[CERPEN] S. Pd (Sarjana Pendgangguran)

Daftar Isi
ilustrasi pekerjaan seorang sarjana (freepik.com/katemangostar)
Sebagai fresh graduate, kau masih bingung antara mau wirausaha, kerja di perusahaan seperti teman-temanmu, mengajar dengan gaji tiga piring, atau fokus jadi pengangguran dengan embel-embel S. Pd saja.

Awalnya kau merasa ke depannya akan baik-baik saja. Nyatanya, sekian banyak surat lamaran yang kau kirim ke HRD perusahaan, satu pun belum tampak titik terang. Tidak ada panggilan interview. Semua perusahaan di kota sudah kau kunjungi. Job fair sana. Job fair sini telah kau datangi. Sesekali istirahat karena ngos-ngosan. Maklum, sebagai pengangguran yang masih magang, hal yang begitu-begitu hitungannya sudah kerja lembur.

Kemeja putih lengan panjang, lengkap dengan setelan celana formal warna hitam. Kau memasuki masjid sambil menggendong tas berisi beberapa stopmap warna cokelat. Kau mengambil wudu, lalu salat dua rakaat. Kemudian, kau memanjatkan doa, “Mana janjimu, Tuhan? Sudah setengah tahun aku menganggur.” Itulah pintamu sambil memelas sedikit jengkel. Menjadi pengangguran memang memuakkan. Kecewa, pesimis, iri. 

“Semoga Tuhan limpahkan seluruh kemalangan ini hanya padaku agar orang lain nasibnya beruntung,” ucapmu di akhir doa, berharap anak cucumu kelak tidak mengalami kemalangan yang sama.

Segerombol gadis berjalan beriringan pulang sekolah. Sambil membicarakan tentang makanan, kencan, jadwal film, seni, dan hiburan. Kau lihat di dada sebelah kanan salah satu gadis itu, “Jelita Putri Yusdanier”. Kau dan segerombol gadis itu berpapasan, kemudian lenyap. Meninggalkan wangi khas gadis remaja yang lembut bercampur sedikit keringat begitu sedap.

Cuaca cerah dan panas. Angin berembus kencang. Menghamburkan debu jalanan, membuat hidungmu terasa gatal dan hangat. Pohon trembesi di pinggir jalan memayungi abang penjual batagor yang repot meladeni pesanan anak-anak sekolah. Sesekali mengelap keringat sambil memasukkan lembaran uang kumal yang tak seberapa.

Tiba sore di halaman rumah. Kau parkir motor, lalu duduk di kursi rotan yang ikatannya mulai sedikit kendur. Sekendur pipi ibumu yang kau lihat menenteng beras, bihun, dan beberapa telur dari toko Cak Ali (Saudagar Madura yang memiliki toko kelontong bercabang-cabang. Buka 24 jam selama 7 hari. Khusus hari kiamat buka setengah hari), dan kau masih saja menganggur.

Kau makin muak dengan nasibmu. Sambil scroll beranda Instagram, kau melihat beberapa posting-an orang-orang dan teman-temanmu. Mereka membagikan foto pacar dan acara resepsi. Berbagai pencapaian dan impian sebagai apresiasi. Terutama teman-temanmu dulu waktu kuliah. Namun, sekarang setelah kau mendapat ijazah S-1 Sarjana Pendidikan, kau malah dengan sengaja menghindari acara reuni dan sekadar kumpul bersama pada umumnya. Karena kau adalah seorang pesimis terbaik di antara mereka. Lagi pula mereka pasti membicarakan dan bertukar tanya tentang gaji dan pekerjaan. Apa itu kesuksesan? Kau sama sekali tidak percaya. Lihatlah, standar hidup terus naik, tetapi pendapatan hidup layak semakin sulit. Pajak naik, tetapi akses mendapat pekerjaan hanya di tangan orang dalam.

Baiklah, setidaknya kau masih bisa menikmati senja sambil melihat kawanan burung bergerombol pulang ke sarang. Bermotor keliling kota tanpa tujuan sambil melihat lampu di sepanjang jalan. Ngomong sendiri di balik helm, apalagi saat hujan. Menunggu lampu merah di perempatan jalan, masih dengan alunan sumbang pengamen yang makin menjamur. Tak lupa kau kantongi uang koin buat Pak Ogah yang dengan sukarela membantu polisi mengatur lalu lintas. Kau berbaur dengan segala suara. Gelak tawa bocah kematian yang mati-matian berkelahi antarsesamanya. Sampai huru-hara demonstran sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang kurang adil. Begitulah kira-kira, setumpuk kebijakan menimbulkan segudang ketimpangan.

Di depan jalan utama desa, kau melihat orang-orang menggelar klasa. Berbondong-bondong membawa nasi berkat, pisang, semangka, ayam panggang, kering tempe, serundeng dan kue apem. Tak lupa air minum dalam kemasan. Mereka duduk melingkar. “Megengan segera dimulai, cepat keluar ikut mengaminkan,” kata ibumu sambil bersiap menghidangkan bihun dan irisan telur dadar. Setelah menyisir rambut dan sedikit parfum, kau pergi ke pelataran bergabung dengan kerumunan. Kau lihat sekeliling dan akhirnya “Putra Mahkota Pengangguran telah keluar”. Senandikamu. 

Di tengah kerumunan, pandanganmu terhenti pada seorang gadis remaja yang berdiri sambil memegangi anak kecil yang sepertinya adalah adik laki-lakinya. Dia khawatir adiknya malah tidak sengaja menginjak suguhan makanan karena keasyikan bermain dengan sekitarnya. “Gadis yang pulang sekolah tadi. Jelita Putri Yusdanier.” Kau masih mengingat nama yang tertulis di dada sebelah kanannya.

Sahur pertama. Sewakul besar nasi putih, tumis buncis dan wortel, tahu tempe goreng, dada ayam krispi tanpa digeprek, secangkir kopi, dua gelas susu hangat, dan beberapa apem sisa berkat megengan yang sudah dihangatkan. Tertata rapi di meja makan. 

Kau santap dengan lahap meski masih terkantuk. “Apa pun makanannya kalau disentuh tangan ajaib Ibu pasti luar biasa enak rasanya,” gumammu sambil terus menghajar sepiring sahurmu. Di tengah sahur bersama itu, kau ingat sesuatu. Dan, kau tanyakan tentang gadis yang mencuri perhatianmu pada ibumu. 

“Ayahnya dipenjara karena terlibat kasus korupsi minyak mentah dan merugikan negara hingga hampir satu kuadriliun. Dia terpaksa pindah ke desa bersama ibu dan satu adik laki-lakinya,” jelas ibumu yang ternyata sudah tahu berita lebih dulu.

Duduk di teras rumah setelah sahur sambil menonton orang-orang yang tergesa-gesa berangkat kerja adalah hiburan sesungguhnya bagi pengangguran sepertimu. Namun, sebagai lulusan Sarjana Pendidikan, kau tidak mengizinkan kebiasaan seperti itu melekat pada dirimu. Kau berusaha tetap semangat menjalani hari meski menganggur. Apalagi di bulan suci Ramadan sekarang ini. Ikut andil dalam urusan pekerjaan rumah merupakan kesadaran sosial yang wajib dimiliki di kala seorang sarjana sedang menganggur. Dengan senang hati kau membereskan beberapa tugas rumah, seperti menyapu lantai dan pekarangan, sekaligus ngepelnya. Mencuci baju juga. Untuk menyetrika, kau serahkan kepada ibumu. Khawatir kurang rapi. Mencuci piring, mengangkat galon, jahit baju tipis-tipis. Tidak lupa mengecek kondisi tabung gas LPG. Bila sudah habis, kau bergegas membeli di toko Cak Ali. 

“Jangan sampai Ibu pergi sendiri membeli tabung gas. Apalagi langkanya LPG karena banyaknya permintaan pasar di bulan Ramadan seperti sekarang ini. Bisa repot kalau Ibu sampai meninggal dunia pas antri panjang,” gerutumu sambil menenteng dua buah tabung gas yang kosong. Setidaknya, kau berusaha berguna dulu dalam masyarakat. Dimulai dari keluarga. Beberapa tugas Ayah juga tidak boleh terlewat. Bantu ringankan pekerjaan ayahmu, seperti  mengganti lampu, menyambung kabel, membenarkan genteng bocor, membenarkan pipa air rumah, dan menghitung debit air pada air keran dapur dan kamar mandi, lalu membandingkan keduanya.

Puasa hari kelima. Tak sengaja kau bertemu Jelita di toko Cak Ali. Tanpa basa-basi kau sampaikan ketertarikanmu padanya. Jelita bertanya, “Kamu siapa? Dan kenapa tiba-tiba?”  

“Maaf, bukan bermaksud menolak. Hanya, keadaanku sekarang lagi sulit. Aku harus lebih dewasa dan bijak. Aku sudah beberapa kali berpacaran dan itu buang-buang waktu,” imbuhnya. 

Kau dalam hati tertegun. Jelita terlihat begitu cantik dari dekat. Bicaranya tertata, terlihat anggun dan menggemaskan. Matanya jernih dan mengilap, lengkap dengan bulu mata lentik dan alis tebalnya. Pipinya kuning kemerah-merahan bagai tomat yang mulai ranum. Bibirnya imut begitu manis, terlihat jelas dalam senyum permen kapasnya.

“Di tengah asiknya mencari info lowongan pekerjaan, aku kesasar di mojok.co. Salah satu website yang memuat berbagai macam tulisan. Aku menemukan informasi tentang lowongan pekerjaan. Dan aku rasa ini sangat menguntungkan kalau kita garap berdua,” jawabmu yang untung seorang sarjana. 

“Serius? Pekerjaan seperti apa itu? Kalau menguntungkan, aku sih gas.” Jelita antusias. Kau mendekatkan ponsel ke wajah Jelita, menunjukkan banner lowongan pekerjaan yang kau maksud.

Dibutuhkan segera:

Perajuk andal dengan spesifikasi sebagai berikut.

1. Pria/wanita

2. Usia minimal udah balig.

3. Friends with benefits, pacaran lebih diutamakan.

4. Tidak butuh yang berpengalaman, fresh graduate dipersilakan.

5. Punya keahlian merajuk atau minimal mau belajar merajuk.

Note : Besaran gaji sesuai dengan usaha ngambek ke pacar, makin serius penyebab ngambeknya, makin berkesempatan dapat cuan dan barang-barang menarik lainnya. Bekerja tanpa tekanan, tanpa bos, tanpa target. Kegigihan diutamakan.

Tanpa perlu waktu lama, kau dan Jelita sepakat dan berjabat tangan. “Sekalian aku save nomor WhatsApp-mu ya, biar gampang komunikasinya,” pintamu sambil senyum. “Boleh, eh tapi kamu harus hati-hati, ya. Aku dan keluargaku masih dalam pengawasan. Bila selama pengawasan aku dan keluargaku berkelakuan baik, hukuman penjara ayahku bisa mendapat remisi. Syukur-syukur bisa segera dibebaskan dan keluargaku bisa berkumpul tepat di Idulfitri tahun ini. Kalau ada teror atau semacamnya. segera hubungi aku, ya,” jawab Jelita sambil menunjukkan nomor WhatsApp-nya.

Puasa hari kelima belas. Terseok-seok kau berjalan setelah memancing sampai sore. Sudah tiga kali kau berkelahi sejak sepakat kerja sama dengan Jelita sepuluh hari lalu. Pertama, Dandy, anak seorang staf di PT Timah yang begitu songong. Kedua, Suparmen, ketua geng motor yang gemar klitih di jalan-jalan. Ketiga, Mathius, anak gym yang tricep-nya segede gaban, yang dengan pitingan kuatnya membuat kau sempoyongan. Untung ada abang penjual batagor yang menyelamatkanmu dari pitingan mematikan itu.

“Maaf ya, mereka itu mantan-mantanku. Aku nggak tahu detailnya kenapa sampai menghajarmu. Sepertinya ada kaitannya sama BPBB atau Badan Pengawasan Berkelakuan Baik. Padahal aku putus baik-baik sama mereka. Nggak mungkin mereka ngelakuin itu kalau nggak ada yang nyuruh. Aduh, maaf, ya/” Jelita menjelaskan asumsinya.

Sepertinya, selama Jelita menjalani masa pengawasan, terlihat akrab dengan Jelita adalah hal yang berbahaya. Namun, nyatanya, kau masih aman saja dan kerja samamu dengan Jelita juga berjalan dengan baik. Hingga di puasa sepuluh hari terakhir, kau mendapat kiriman paket yang dibungkus dengan rapi. Begitu kau buka, ternyata isinya kepala babi. Empat hari kemudian, kau mendapat kiriman paket lagi. Kali ini isinya enam ekor tikus, lengkap dengan kepalanya yang telah diputus. Sepertinya ini teror serius. Mengetahui hal itu, kau semakin kencang mengucapkan “Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’ fu ‘anni”, berharap Tuhan mengampuni segala dosa-dosamu bila nanti terjadi sesuatu.

***

Tentang Penulis

yusuftriambodo. Lelaki biasa yang menganggap menulis adalah pekerjaan gampang sekaligus susah. Tentang bagaimana dirinya, kau tidak perlu tahu. Selebihnya cukup kau baca melalui tulisannya.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar