[CERPEN] Lebaran untuk Santo

Daftar Isi
ilustrasi eid adha (pexels.com/RDNE Stock project)
Lama Santo memandang benda tipis berwarna hitam itu—satu-satunya alat komunikasi yang menyambungkannya dengan keluarga dan orang-orang yang dikenalnya.

“Gimana, Mas? Handphone-nya jadi dijual, nggak?” Suara perempuan pemilik toko membuat Santo mendongak. “Atau mau tukar tambah aja? Kita ada second, tapi lebih bagus dari yang itu.” Perempuan itu menunduk beberapa saat, lalu kembali dengan sebuah kotak. “Ini, Mas. Lebih canggih sedikit. Saya kasih murah aja, biar situ nambahnya nggak kebanyakan.” 

Santo menghela napas sebelum meletakkan ponselnya di etalase. “Maaf, saya perlu uang buat pulang kampung, Mbak. Sudah tiga kali Lebaran saya nggak bisa pulang.”

Perempuan itu mengangguk tanda mengerti. Dia bangkit, mengambil sejumlah uang dari laci di meja, lalu menyerahkannya ke tangan Santo. 

Dengan uang itu, Santo membayar kamar kosnya yang sudah sebulan menunggak, membeli sedikit oleh-oleh untuk ibu dan adiknya, dan sisanya akan dia belikan tiket bus untuk pulang ke tempat kelahirannya—salah satu kota di pesisir pantai utara Pulau Jawa. 

Setelah memasukkan baju yang hanya beberapa lembar itu dan dua buku tipis ke ransel, Santo duduk di pinggir tempat tidur, lalu mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Luas ruangan yang sudah ditempatinya selama nyaris lima tahun itu kurang dari delapan meter persegi. Namun, hanya kamar itu yang menjadi tempatnya pulang setiap hari setelah lelah mengadu nasib. 

Dulu, seperti kebanyakan orang di kampungnya, Santo bermimpi menjadi orang sukses di ibu kota. Namun, pandemi menghajar hampir semua sektor kehidupan. Setelah terkena pemutusan hubungan kerja karena pabrik garmen tempatnya bekerja tak lagi mendapat order, Santo mencoba kerja apa saja. Dia pernah menjadi tukang cuci piring di sebuah rumah makan sederhana, kuli panggul di pasar, tukang parkir di depan minimarket, dan terakhir mengikuti temannya menjadi pengamen karena dia bisa main gitar dan suaranya lumayan merdu saat menyanyi. Namun, usahanya yang terakhir harus berhenti kala dia sakit karena kelelahan dan uangnya habis untuk berobat. 

Kini, di usia hampir 26 tahun, dia harus menyerahkan mimpinya menjadi orang sukses di ibu kota dan kembali ke rumah ibunya. Jangankan sukses, untuk makan pun kadang dia berutang dulu di warung Mpok Minah yang ada di depan rumah kosnya. 

Ketukan di pintu kamar yang setengah terbuka membuyarkan lamunan Santo. Pria itu mendongak, melihat seraut wajah yang dikenalnya. 

“Jadi pulang?” tanya Kimin, tetangga kamar kosnya.

Santo mengangguk. 

“Kapan?” tanya Kimin lagi.

“Lusa.”

“Entar malam ada kerjaan ngangkut barang di Marunda. Bayarannya lumayan,” kata Kimin. “Butuh dua orang lagi. Lo mau? Kali buat tambah jajan di jalan.” 

Santo langsung setuju. Malam itu dengan berboncengan sepeda motor, Santo dan Kimin menuju sebuah gudang logistik. Mereka, bersama beberapa orang lainnya, diminta memindahkan ratusan karung dan kotak kardus dari gudang ke truk yang akan dikirim ke luar kota. Pekerjaan yang dimulai pada pukul 10 malam itu berakhir saat hampir subuh.

Dengan giat Santo bekerja, tak peduli meskipun badannya serasa nyaris remuk. Baginya tambahan upah beberapa ratus ribu lagi sungguh berharga. 

“Besok malam ada kiriman lagi,” kata seorang pria seraya menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada Santo. “Mau lanjut, Mas?”

Santo menggeleng. “Maaf, saya mau pulang kampung, Pak.”

“Saya bisa, Pak.” Kimin menyela. “Jam 9 malam?”

Si pria mengiakan dan berlalu. Matahari belum muncul saat Santo dan Kimin kembali ke rumah kontrakan. Saking lelahnya, keduanya langsung tertidur begitu menyentuh kasur di kamar masing-masing.

Matahari sudah tinggi ketika pintu kamar Santo digedor-gedor. Dengan kepala pening dan kesadaran yang belum penuh, dia membuka pintu.

“Santo! Anaknya Pak Juki kecelakaan!” Kimin menyerbu masuk dengan napas tersengal. “Sekarang mau dibawa ke rumah sakit. Parah! Yang nabrak kabur!”

Mata Santo mengerjap beberapa kali, lalu menatap lelaki bertubuh gempal itu dengan bingung. “Terus … gimana keadaannya sekarang?”

“Anu … lo masih ada duit? Pak Juki mau pinjam buat biaya CT Scan. Katanya nanti habis gajian pasti dibalikin,” kata Kimin. 

“Sebentar ….” Santo duduk kembali di tempat tidur. Dia belum paham benar dengan berita yang dibawa Kimin. “Anaknya Pak Juki gimana?” 

Tangan Kimin bergerak-gerak seperti kipas. Kamar Santo memang panas jika matahari sedang terik-teriknya. Dia menarik napas sebelum menjawab pertanyaan Santo. “Kepalanya bocor. Gue belum ngerti kelanjutannya gimana. Pak Juki masih di rumah sakit sekarang. Tadi dia telepon, mau pinjam duit buat bayar CT Scan. Lo ada, nggak?” 

Kini gantian Santo yang menghela napas. Uang yang ada di tangannya sekarang hanya cukup untuk ongkos pulang dan makan selama beberapa hari di kampung. Jika dia meminjamkan uang itu pada Pak Juki, dia tentu saja tak bisa pulang. Dan, jika memaksa pulang pun, dia tak mungkin minta uang lagi pada ibunya yang sudah lama menjanda, sementara masih ada tanggungan seorang adiknya yang masih duduk di bangku SMA. 

Akan tetapi, dia juga tak bisa mengabaikan keadaan Dimas, anak Pak Juki satu-satunya. Keadaannya pasti parah karena harus CT Scan segala. Lagi pula, dulu saat pertama kali datang dari kampung, Pak Juki-lah yang memberinya pekerjaan di pabrik garmen berkat kenalannya yang juga bekerja di sana—tentu saja tanpa biaya dan setelah lolos tes wawancara. 

Setelah beberapa detik, Santo memutuskan. 

Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia mengambil dompet dari dalam ransel, menghitung beberapa lembar seratus ribuan dan menyerahkannya ke tangan Kimin. “Pakai ini dulu,” katanya. “Gue bisa pulang nanti-nanti.”

Sesaat Kimin tercenung. “Gue ke rumah sakit dulu nganterin duit ini,” katanya. “Lo mau ikut? Sekalian nengokin si Dimas.”

Santo menggeleng. Sisa-sisa mengangkat karung dan kardus semalam masih terasa di badan. “Besok aja,” katanya. “Gue capek banget.”

Kimin pun pamit dan berbalik. “Entar malam lo ikut gue ngangkut karung lagi,” katanya sebelum menutup pintu.

Sepeninggal Kimin, Santo memandang ransel yang masih teronggok di sudut kamar, lalu merebahkan diri lagi. Perutnya mulai merasa lapar, tetapi alih-alih pergi mencari makan, Santo malah memejamkan mata. Di kepalanya terbayang ibu dan adiknya yang tak bisa ditemuinya saat Lebaran. Nanti sore dia akan meminjam telepon Kimin untuk menelepon. Sudah lama sekali sejak mereka terakhir mengobrol di telepon—meskipun sering kali obrolan itu singkat saja. Santo tak pernah mengeluh pada ibu atau adiknya meskipun hidupnya di kota besar tidak mudah dan sesekali penuh drama. 

Dia sudah nyaris jatuh tertidur ketika pintu kamarnya diketuk lagi. Dia membuka mata. “Masuk aja, Min,” katanya, mengira Kimin sudah kembali dari rumah sakit.

Perlahan pintu dibuka. “Santo.” 

Sebuah suara lembut memanggil nama Santo. Pria itu terlonjak. Dia bangkit dengan mata melebar. “Ibu!” serunya, lalu buru-buru mendekat dan memeluk erat perempuan setengah baya itu. 

“Dimas!” Kali ini Santo menyebut nama sang adik yang berdiri dengan senyum lebar di belakang sang ibu. Keduanya pun berpelukan.

“Astaga, Ibu!” Santo menatap ibunya dengan takjub. Dia sama sekali tak pernah menyangka ibu dan adiknya akan menjenguknya. “Kenapa Ibu kemari? Seharusnya aku yang pulang ….”

“Aku sudah coba telepon kamu, Mas. Tapi handphone-mu mati,” sela Dimas. 

Santo diam sebentar sebelum menjawab, “Handphone-nya sudah aku jual.”

Sang ibu yang duduk di sebelah putra sulungnya di tepi tempat tidur menepuk-nepuk tangan Santo dengan lembut. Lalu, dia mengedarkan pandang ke sekitar, melihat kamar yang sempit dengan perabotan seadanya—tempat tidur dengan kasur kapuk yang sudah kempes, sebuah lemari plastik dengan tiga laci, meja dan bangku yang juga terbuat dari plastik. 

Hati Santo mencelus. Sesungguhnya dia tak ingin ibunya tahu kesulitannya selama menjalani hidup jauh dari rumah. Dia ingin seperti teman-temannya—pulang kampung dengan banyak uang dan mungkin beberapa hal yang bisa dibanggakan di depan orang tua dan kerabat. 

“Maaf, Bu.” Santo menelan ludah dan merasa ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya. “Aku … aku belum jadi orang … sukses.” Dia diam untuk menarik napas. Ada perasaan malu yang merayap di dadanya. “Aku belum bisa ngasih apa—”

Sang ibu menyela, “Udah, nggak apa-apa. Kamu sehat-sehat, kan?” Melihat Santo mengangguk, ibunya melanjutkan. “Udah, nggak usah mikirin sukses seperti si Bendi, atau siapa itu teman-temanmu yang pulang kampung. Ibu mau kamu pulang aja, kerja atau bikin usaha di kampung aja.”

Perlahan-lahan kepala Santo mengangguk. Mungkin jalan suksesnya memang tidak seperti teman-temannya yang merantau. Itu bisa dipikirkan nanti. Yang penting sekarang dia bisa merayakan Lebaran bersama ibu dan adiknya.

 ***

Tentang Penulis

Dari suka membaca, Eunike Hanny memutuskan untuk belajar menulis. Hasil belajarnya adalah Klub Bunuh Diri (novel, bukuditeras), A Prenup Letter (novel, Stiletto Book), Saat Gota Tersesat (cerita anak, Gramedia Digital), dan beberapa cerita di platform menulis. Penulis juga pernah menulis skenario 2 film pendek yang tayang di salah satu OTT. Penulis bisa diajak berkawan di FB Eunike Hanny dan Instagram @hanny1806.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar