[CERPEN] Titipan Tuhan
![]() |
ilustrasi sedang sedih (pexels.com/ANTONI SHKRABA production) |
Seorang gadis yang sedang asyik goleran sembari memainkan ponsel tiba-tiba terbangun. “Ya elah, baru juga selesai beresin gudang. Masa nggak dikasih waktu buat napas sih, Bang. Masih pagi ini.” protesnya tak terima.
Kedua alis gadis itu menukik tajam. Jari telunjuknya mengacung tepat di hidung Faiq. “Pasti Abang yang dapet tugas, kan? Kan Abang yang belum bantu beres-beres rumah.”
Faiq Abdillah, nama abang kandung Saras Amira atau yang lebih sering dipanggil Miras oleh abangnya. Sempat protes, tetapi ia pasrah, pikirnya anak bungsu bisa apa dengan segala keanehan abang satu-satunya.
“Ish udah, cepetan sana!”
“Enggak. Lu pasti boong, kan? Iya kan? Ngaku aja lu!”
Wajah Faiq pucat. Ia ketahuan ngibulin adiknya.
“Ya udah, iya, iya. Abang ada keperluan sebentar ini. Kalau project ini berhasil, Abang traktir, deh. Gih sana cepetan, sebelum Mama pulang.”
Saras mengangguk-angguk paham. Cepat ia mendorong punggung Faiq keluar dari kamar. “Oke, ya udah sana. Cari duit yang banyak, ya. Hehe.” Saras tertawa gembira karena berhasil memalak abangnya.
Walaupun sering bertengkar, ia bangga punya Abang yang rela banting tulang mengesampingkan urusan pribadi demi membahagiakan Mama serta adiknya. Semenjak kepulangan Ayah ke pangkuan-Nya, hanya abangnyalah yang menjadi seorang pelindung bagi jiwa-jiwa rapuh untuk perempuan seperti Saras dan mamanya.
Dua buah figura foto terpampang berdampingan di meja belajar Saras. Satu foto dengan keadaan keluarga lengkap dan satunya lagi yang hanya ada wajah Saras, Bang Faiq, dan mamanya. Jemarinya mengusap wajah-wajah yang berada dalam foto tersebut.
Meja belajar itu menjadi tempat favorit Saras beberapa tahun belakangan. Saras menarik tisu basah dari laci dan mengusapkannya pada kaca figura. Ia menghilangkan debu dan selalu menjaga kaca itu agar tetap bening tanpa noda.
Ramadan ini, Ramadan kesepuluh mereka bertiga tanpa sosok pemimpin lembut dan tegas akan aturannya. Tak pernah bertindak kasar, tetapi harus siap dengan semua konsekuensi jika berbuat di luar batas. Ia yang selalu mencontohkan nilai-nilai kebaikan dan ialah imam terbaik di keluarga tersebut.
Saat Saras melihat foto keluarga lengkap itu, sang ayah masih duduk tegap dengan sorot mata elang dan bahu sekokoh beton buatan tangan kuli Jawa.
Ia teringat di saat setiap pulang dari kantor, ayahnya selalu menyisihkan lauk untuk dibawa pulang. Entah itu ayam, ikan, entah lauk-lauk lainnya. Lalu, setiap pagi ia dibonceng Ayah pergi ke warung-warung untuk menitipkan kue atau sekadar berkeliling di area persawahan. Sesekali mereka memetik sayur pakis yang berada di pinggir jalan dan membawanya pulang ke rumah.
Dan ketika malam hari, selelah apa pun, ayahnya selalu menyempatkan waktu menemani kedua anaknya belajar serta mengajari jika mereka tidak bisa mengerjakan. Ayahnya tidak mempermasalahkan nilai, yang ia butuhkan hanya ketekunan anak-anaknya dalam belajar.
“Adek, di kebun panas. Di sini aja, di rumah sama Abang sama Mama,” teriak Faiq dari teras rumah.
Saras kecil menggeleng kuat. Ia berteriak sembari mengejar langkah ayahnya yang lebar. “Enggak mau. Saras mau main di kebun. Bang Faiq aja yang temenin Mama di rumah.”
Saras sadar, itu hanya sebagian memori kecil yang masih tersimpan rapi di ingatannya. Telapak tangannya mengusap air mata yang sempat membasahi pipinya. Segera ia berjalan ke dapur untuk mencuci piring yang kian menumpuk, bekas makan mereka bertiga saat sahur tadi.
Kenangan itu tak mungkin bisa ia lupakan bagai angin lalu. Saat meremas sabun dengan spons cuci piring, di situlah ingatannya kembali mengawang.
Saat sebagian tubuh ayahnya kian dingin dengan sekujur kaki membengkak. Di pinggir bibirnya tak henti mengeluarkan busa. Ayahnya sudah hampir satu hari dalam keadaan koma. Napasnya mulai memendek.
Yang Saras ingat, mereka bertiga masih sempat mencium tangan ayahnya sebelum lirihan kecil dari Ayah terdengar oleh mereka untuk yang terakhir kali.
“Allah, Allah, Allah.”
Seketika semuanya terasa hening. Tangan kiri mama Saras mengusap mata Ayah dengan tangan kanan, mengatupkan mulut Ayah yang sedikit terbuka.
Usai mamanya melihat Bang Faiq keluar dari ruang rawat inap, mata teduh nan sendu beralih menatap Saras.
“Adek, beresin semua barang-barang kita, Nak. Kita pulang.”
Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Faiq membereskan administrasi dan mengabari sanak saudara atas kepulangan ayahnya. Sementara itu, Saras segera membereskan semua barang, bahkan sampah berupa potongan bungkus permen pun dimasukkan ke tas. Tak ada yang tersisa, kecuali brankar dan peralatan medis. Tidak mungkin muat, bukan?
Jika bertanya pada seseorang yang sedang sakit ketika naik mobil ambulans, mungkin jawabannya sama rasanya seperti naik mobil biasa. Bedanya hanya di kecepatan mobil yang meliuk-liuk di tengah kerumunan dan suara sirene yang mengaung-ngaung kencang.
Akan tetapi, rasa yang satu ini begitu berbeda. Bukan lagi rasa takut seperti saat melihat di film-film horor. Nyatanya hening, sekuat apa pun nyaringnya sirene di luar mobil itu, orang-orang di dalamnya merasakan keheningan. Alunan sirene itu bagai nyanyian kesedihan. Saras lelah menangis, ia memilih melamun sambil menatap menghadap luar jendela. Matanya tak lagi mampu melihat ke arah tubuh orang yang paling ia sayangi, yang telah terbujur kaku. Tak ada lagi senyum ayahnya yang mampu membuat Saras kembali bersemangat.
Orang yang selama beberapa tahun ini selalu ada di rumah, selalu terdengar suara mengajinya setiap waktu, tembang Jawa setiap pagi selalu diputar. Dan, saat bosan di dalam rumah, ayahnya turun ke halaman rumah dengan membawa parang. Otot dan kulitnya memang mengendur, tetapi tidak dengan semangatnya. Terlalu banyak kenangan yang ia tinggalkan di rumah itu.
Di antara semuanya, hanya mamanya yang terlihat tegar. Di saat semua mata menangis, hanya ia yang tetap tenang. Ia sudah terbiasa. Mungkin ia ada di dalam dua keadaan, sedih dan lega. Sedih karena ditinggal pasangan sekaligus ayah untuk anak-anaknya. Leganya karena sang suami tidak lagi merasakan kesakitan seperti yang sudah dialami suaminya selama belasan tahun. Dan, begitu mudah ayahnya Saras menghadapi sakaratul maut.
“Dek. Adek,” tegur Faiq. Cipratan air keran mengenai wajah Saras.
“Heh, ngelamunin apa, sih? Kesambet lu, ya?” Bang Faiq menoyor pelan kening adiknya.
“Apaan, sih. Ganggu aja,” ucap Saras ketus. Matanya memicing tajam.
Yang ditatap hanya cengengesan. “Lagi sedih, ya? Kok nggak ajak-ajak gua, sih?”
Saras bergeming. Faiq tersenyum dan mengangguk paham.
“Beresin dulu itu air matanya. Kalo ketahuan Mama, mau jawab apa kamu? Kasihan Mama nanti jadi ikutan sedih. Nih, cuci dulu mukanya pake sabun cuci piring. Dari tadi kok nggak selesai-selesai.”
“Kalau mau ngomel pergi aja sana, ngomel sama tembok. Gua lagi nggak mood,” sahut Saras dengan kesal.
“Dek, dek. Ya namanya dunia memang tempat persinggahan. Sejatinya kita di dunia ini memang tidak punya apa pun, kan? Harta, tahta, bahkan nyawa aja bukan milik kita. Nggak ada yang bisa kita banggakan.”
“Iya, udah tau.” Lagi-lagi dijawab ketus oleh Saras.
“Kamu itu hanya sebatas tau, tapi nggak mengamalkan. Diingat aja prinsip pasir. Semakin digenggam semakin lepas. Gitu juga dunia. Semua ini cuma titipan. Semakin kita sadar semuanya bukan milik kita, hati kita pun akan mudah untuk mengikhlaskan. Jadi, udah ya sedih-sedihannya. Ikhlasin Ayah, namanya juga titipan, kenapa harus sedih dan marah kalau yang dititipin diambil lagi sama pemiliknya?”
***
Tentang Penulis
Namanya Roro Asti Purnaningsih, lahir 24 tahun lalu, tepatnya pada bulan Agustus di Kota Mempawah. Si bungsu dari empat bersaudara yang mempunyai hobi editing video, membaca, dan menulis ini sangat ingin konsisten berkecimpung di dunia literasi. Bisa disapa melalui Instagramnya @astiyuwono.
Posting Komentar