[CERPEN] Cahaya Ramadan yang Terangi Redupnya Imanku

Daftar Isi
ilustrasi masjid indah (pexels.com/Константин Поляков)
Suasana rumah pada awal Ramadan di kampung halaman, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, cuaca terasa panas, seperti biasa. Sembari duduk di ruang tamu sambil mengecek chat di WhatsApp, aku menunggu Om Alfar yang akan mengantarku kembali ke Makassar pagi ini pukul 10.30. Om Alfar datang dengan mobil Toyota Kijang Innova yang selalu digunakan untuk keperluan sehari-hari. 

Aku dan Om Alfar menempuh perjalanan dari Majene ke Makassar. Di tengah perjalanan, ia ingin membatalkan puasanya karena merasa capek menyetir mobil selama 4 jam tanpa henti, padahal ini baru setengah perjalanan. Aku heran, di bulan-bulan lainnya, Om Alfar malas makan atau minum selama perjalanan jauh, tetapi kali ini ia justru ingin membatalkan puasanya.

“Om Alfar izin minum, ya,” ucapnya.

“Kok gitu sih, Om? Nggak usah, deh. Btw semalam waktu pergi Tarawih, aku dengar ceramah yang menyinggung soal musafir. Dulu musafir kalo menempuh perjalanan lebih kerasa beratnya, terik matahari di gurun, berjalan kaki atau naik onta, tanpa AC, tanpa atap mobil dan tanpa kursi mobil seempuk sekarang. Coba Om bayangin gimana beratnya?” kataku tegas. 

“Bisa aja kamu, kan ini bagian dari keringan kita sebagai musafir,” balas Om Alfar

“Puasa bukan soal perut dan dahaga, tapi harus kuat bersabar. Masa sih hadis tentang musafir dijadin alasan buat batalin puasa, padahal masih kuat?” 

“Ya udah, Om nggak jadi minum. Tapi kita gantian nyetir, ya,” pinta Om Alfar. 

“Okelah,” jawabku. 

Saat itu kesabaranku diuji sebagai bekal untuk beberapa hari ke depan. Capek juga menyetir dengan jarak sejauh ini, tetapi masih mampu kok dan alhamdulillah sampai dengan selamat. 

Kembali ke Makassar, aku mulai lagi dengan rutinitas mahasiswa. Aku belajar menjaga keseimbangan antara ibadah dan kesibukan akademik serta organisasi. Tugas paper, presentasi, dan review jurnal mulai mendekatiku. Kadang rasa bersalah datang kalau keduanya tak seimbang. 

Terasa berbeda, itu benar bagiku. Ini Ramadan pertama aku jauh dari keluarga. Apakah menyedihkan? Tidak juga. Waktu SMA, aku membaca buku Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi. Dalam buku itu, ada kutipan yang relate dengan diriku: “Merantaulah, kau akan mendapatkan pengganti kerabat dan teman. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup akan terasa setelah berjuang.” – Imam Syafii. 

Tepat yang dikatakan Imam Syafii, di perantauan, aku mendapatkan teman baru. Bersama-sama kami saling membangunkan kalau sahur, makan bareng, dan buka bersama. Inilah momen yang ditunggu-tunggu di bulan Ramadan, yaitu kebersamaan. Tak ada alasan mengeluh karena merasa sendiri. Kami saling mendukung dalam menjalani ibadah, dan kesabaran yang kulalui bersama Om Alfar menjadi tameng dalam menjaga kualitas ibadah di tengah tuntutan akademik dan ambisi pribadi. 

Meski begitu, kami tetap meramaikan momen salat Tarawih dan mendengarkan ceramah. Di ceramah yang menarik hari itu, aku mengeluarkan buku catatan dan pulpenku yang biasanya untuk mencatat ide-ide untuk tulisan, kini kugunakan untuk mencatat poin penting dari ceramah ustaz di masjid. Aku mulai memahami isi ceramah lebih baik dari biasanya. Kebiasaan sederhana ini menegaskan bahwa ibadah bukan sekadar mendengar ceramah seecara pasif, tetapi juga merenungi hikmah di balik ceramah. 

“Nulis apa sih, Safran? Perhatikan tuh ceramah, nggak sopan kamu,” kata Dennis, teman indekosku. 

Aku menjawab “Iya, tahu. Ini lagi nyimak, cuma butuh otak kedua supaya gampang kuingat kembali kalo nasehat penceramah itu dibutuhkan suatu saat nanti.” 

“Ada-ada aja kamu. Nggak jelas,” kata Dennis seolah merasa paling benar. 

Sering minder, kalau Tarawih, akus sering sibuk mencatat di pocket note-ku saat ceramah berlangsung. Jemaah pun sering salah paham, bahkan temanku mengira aku tak peduli sama penceramah. Bahkan pernah disindir sama ustaz. 

“Jemaah, perlu diingat, kalau ustaz berceramah, kita wajib nyimak, bukan asyik menggambar di kertas, itu kurang sopan tahu!” Tatapan sinis beberapa jemaah bagaikan tak nyaman melihatku. 

Aku harus bersabar menahan emosi dari kejadian itu. Aku yakin mencatat itu baik meski sebagian orang tak paham. Sindiran ustaz tak kuhiraukan, yang penting isi ceramahnya, bukan melulu tentang orang yang menyampaikan. 

Ramadan selalu membawa momen berkesan hingga teman nonmuslimku, Hans, penasaran mendengar tentang Ramadan. Suatu hari setelah kuliah selesai, aku, Ino, dan Hans berjalan ke perpustakaan Universitas Hasanuddin. Hans bertanya kepada kami, “Di bulan Ramadan, apa sih yang beda dari bulan lainnya?” 

Ino menjawab, “Bukan sekadar menahan haus dan lapar, tapi jaga emosi, nafsu juga harus puasa. Bulan ini istimera banget bagi kami karena Al-Quran diturunkan di bulan Ramadan, jadi kita berusaha melakukan amal sebanyak-banyaknya untuk meraih keberrkahan.” 

“Berarti ibadah kalian nambah?” tanya Hans penasaran, lalu aku sambung, “Iya, kayak ngaji, salat sunah, seperti Tarawih dan menyumbang sebagian harta.” 

“Asal kamu tahu ya, Hans, pahala kita dilipatkagandakan, seperti ngaji, dengar ceramah di masjid, beramal, memberikan santun kepada anak yatim. Pun sama dengan dosa. Makanya beban dosa kita lebih berat juga.” Aku dan Hans terdiam. 

“Yakin kalian nggak bakal bikin dosa?” kata Hans, tetapi dijawab langsung oleh Ino. 

“Iyalah, yakin” 

Hans bertanya kembali. “Nah, kalian Tarawih, kan? Semalam tuh penceramah bahas apa? Ino, jawab dong pertanyaanku.” 

“Hm, apa, ya? Aku lupa, sih. Soalnya semalam ngantuk banget, jadi nggak fokus. Jujur aja nih, daripada bohong malah nambah dosa.”

“Lah, gimana sih, Ino? Lu sama aja berdosanya, kok nggak perhatikan penceramah, aduh rugi, dong. Eh, jangan-jangan lu Safran juga gitu?” 

“Ha-ha-ha nggaklah. Bentar, aku ambil catatanku dulu. Semalam ustaz ngingatin kita bahwa Ramadan ini bulan yang istimewa, perbayak baca Al-Qur’an, manfaat puasa.” 

Rasanya kalau tidak paham isi ceramah di bulan Ramadan itu bagai angin yang berlalu. Aku mulai tertarik mencatat isi ceramah, lalu mempelajari kembali saat tiba di indekos. 

Semakin hari, tantangan datang silih berganti. Aku mulai merasa bulan Ramadan ini biasa saja dan memberatkan. Jam tidurku berantakan, tugas menumpuk karena manajemen waktu yang berantakan. Hingga suatu malam aku berada di puncak burnout. Seminggu tidak tidur malam. Daripada bengong, aku manfaatkan waktu begadang dengan membaca buku, menonton ceramah Ustaz Adi Hidayat. Aku juga membaca Al-Qur’an dan menyelesaikan tulisan dan tugas akademikku. Baru kali ini, aku merasa begadang ini bagaikan anugerah untuk melakukan hal dan pekerjaan yang tidak sempat kulakukan di siang hari. 

Seminggu sebelum Lebaran, kesempatan untuk pulang ke kampung halaman semakin dekat. Aku memustukan mudik mumpung kuliah dilaksanakan secara daring. Aku menyiapkan barangku, membersihkan kamar indekos, lalu kutelepon Om Alfar untuk mengantarku pulang sekaligus singgah beli oleh-oleh roti Maros. 

Kembali ke rumah bukan berarti waktunya bersantai. Persiapan lomba pidato dan esai ilmiah tingkat nasional yang akan diadakan sebulan lagi, dan semuanya membuatku kurang percaya diri. Pikiran negatif selalu menghantuiku ditambah aku tidak punya pengalaman ikut pidato membuatku juga tidak fokus dalam mengerjakan tugas menyusun naskah pidato dari kakak tingkat di kampus. Di waktu yang sama, aku juga kesulitan untuk menentukan ide esai yang akan kutulis. 

Kebetulan, temanku dari kampus, Nasywa, sudah sepekan di Majene untuk meneliti perahu Sandeq, yang merupakan perahu tangguh dari Sulawesi Barat. Nasywa bersama anggota kelompoknya untuk persiapan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional dan mereka mengajakku bukber di dapur Mandar untuk mencicipi kuliner khas Mandar. Saat sampai di sana, aku kira mereka akan melanjutkan diskusi proposal penelitian setelah makan. Ternyata, hari itu mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaan untuk sementara. 

“Safran, akhir-akhir ini kamu juga sibuk banget, ada persiapan apa, nih?” tanya Nasywa

“Aku ikut lomba esai ilmiah dan pidato bahasa Inggris bulan depan. Aku lagi sibuk untuk persiapan, tapi overthinking juga, takut tidak bisa melakukan semua dengan hasil maksimal,” jawabku.

Nasywa mengingatkan, “Sekarang kan bulan Ramadan, ini juga sepuluh malam terakhir. Banyakin berdoa, insyaallah jika disertai dengan keyakinan dan usaha, niscaya semuanya baik baik saja.”

“Oh iya, ya, tepat banget.” Aku bahkan lupa bahwa ini bulan yang penuh berkah, nasihat Nasywa membuatku merefleksikan semuanya setelah tiba di rumah. Aku mungkin terlalu takut dengan hal yang belum tentu terjadi, seperti takut gagal dan takut tidak bisa tampil dengan baik. Namun, aku lupa bahwa aku juga masih belajar dan kegagalan pasti wajar. “Makasih ya, nasehatnya, Nasywa,” kataku dengan tegas. 

Saat merasa tak percaya kepada diri sendiri, aku memperkuat keyakinan dan menyerahkan segalanya kepada Allah dengan tawakal, fokus pada proses, dan usaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. 

Ramadan tahun ini mungkin tidak sesempurna target awalku, tetapi aku belajar untuk lebih menghargai waktu dan berusaha menjadikan kebiasaan itu terus berlanjut meskipun sempat merasa burnout. Pada akhirnya, aku mencoba untuk tidak terlalu khawatir terhadap hal yang belum aku usahakan

Aku juga belajar tentang memaknai tantangan di tengah redupnya imanku. Aku belajar untuk lebih baik dalam bersabar, menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, serta tawakal dalam menjalani produktivitas. Senang rasanya bisa menadaburi setiap pelajaran penting yang kuterima.

“Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran yang kau jalani, yang akan membuatmmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit.” - Ali bin Abi Thalib.

***

Tentang Penulis

Tanwir merupakan pemuda dari tanah Mandar yang senang belajar menulis dan menyelami makna tersirat dalam liku kehidupan yang penuh pelajaran berharga dan inspirasi. Aktif menulis di Medium dan media sosial. 

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar