasakan ketenangan yang luar biasa, sesuatu yang selama ini ia cari. Ia memahami bahwa keistimewaan Ramadan bukan hanya terletak pada berada di tempat suci, melainkan pada bagaimana seseorang benar-benar menghadirkan hatinya dalam ibadah.
Di malam ke-27 Ramadan, Aisyah duduk di teras masjid, menatap langit malam yang bertabur bintang. Ia tersenyum, mengingat ayahnya. “Ayah, aku mengerti sekarang. Makkah memang tempat yang istimewa, tapi Allah bisa kurasakan di mana saja. Aku yakin Ayah juga sedang berada di tempat yang jauh lebih indah.”
Aisyah pulang dari iktikaf dengan hati yang lebih ringan. Ia telah menemukan kedamaian yang selama ini ia cari, bukan di Makkah, melainkan di dalam dirinya sendiri. Tahun ini, Ramadan mengajarinya pelajaran berharga bahwa Allah selalu dekat dengan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh mencari-Nya, di mana pun mereka berada.
***
Tentang Penulis
Khadijah Ath Thahirah atau biasa memakai nama pena Devisha. Perempuan kelahiran Jakarta ini merupakan seorang guru TK yang memiliki minat besar pada literasi dan ingin menjadi penulis yang dapat menginspirasi wanita Indonesia agar menjadi wanita tangguh.
Posting Komentar