[CERPEN] Ramadan Ke-5
![]() |
ilustrasi kalender (pexels.com/Bich Tran) |
“Apa kabar?” tanya dia lembut padaku dengan senyum mengembang di wajah.
“Baik,” jawabku singkat. Aku heran dengan diriku sendiri. Masih bisa aku menjawab sapaannya dan membalas senyumnya. Bahkan, aku tetap menyambutnya dengan tangan terbuka, seolah tak terjadi apa-apa.
Apakah rasa sakit yang kurasakan ini membuat pikiranku kacau? Entahlah. Saat itu, aku benar-benar tak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan. Aku seolah terhipnotis oleh pesonanya meski kenyataannya dia telah mengkhianatiku. Akhirnya, kucoba sembunyikan luka ini seorang diri, tanpa seorang pun tahu.
Akan tetapi, tak pernah kutahu sebelumnya, ternyata berpura-pura itu amat melelahkan. Saat telah memiliki ruang sendiri, barulah aku buka luka itu. Kulihat luka itu merah menganga. Rasanya begitu pedih saat kusentuh. Kesendirian akhirnya membuatku harus mengakui bahwa aku telah dikhianati. Air mataku tumpah. Rasa sakit ini bertambah berkali-kali lipat.
Lalu, Ramadan kedua, dia kembali datang.
“Apa kabar?” Lagi-lagi dia menyapaku dengan lembut. Senyumnya tetap ceria dengan wajah berseri. Kali ini aku tak menjawabnya. Aku berjalan mundur dan menghilang perlahan. Diam-diam, aku tatap dia dengan penuh amarah.
Sejak hari itu, aku memilih masuk ke tempurungku karena dunia ternyata bukanlah tempat yang aman. Di dunia, kawan bisa menjadi lawan. Orang yang paling aku percaya, malah menjadi orang yang paling dalam menorehkan luka. Tak ada yang bisa aku percaya lagi di dunia.
Di sinilah, di dalam tempurung ini, satu-satunya tempat yang aman, tak ada seorang pun yang bisa mencapainya. Hanya aku dan Tuhan yang mengetahui tempat ini. Di sini, aku bisa meluapkan segala amarah yang terpendam. Kuteriakkan semua sumpah serapah untuknya.
Anehnya, aku tak merasakan kepuasan setelah meluapkan segala amarah. Rasanya malah semakin menyakitkan saat kusadari bahwa akulah yang bodoh sejak awal karena mengabaikan berbagai pertanda yang sebenarnya banyak sekali dia tinggalkan.
“Seandainya aku lebih waspada saat itu, maka tak akan aku mengalami kepahitan ini,” gumamku pada diri sendiri sambil menyungkur.
Sungguh, ingin rasanya aku memutar waktu, kembali ke masa itu dan melakukan hal yang berbeda. Aku tak terima dengan semua pengkhianatan dan penghinaan ini!
Akan tetapi, tak ada yang bisa aku lakukan. Aku kehabisan tenaga. Sepanjang hari, aku hanya diam, meringkuk sembari meratapi nasib diri di dalam tempurungku.
Tanpa kusadari, Tuhan rupanya selalu mengawasiku. Diam-diam, Dia pindahkan tempurungku ke tempat yang lebih terang hingga aku mulai melihat seberkas cahaya dari celah kecil di bawah tempurung ini.
Ingin aku keluar dan melihat sekitar. Namun, aku takut. Aku takut orang lain akan datang dan melukaiku lagi. Aku putuskan untuk memasang tembok tinggi di sekeliling tempurung agar orang lain tak bisa sembarangan masuk dan mengganggu hari-hariku.
Ramadan ketiga, rupanya dia datang lagi.
“Apa kabar?” tanyanya, masih dengan suara lembut dan senyum yang indah. Raut wajahnya pun tak sedikit pun menggambarkan rasa bersalah.
“Baik,” jawabku singkat.
“Oh, apa kau tak membawa sesuatu?” tanyaku padanya.
“Sayang sekali, aku tak membawa apa pun hari ini. Apa yang kau mau? Akan aku bawakan lain kali,” katanya menawarkan.
“Hm … sayang sekali. Kukira kau membawa belati lagi hari ini. Siapa tahu kau ingin menghunjam sesuatu … lagi,” ujarku dengan tatapan tajam.
Dia terpaku mendengar ucapanku. Wajahnya tampak bingung, lalu mulai berjalan mundur. Dari jarak itu, dia bisa melihat jelas tembok tinggi yang kubangun. Kulihat dia mulai tampak hati-hati.
“Sepertinya kau sedang perlu istirahat. Aku tidak akan mengganggumu. Aku pamit,” ujar dia sambil berjalan keluar. Dalam hati aku senang dia menyadari suasana hatiku yang buruk. Aku berharap ada sepatah kata lagi yang dia ucapkan sebelum benar-benar pergi.
Tak kusangka, dia membalikkan badan. Dia tampak ragu-ragu, seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku sungguh menantikan ucapan itu.
“Lain kali … aku akan datang lagi,” ucapnya.
Aku mengernyit. Apa aku tidak salah dengar? Dia bilang akan datang lagi? Setelah aku menunjukkan ketidaksukaanku padanya? Dari apa hatinya terbuat? Aku banting pintu sekeras-kerasnya, aku yakin dia mendengarnya. Biar saja. Biar dia tahu aku muak padanya. Tak perlu dia datang lagi kemari.
Aku kembali masuk ke tempurungku. Kali ini, aku kembalikan tempurung ke tempat awal. Di ujung lorong yang panjang dan gelap. Aku kembali diam dan merenung di dalam tempurung.
Aku coba buka luka yang telah lama ini. Warnanya tak lagi merah. Sudah hampir kering. Namun, kenapa rasanya masih sama? Sakit dan pedih. Bahkan, kali ini, rasa sakitnya semakin nyata saat aku membukanya di alam mimpi. Aku menangis dan berdoa memohon kesembuhan kepada Tuhan.
Pada Ramadan keempat, aku menutup semua pintu dan jendela. Kudengar beberapa kali dia mengetuk pintu, tetapi kuabaikan. Pada akhirnya, dia lelah menunggu dan pergi. Awalnya, aku merasa lega. Aku tak perlu melihatnya lagi. Namun, mengapa aku mulai merasa gelisah?
“Barangkali, aku pun melakukan kesalahan.” “Barangkali, bukan aku satu-satu korban di sini.” “Barangkali, aku pun melakukan dosa yang sama?” Pikiranku kembali berkecamuk liar.
Tuhan tahu, inilah saatnya untuk memberi tahu padaku, apa yang menyebabkan luka ini masih terasa sakit. Dia mengirimkan sang pemberi pesan untuk menyampaikan pesan-Nya.
“Kau tahu kenapa luka yang telah lama dan hampir sembuh itu masih terus terasa sakit?” tanya sang pemberi pesan padaku. Aku menggeleng.
“Rasa sakit itu masih ada karena kau belum mampu memaafkan dan menerima rasa sakit ini dengan ikhlas,” lanjut sang pemberi pesan sambil menunjuk luka yang hampir mengering di tubuhku.
Ucapannya terasa seperti petir yang menyambar, membuat aku terbangun dan menyadari kesalahanku. Kini aku mengerti. aku terlalu keras kepala. Aku bersikeras mengharapkan dia menyesal, lalu berlutut mengakui kesalahannya dan meminta maaf padaku. Kukira, itulah jalanku untuk sembuh dari luka ini. Rupanya, bukan seperti itu cara yang Tuhan yang inginkan.
Kenyataannya, dia tetap datang dengan senyum mengembang tanpa menyadari kesalahannya. Kemudian, aku mencari cara lain untuk sembuh. Aku mencari cara untuk memaafkan dia meski tak pernah sekalipun meminta maaf padaku.
“Coba kau ingat, apa saja yang telah kau raih selama beberapa Ramadan ini?” pinta sang pemberi pesan. Aku pun berusaha mengingatnya. Aku berpikir keras, tetapi tetap tak kutemukan jawabannya. Sang pemberi pesan tahu batas kemampuanku. Akhirnya, dia beri tahu jawabannya.
“Kau mulai berani menunjukkan apa yang kau rasa. Kau juga mulai memasang tembok pembatas agar orang lain tak bisa sembarangan masuk ke rumahmu dan mengacaukannya. Langkah-langkah kecil itu adalah awal dari kesembuhanmu,” kata sang pemberi pesan. Aku tertegun mendengar ucapannya. Ada rasa hangat yang kurasakan di dalam dadaku.
“Teruslah berusaha. Teruslah mencoba untuk sembuh meski dengan langkah perlahan. Suatu saat, kau akan sampai pada kedamaian itu, saat hatimu tak lagi terbelenggu oleh amarah dan kebencian,” ucap sang pemberi pesan lagi. Kali ini, air mataku mulai tumpah. Aku merasa ada tangan hangat yang menenangkanku di tengah badai yang berkecamuk di dalam hati.
“Nak, suatu saat kau akan mengerti bahwa memaafkan bukan berarti kau menerima segala perbuatan buruknya terhadapmu begitu saja,” ucap sang pemberi pesan lagi.
“Lalu, apa artinya memaafkan?” tanyaku.
“Kau telah mampu memaafkan jika hidupmu tidak lagi dikendalikan oleh peristiwa pahit itu,” jawab sang pemberi pesan ka na tersenyum dan memegang pundakku. Tiba-tiba muncul sebuah cahaya yang begitu terang hingga membuatku tak bisa melihat apa-apa. Saat cahaya itu memudar, sang pemberi pesan rupanya telah pergi.
Akan tetapi, rasa tenang dan damai mulai kurasakan perlahan. Aku percaya pada ucapan sang pemberi pesan. Aku percaya Tuhan sengaja mengirimnya untuk membantuku sembuh dan keluar dari dalam tempurung ini. Aku memberanikan diri untuk melihat dunia dari sudut pandang lain.
Selama ini, aku hanya terus menunduk, meratapi luka yang ada dalam diri ini. Sementara, jika ka nad melihat sekitar, rupanya masih ada langit biru dan awan putih yang beterbangan. Burung-burung pun masih berkicau riang. Bunga melati juga masih menyajikan aroma wangi yang menenangkan.
Aku mulai melangkah keluar dan merasakan satu per satu nikmat yang Tuhan berikan di dunia ini. Meski terkadang tetap ada hujan dan badai, tetapi pelangi selalu tersenyum setelahnya sembari menunjukkan ketujuh warna indahnya.
Ya, barangkali aku telah mendapatkan pelangiku. Barangkali, ka nada hujan badai lagi dalam hidupku. Namun, aku yakin, Tuhan akan kembali mengirimkan sang pemberi pesan untuk mengingatkanku bahwa hidup masih berputar. Kesedihan dan kebahagiaan datang silih berganti. Tak perlu aku risaukan. Aku hanya perlu menjalani setiap takdir dengan penuh keikhlasan.
Kini, di Ramadan kelima, aku membuka pintu rumah lebar-lebar. Aku siap menyambut siapa pun yang datang. Bahkan, jika dia datang lagi, aku tak lagi terganggu oleh senyumnya dan kenyataan bahwa dia tidak pernah meminta maaf.
Apa pun yang terjadi nanti, aku akan kembali melangkah, menyambut Ramadan-Ramadan berikutnya dengan langkah tegap dan hati yang kuat.
***
Tentang Penulis
Noviana Murdiyati adalah seorang guru les Bahasa Inggris yang hobi menonton film dan menulis. Baginya, menuangkan isi pikiran dalam bentuk tulisan merupakan cara ampuh untuk mengurai isi kepala yang kusut. Pernah mengikuti beberapa event menulis surat, cerpen, dan novel.
Posting Komentar