[CERPEN] Dentang Ramadan
![]() |
ilustrasi bercerita bersama (pexels.com/Asad Photo Maldives) |
Dengan setengah sadar, aku bangkit dari kasur, tetapi masih setia dengan sarung kesayanganku dan menoleh ke arah Yura yang masih terlelap di sebelahku. Aku tahu dia pasti butuh perjuangan ekstra buat bangun. Dengan sedikit niat baik—dan banyak niat jail—aku mengguncang pundaknya pelan.
“Oi, Yura, bangun sahur.”
“Hm ….” Dia menggeliat sedikit, lalu menarik selimut lebih erat.
Aku mengesah, lalu mendekatkan wajahku ke telinganya dan mulai ancang-ancang untuk mengeluarkan suara.
“YURAAA! SAHUR!”
“Astaga, Kai!” Yura langsung meloncat kaget, hampir menabrak lemari. Aku tertawa puas melihat reaksinya.
Akan tetapi, misiku belum selesai. Aku berjalan ke kamar sebelah, mengetuk pintu beberapa kali.
“Zaskia, Nata! Sahur!”
Tak ada jawaban. Aku mengetuk lebih keras.
“ZASKIAAA! SAHUR, WOI!”
Tiba-tiba, pintu terbuka dan yang muncul adalah Nata, wajahnya masih setengah sadar.
“Aku nggak puasa, Kai …,” ucapnya pasrah.
“Tau. Tapi mau nemenin kami makan, kan?”
Dia menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Iya, iya. Masakannya enak soalnya.”
Kami duduk di meja makan kos, menikmati sahur seadanya. Tak ada nasi padang mewah atau makanan mahal, hanya telur dadar, mi instan, dan tahu goreng yang dimasak buru-buru semalam. Namun, tetap saja, sahur bareng seperti ini selalu terasa menyenangkan.
Sambil mengunyah, Zaskia menatap kami dengan ekspresi penuh pertimbangan. “Eh, kalian sadar nggak sih, ini Ramadan pertama kita di kosan?”
Aku dan Yura saling pandang. Iya juga, ya.
“Gimana rasanya bagi kalian?” tanya Nata tiba-tiba.
Aku mengangkat bahu. “Lumayan. Nggak ada yang bangunin, kecuali diri sendiri. Harus masak sendiri. Harus hemat uang jajan juga karena nggak ada yang bisa ditagih kalau tiba-tiba bokek.”
Zaskia mengangguk menanggapi jawabanku. “Betul tuh, jadi secara nggak langsung ini bisa melatih mandiri kita, ya guys, ya. Ha-ha.”
Yura tertawa. “Tapi seru juga, kan? Rasanya lebih bebas.”
Aku mengangguk setuju. Ramadan ini mungkin jauh dari kesan “rumah”, tetapi ada kebersamaan yang berbeda di kosan.
***
Pagi harinya, kami berempat berjalan ke sekolah dengan langkah lesu dan berat, padahal jarak sekolah dengan kosan kami hanya beberapa meter.
“Ngantuk parah,” keluh Yura sambil menguap.
Aku mengangguk setuju. “Rasanya kayak zombi yang dipaksa keluar siang hari.”
“Zombi yang harus sekolah ….”
Kami tertawa pelan, tetapi Zaskia tiba-tiba menoleh dengan tatapan jail.
“Eh, Kai, bukannya kemarin kamu dapat tugas presentasi?”
Aku terdiam sejenak, otakku yang masih ngantuk mencoba mengingat sesuatu. Lalu, aku terbelalak. “ASTAGAAA … LUPA, ELAH! Duh, gimana, nih?”
Yura tertawa puas. “Tenang, tenang. Aku bantuin kamu nanti.”
Nata yang sedari tadi diam hanya terkekeh. “Tenang, Kai. Ramadan itu bulan penuh ampunan, semoga dosamu lupa tugas ini bisa dihapus juga.”
Kami semua tertawa keras sepanjang perjalanan menuju sekolah karena ucapan Nata.
Saat pelajaran berlangsung, aku berusaha mati-matian menahan kantuk. Guru menjelaskan materi dengan suara datar yang entah kenapa terdengar seperti lagu “Nina Bobo” di telingaku.
Aku mencoret-coret buku, mencoba tetap menjaga kesadaran dan kewarasanku. Tiba-tiba, sebuah gumpalan kertas melayang ke mejaku.
Kai, jangan tidur. Ingat, kamu presentasi habis ini. -Yura
Aku menatap Yura dengan ngeri. Dia hanya tersenyum jail ke arahku.
Dan benar saja, beberapa menit kemudian, namaku dipanggil ke depan kelas.
Aku menarik napas dalam, berdiri, dan memulai presentasi. Awalnya berjalan lancar, sampai aku tanpa sadar mengucapkan sesuatu yang membuat seluruh kelas tertawa.
“… jadi, kesimpulannya, Ramadan mengajarkan kita untuk … em … menahan ngantuk sepanjang hari.”
Aku terdiam.
Guru terdiam.
Kemudian, tawa satu kelas meledak.
Aku mengutuk otakku yang masih loading ini karena ngantuk stelah semalaman push rank game. Namun, ya sudahlah. Ramadan memang penuh cobaan, termasuk cobaan tetap sadar di kelas.
Teman-teman kelasku yang lain justru bersyukur aku mengantuk berat karena tidak akan ada seorang villain yang biasanya bertanya pada mereka saat presentasi. Mungkin karena pertanyaanku yang agak di luar nalar ini, selalu kucari celah di antara materi yang mereka presentasikan.
***
Sore harinya, dapur kosan berubah menjadi seperti medan perang karena kebisingan dan keributan kami. Untung saja tidak ada yang protes karena kosan kami tidak begitu banyak tetangga dekat.
“Minyaknya nyiprat! PANAS BENER!” teriak Yura sambil melompat mundur dari wajan.
“Kalo nggak panas berarti bukan minyak, Yur,” ucapku menanggapi kegaduhan Yura yang mengurus bagian menggoreng seraya tertawa jahat.
Zaskia yang sedang mengaduk sambal tertawa sambil lari ke kamar. “Aku nggak mau kena minyak!”
Aku yang tadinya santai mendadak kena karma. Satu tetes minyak lompat ke tanganku. “AW …! Oke, cukup sudah perangnya, kita beli ayam geprek aja biar gampang.”
Nata yang sedari tadi duduk santai langsung mengacungkan jempol. “Akhirnya ada yang sadar kalau masak itu nggak mudah!”
Kami semua tertawa dan akhirnya setuju untuk beli makanan di luar saja, sekali-sekali karena ini juga Ramadan pertama.
Di perjalanan menuju warung ayam geprek, kami melihat suasana Ramadan di kota. Masjid-masjid mulai ramai, jalanan penuh orang yang berburu takjil, dan anak-anak kecil berlarian membawa petasan.
Aku menyeletuk tiba-tiba ke Zaskia yang di sebelahku. “Zas, petasan, yok? Gas?” ucapku dengan menaikturunkan alis menatap Zaskia.
“WIH, GAS, DONG!” balas Zaskia semangat.
Kemudian, Yura tertawa dan tersenyum. “Ramadan itu unik, ya. Kayak semua orang jadi lebih hidup.”
Aku mengangguk. Ada sesuatu yang hangat dalam suasana ini, sesuatu yang membuat Ramadan terasa lebih dari sekadar bulan puasa.
***
Saat azan Magrib berkumandang, kami duduk melingkar di ruang tengah kamar kosanku dan Yura.
Zaskia menatap ayam geprek di depannya dengan haru. “Perjuangan tadi nggak sia-sia.”
Aku tertawa. “Setidaknya kita nggak perlu lari dari minyak panas lagi.”
Nata yang dari tadi diam tiba-tiba berkata, “Aku suka lihat kalian kayak gini. Ramadan itu hangat, ya.”
Aku menoleh ke arahnya. “Maksudnya?”
Nata tersenyum kecil. “Aku nggak puasa, tapi ngelihat kalian sahur bareng, masak bareng, rebutan takjil … aku jadi sadar bahwa Ramadan bukan cuma soal menahan lapar, tapi juga tentang kebersamaan.”
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum. Nata ada benarnya.
Malam itu, setelah Tarawih, kami duduk di teras kos sambil push rank game bareng seraya menikmati dinginnya udara malam. Ramadan memang tidak selalu mudah, terutama bagi anak kos yang harus bertahan dengan dompet pas-pasan dan makanan seadanya.
Akan tetapi, selama kami masih bisa tertawa dan berbagi satu sama lain, aku rasa semuanya akan tetap terasa hangat.
Karena Ramadan bukan cuma tentang bertahan tanpa makan dan minum seharian. Ramadan juga tentang bagaimana kita bertahan dan saling ada untuk satu sama lain.
***
Tentang Penulis
Kailla Sanabil Hazrina adalah pelajar SMK yang menjadikan literasi sebagai dunianya. Ia meraih beberapa prestasi yang berkaitan dengan literasi dan percaya bahwa kata-kata punya kekuatan untuk mengubah cara pandang seseorang. Dengan setiap tulisan, ia ingin meninggalkan jejak yang berarti dan menginspirasi banyak orang.