[CERPEN] Sematan Maaf yang Tersembunyi

Daftar Isi
ilustrasi di sekolah (pexels.com/JOHNY REBEL, the Explorer Panda)

Di ujung lembayung yang hendak menelan matahari, padat jalanan akan selalu menemani di bulan Ramadan ini. Klakson bersahutan, kendaraan berdesakan, berderap pelan senti demi senti.

“Mana motormu, Res?” Suara itu membuat pandanganku teralih.

“Tuh.” Aku menunjuk motor merah yang berada di barisan depan.

“Waduh, nggak bisa keluar, dong. Sama kaya punyaku.”

“Makanya dong, datang itu telat.” 

Suara yang sangat kukenal itu mau tidak mau membuatku menoleh walau sebenarnya enggan. Mata kami bertemu sebelum, kemudian aku cepat-cepat mengalihkan pandangan setelah tak menangkap ekspresi kesal, jutek, ataupun sinis. Well, mengingat pertikaian terakhir kami hingga membuatku kesal setengah mati dengannya. Apakah dia sudah lupa? Apa yang tersembunyi di balik ekspresi itu?

Dia Gelael, teman seorganisasiku. Hubungan kami memang tidak sedang baik sekarang. Entahlah, dia memang mengesalkan dan agak petantang-petenteng.

“Kenapa ketawa-ketawa?” 

Sungguh, masih melekat kuat bagaimana suara nyolot serta wajah sinisnya waktu itu. Kukira ekspresi itu akan tetap terpatri di wajahnya, tetapi nyatanya tidak. Padahal, sudah kupasang wajah sinis ini.

“Eh, ayo masuk, masuk!” Mbak Zeva yang tiba di antara kami sukses membuyarkan lamunanku.

“Di sebelah mana tempatnya?” Cowok itu bertanya pada Mbak Zeva.

“Lesehan di sana. Ada temen-temen yang lain.” 

Setelah Mbak Zeva menunjukkan di mana tempat kami duduk, Gelael dan Reno langsung menuju ke sana.

“Eh, kalian mau ke mana?” tanya Mbak Zeva padaku dan Naya.

“Mau beli es blewah, Mbak.” Naya menjawab. Ya, perempuan itu dari tadi menyesal karena tidak membeli es blewah sewaktu menempuh perjalanan ke tempat ini sekalian, padahal dirinya ingin sekali.

Mbak Zeva berdecak. “Kok ada aja kamu ini. Udahlah, nggak usah. Mau azan ini.”

Naya memelas. “Lagi pengin banget ini, Mbak.”

“Ya udah, cari di pinggir jalan sini aja, jangan jauh-jauh.”

“Oke, Mbak. Ayo, Res! Jalan kaki aja nggak apa-apa, ya?”

“Eh, iya,” jawabku begitu mendapati tarikan dari Naya setelah mendapatkan izin dari Mbak Zeva. 

Perempuan yang sekarang rela berdiri di pinggir jalan itu menanti kedatangan satu teman kami yang tak kunjung sampai. Aku juga tadi ditunggunya, serta disambut demikian dan diarahkan ke meja reservasi kami. Tak hanya aku, seluruh anggota bukber ini disambutnya. Tanpa diminta, ia menempatkan posisi sebagai pengatur ketertiban kami. Bagiku, dia adalah figur ibu untuk kelas, di samping umurnya yang lebih dari aku, figurnya pun benar-benar berperan sebagai pengayom. Love sekebon deh buat Mbak Zeva ini.

Pada latar belakang bingkaian senja, aku dan Naya menyurusi jalan sembari berbincang ringan, menikmati hiruk piruk sore di bulan Ramadan yang belum tentu tahun depan bisa kami nikmati lagi. Sesi ini berakhir dengan dengkusan kesal Naya karena tidak mendapat apa yang diinginkannya.

Kedatangan kami bertepatan dengan kumandang azan. Sementara itu, kericuhan tak terelakkan karena pesanan kami tak kunjung datang semua. Namun, tak berapa lama Mbak Zeva dan Mbak Ara membawa beberapa piring nasi ke tempat kami duduk, hasil dari protes.

“Ini, nih. Oper ke sana! Aku ambilin lagi,” kata Mbak Ara sembari memberikan apa yang ia bawa. Perempuan yang mereservasi tempat untuk bukber kami ini sedari tadi kelimpungan karena makanan tak kunjung diantar. Yah, beginilah kondisi tempat makan ketika bulan Ramadan.

Mbak Ara dan Mbak Zeva kini datang kembali membawa minuman setelah selesai dengan urusan makanan. Minuman itu langsung kami serbu sebab azan sudah mengalun dari beberapa menit lalu.

“Esnya kurang manis, tawar.” Tiba-tiba bisikan itu terdengar dari samping kananku. Aku menoleh dan mendapati Niara dengan wajah siap me-roasting-nya.

“Oh, iyakah?” Untuk membuktikan ucapan Niara barusan, aku meminum es teh pesananku yang tadinya baru sempat kuaduk-aduk. “Iya.” Aku terkekeh, balas berbisik pada Neira.

Neira mencebik. “Enakan es teh buatan ibuku.”

Aku meringis sembari mencolek pahanya. “Sssttt … kangan gitu, kita harus paham situasinya sekarang.” Pesanan dapat kami nikmati tanpa kekurangan satu pun sudah sangat bersyukur. Well, lihatlah betapa ramainya tempat makan ini. 

Setelah drama makanan dan minuman usai, kami menikmati buka bersama ini dengan khidmat. Namun, ada yang sedikit mengganjal untukku. Ya, Gelael. Sebisa mungkin aku tidak bersitatap dengannya. Setelah kejadian di parkiran tadi, entah kenapa rasa bersalah ini mencuat. Agaknya, aku terlalu keterlaluan padanya akhir-akhir ini. Mengingat bagaimana kekesalanku yang tampak nyata, mungkin hal itu menyentil egonya. Hingga dia bereaksi seperti kemarin, yang bahkan tidak pernah sekalipun dikeluarkan olehnya yang selalu bersikap konyol. Ah … entahlah!

“Eh, Res.”

Panggilan itu menarikku dari riuhnya isi kepala, membuatku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu menoleh beberapa saat kemudian.

“Lihat si Reno! Lucu banget nggak sih makannya?” bisikan Naira kembali terdengar. Perempuan yang tingginya hampir sama denganku itu terkikik pelan.

“Masa, sih?” responsku sembari mengikuti arah pandang Naira. “Eh, iya, dong.” Tak kuasa aku menahan kikikan menyaksikan wajah lucu Reno dengan piring yang disangga dan kaki naik satu.

Pembahasanku dengan Naira pun berlanjut pada asumsi yang mengatakan bahwa jika laki-laki makan selalu terlihat kasihan. Dan, kalian tahu wajah siapa yang paling kasihan ketika makan setelah aku amati? Yup, Gelael. Sayangnya, hal itu hanya tersuara dalam benak.

Aku akhirnya tertawa pelan, berbisik pada Naira. “Reno sih yang paling kasihan.” Memang nyatanya, tetapi di atas Reno masih ada tampang Gelael yang lebih terlihat kasihan. Ha-ha, lupakan.

“Ayo, ngopi!” 

“Ayo, ayo!”

“Gas!”

Semua berseru setuju akan ajakan Gelael. Jika sudah kumpul begini, tidak afdol rasanya jika tidak ngafe dulu. Terlebih, selama bulan puasa ini kami tidak bisa ngopi bersama. Setelah semua piring tandas, kami pun beranjak dari sesaknya tempat ini ke masjid terdekat untuk menunaikan salat Magrib, selain ….

“Kalian salat aja, aku udah pernah.”

Gesrek banget, kan? Begitulah jawaban Gelael sambil cengengesan ketika diajak ke masjid dahulu. Eits … pastinya dia hanya bercanda. Entah di mana dia menunaikan salat, tahu-tahu sudah asyik nongkrong di kafe bersama Reno dengan segelas es ketika kami sampai. 

Kafe semi outdoor yang menjadi pilihan kami benar-benar ramai, bahkan kami yang beranggotakan 13 orang ini memilih duduk lesehan di trotoar sebelah selatan kafe. Terdapat keranjang teh botol sosro yang diubah menjadi tempat duduk dan meja. Tadinya Gelael dan Reno duduk di sana, tetapi kini kami melebur menjadi satu-kesatuan dengan duduk lesehan. Tidak akan terasa buruk meski mendapatkan tatapan aneh pengunjung lain.

“Ayo, foto bersama.”

Pada event seperti ini, foto bersama tidak boleh ketinggalan. Rugi sekali tidak mengabadikan momen.

“Tapi, siapa yang fotoin?” tanya Mbak Ara.

“Minta fotoin mbak-mbak itu.” Gelael menunjuk tiga perempuan yang duduk di krat Teh Botol Sosro sebelah kami.

“Jangan sembarangan!” peringat Mbak Zeva.

“Loh, nggak apa-apa. Tadi juga aku yang fotoin mereka, jadi gantian, dong,” sergah cowok itu,, lantas menoleh ke arah tiga perempuan tersebut. “Mbak, Mbak, minta tolong fotoin, dong,” pintanya.

“Bentar,” jawab mereka yang masih sibuk take video velocity.

Beberapa menit kami menunggu, tiga perempuan tersebut tak kunjung menyelesaikan take videonya. Hingga akhirnya Gelael hilang kesabaran.

“Mbak, ayo, dong. Bentar aja.”

“Bentar.” Lagi.

“Udah … biarin aja, kita foto sendiri,” saran Mbak Zeva.

“Janganlah! Jelek nanti,” tolak Gelael keras.

Aku menghela napas. Entah mau modus atau apa Gelael ini.

“Mbak, minta tolong fotoin, bentar aja.” Kali ketiga Gelael meminta setelah menunggu agak lama.

Sampai akhirnya, salah satu di antara mereka berdiri dengan wajah masam. “Iya, iya, ngoceh mulu dari tadi.”

Gelael nyengir girang. “Pake HP mbaknya aja, bagus.” Agak tidak tahu diri memang.

Aku meringis sembari berbisik pada Mbak Zeva yang berada di sampingku. “Mbak, ada aja si Gel.”

Mbak Zeva juga meringis, meremas pelan tanganku sembari mengangguk dengan mata terpejam. “ Udah … biarin.”

“Ih, kok jelek banget. Lagi mbak, lagi,” protes Gelael setelah melihat hasil fotonya.

“Dih, ngelunjak banget,” ucap perempuan tersebut dengan wajah semakin masam.

Mbak Zeva, Mbak Ara, dan beberapa teman perempuanku saling membuang muka dari Gelael dan berbisik satu sama lain.

“Bukan temanku dia, bukan temanku.”

“Gel, jangan ngawur!”

Damn! Dari mana aku mendapatkan keberanian bicara padanya demikian? Aish … Apa yang dia pikirkan nanti? Apa akan sinis padaku seperti kemarin?

“Nggak apa-apa, sekali-sekali. Kapan lagi bisa kayak gini.” Di luar dugaan. Dia malah menatapku dengan cengengesan. Seolah pertikaian kami beberapa hari lalu yang masih kupikirkan sekarang tak pernah terjadi. Namun, entah kenapa ada lega yang menguar.

Setelah sesi foto menegangkan itu terjadi, kami lanjut saling melempar candaan, terkikik, sampai ngakak bersama. Kontributor terbesarnya adalah Gelael, manusia konyol yang jarang serius. Entah berapa banyak tawa yang menguar, berapa banyak candaan yang terlempar.

“Kalau nggak ada dia, nggak akan seseru ini,” gumam Mbak Zeva sembari menatap Gelael yang keluar dari toilet setelah dia mengeluh kebelet BAB tadi.

Gumaman Mbak Zeva diangguki oleh Mbak Ara dan Naira yang mendengarnya. 

Sial! Rasa bersalah ini kian membelenggu kala teringat ucapanku beberapa hari kemarin saat Gelael tidak bisa mengikuti bukber jika diadakan hari Sabtu.

“Ya udah, sih. Kalau dia nggak bisa, ya tinggal aja. Kan yang lain bisa.”

Memoriku terlempar lagi.

“Dia itu ngeselin banget, mana petantang-petenteng, nggak ada isinya pula.”

Gelael, kusematkan kata maaf untukmu pada tulisan yang tak akan pernah kau temui ini. Aku terlalu buruk menilaimu dari luar, melupakan sedekat apa kita pada ranah organisasi beberapa waktu lalu. Memang dirimu konyol dan sok petantang-petenteng, tetapi aku tahu bahwa manusia pasti memiliki dua sisi. Kini aku sadar bahwa kau adalah pelengkap kelas, entah bagaimana seriusnya kelas jika tidak ada dirimu.

Huh ….

Aku mengela napas, kelegaan ini semakin luruh mendapat responsnya yang sangat baik ketika kuajak berdiskusi untuk presentasi Aelasa depan, kebetulan satu kelompok. Dia benar-benar telah melupakan pertikaian waktu itu.

***

Tentang Penulis

Rita Nailir Rohmah adalah mahasiswa yang memiliki kekaguman pada bahasa Indonesia dan sastra. Hal ini mengantarkannya masuk pada Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Selain menjelajahi dunia literasi dengan tulisannya, ia juga terbiasa menuangkan kata dalam puisi. Jika ingin berteman dengan Rita, kamu bisa menemuinya di Wattpad @katolmambu_ atau di Instagram @ritrmh_

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar