[CERPEN] Angin yang Terpendam
Jalanan licin seperti minyak, hujan turun deras sejak pukul delapan. Hari ini aku kerja lembur, baru pulang ke rumah pukul setengah sebelas malam. Anakku pasti sedang tertidur pulas di rumah. Aku tahu, dia pasti nyenyak sekali tenggelam dalam mimpinya, tetapi terus saja mencemaskannya. Pohon-pohon bergoyang kencang, aku sendirian ditemani seorang teman yang arah pulangnya sama denganku. Kami takut. Kegelapan membayang-bayangi dari tiap sudut-sudut gang yang kami lewati. Tiba-tiba saja petir menggelegar, lampu-lampu rumah padam tambah membuat bulu kuduk merinding.
Ini adalah pertempuran mahadasyat. Ini adalah
kengerian sepanjang malam.
***
Aku sampai di rumah, sudah lama berpisah dengan
temanku di sebuah pertigaan jalan besar. Aku meneruskan ke kiri, menuju cluster
kecil. Sementara dia meneruskan lurus, ke perumahan yang lebih besar.
Ini adalah suatu kepedihan yang selalu. Ini adalah
mata pisau yang mengiris pilu.
Ada yang mengurusi rumah tiap kali aku pergi bekerja,
dari pukul 7 pagi sampai 5
sore. Namanya Riana, aku dan anakku selalu memanggilnya “Ante”. Keperawakannya gemuk dan
pendek, rambutnya ikal yang lebih sering diikat menggunakan karet gelang atau
dipotong pendek. Tugasnya di rumah adalah: menjaga Nia (anakku), menyetrika baju-baju, menyapu
dan mengepel lantai tiap dua hari, mencuci, serta menjemur pakaian. Kalau sedang banyak pekerjaan, dia
akan aku
suruh untuk bertahan di rumah sedikit lebih lama
sampai aku pulang. Kemudian, akan aku beri uang jajan lebih sebagai gantinya.
Seperti malam ini.
“Ante,
makasih ya, ini ada lebihan sedikit dari kantor. Martabak keju, masih anget,
dibawa pulang aja.”
Aku menyerahkan plastik bening berisi martabak keju yang sesungguhnya sudah aku makan dua potong karena kelaparan, plastik itu basah seperti pakaianku.
“Aih, tidak
perlu repot-repot, Ibu,
saya juga sudah makan tadi.” Basa-basi yang klasik, tak perlu susah payah aku
merogoh kantong dan mengeluarkan lebih banyak.
“Terima saja, Ante, terima kasih. Si Adek sudah tidur? Kalau hujan deras begini, biasanya
dia suka susah tidur soalnya.”
“Oh, enggak kok, Bu, dia mah
tadi anteng-anteng aja. Enggak banyak rewel nyari ibunya,” kata Ante, dia mendekap makanan yang aku beri. Mengambil payung yang merebah di lantai teras, kemudian bergestur
hendak pamit, “Permisi, Bu. Saya pulang dulu.”
Hari yang melelahkan. Aku tahu, selalu begini. Entah
kenapa aku jadi suka melamun dan memikirkan masa depanku yang suram, seperti kata
Chairil Anwar dalam puisinya yang berjudul “Derai-Derai Cemara”: dipukul angin yang
terpendam. Aku jadi bisa menarik sedikit diriku dan melihat kilau
silau dunia yang jernih; ingsut dari kemaslahatan dan kebahagiaan banyak
orang.
Ini adalah suatu kerelaan yang tinggal puing-puing.
Ini adalah suatu kepergian yang pening di kening.
***
Beberapa hari kemudian adalah hari Minggu. Aku libur bekerja, anak-anakku datang merapat
di sisi ibunya seperti kapal yang berlabuh lama di lautan lepas, kemudian
melepas jangkar di dermaga.
“Mama. Kok Mama sekarang gemukan, sih?”
“Masa?
Mama enggak merasa tuh, kamu aja kali yang salah lihat!”
Kami tertawa. Kami semua tertawa. Anak laki-lakiku
sudah tumbuh besar, umurnya 17 tahun. Yang tadi berbicara adalah perempuan, sudah
berkuliah, sekarang sedang mengerjakan skripsi untuk
kelulusan.
“Tuh, Komar, HP-nya bunyi! Angkat dulu atuh, pasti pacarnya.” Yang perempuan terus meledek, dan yang laki-laki besar
jengkel. Melempar bantal berbentuk kaki ke arah kakaknya dan membuat keduanya terjebak dalam
peperangan yang menyenangkan.
“Kakak sama Abang lucu! Berantem melulu!”
Kini, mereka berdua saling menyalahkan, tak ada yang mau
mengalah. Aku tahu saat-saat seperti ini cukup untuk membayar kepenatan dan
seluruh kecemasanku, hanya saja kadang aku tidak ingin mengurainya ke dalam
memori-memori kecil dalam pikiranku. Seperti daun-daun menyimpan tetes embun
pagi, akar-akar pohon yang menyerap banjir.
“Kenapa tidak coba pergi ke taman?”
“Ayuk! Kenapa tidak, hujan sudah turun semalam,
jadi pasti hari ini cerah!” kata si kecil, mengoyak-ngoyak dinding keraguanku. Si Kakak mengambil jaket abu-abu, berganti celana. Si Abang mengambil topi dan memakai jam tangan. Sementara, si Adek ikut-ikutan pakai jaket warna merah muda, topi,
dan jam tangan lucu yang ia beli di Pasar Minggu. Setelah aku mengunci pintu rumah, kami bergegas
keluar teras.
Belum lima menit berjalan. Seorang tetangga menyapa
kami, dia bukan Ante. Dia orang lain, seseorang yang cukup baik hati untuk mengurus si
Adek, tetapi menolak karena sudah berkeluarga. Namanya Kandita,
cantik nama itu. Ingin sekali kalau adikku nanti sudah menikah lagi—setelah bercerai tiga tahun sebelum perceraianku—aku akan
menyumbang nama itu untuk anaknya kelak.
“Eh, Ibu Ratna, anak-anaknya lagi pada ke Sukabumi, Bu?”
“Haha, iya nih, Ibu Dita. Yang gede
lagi libur kuliah. Yang tengah juga sama. Saya suruh aja pada datang ke
sini. Nemenin ibunya.” Aku nyengir, anak-anakku ikutan menyapanya. Kami
bercakap sepatah-dua patah kata sebelum meneruskan perjalanan.
Angin hilir menyibak rambutku, cukup kuat untuk
menerbangkan keseluruhan. Si kecil berteriak-teriak seru, langit tampak
menunjukkan mendung yang teramat berat.
“Kita pulang aja, yuk!” Aku berkata, kecemasanku tertoreh di mataku yang
basah dan perih.
Pulanglah.
Kenapa?
Ada hal-hal
yang tidak bisa kau ketahui. Ada hal-hal yang hanya bisa kau
rasakan.
Apa artinya?
Kelak kau akan mengerti.
“Yah. Kenapa mendung, sih. Kamu enggak baik awan!” Si kecil mencaci
maki mendung yang tidak bersalah, sembari menunjuk-nunjuk ke arah awan di
atas bukit.
“Enggak boleh begitu, Dek, namanya lagi musim hujan.”
Kesunyian menampar-nampar kami ketika memutuskan
kembali ke rumah, dan sekadar main masak-masakan di teras. Petir saling
bersahutan seolah memanggil-manggil, kali ini masih pada
puisi Chairil Anwar yang berjudul “Derai-Derai Cemara”: ada yang tetap tidak
terkatakan sebelum akhirnya kita menyerah.
Si kecil cemberut mukanya, kusut. Mungkin dia hanya
ingin bermain dan kembali ceria ketika sudah sampai di taman, sementara hujan
deras sudah mengguyur jalanan sejak sepuluh menit yang lalu. Tepat ketika kami
kembali. Tak ada yang bisa diperbuat.
“Kalau ada Bapak pasti lebih ramai. Bapak bisa main gitar,
bernyanyi-nyanyi, suaranya tidak akan kalah oleh hujan. Bapak selalu begitu.”
Ini adalah pertanda dari alam. Ini adalah siasat yang
mampu menguak rahasia kelam.
“Dek! Jangan begitu, Bapak itu pengkhianat. Dia enggak pernah mengerti Mama. Dia selalu keluyuran, dia pergi pagi sekali dan
pulang larut malam. Dia menghabiskan duit Mama, enggak pernah merawat kita. Bapak itu penjahat!
Dia yang jahat!” Si kakak berbicara seperti kerasukan, sementara adiknya yang
laki-laki besar mencoba menahannya.
“Sudah, Kak, sudah, yang berlalu biarlah berlalu. Adik masih
terlalu kecil!”
“Kita sudah banyak membohonginya! Kita semua munafik!”
Sekali lagi petir menyambar di langit, terjun dari
cakrawala memuat berton-ton listrik. Membakar sebuah pohon di seberang gang,
membuat orang berbondong-bondong keluar dan berteriak, “ada api!” berulang-ulang. Sebelum kesialan menimpa sederetan
rumah yang berada di dekat
pohon yang ‘terkutuk’ itu, termasuk rumah mereka.
“Kita harus tetap mengatakannya. Menyakiti atau
mendamaikan. Kita harus mengatakannya!”
Api membesar dan meliuk-liuk di udara, menjilat-jilat
ruang hampa udara sebelum mulai menjilat atap rumah tetangga mereka.
“Sudah, Kak, ada api yang besar dan meliuk-liuk di seberang.
Lihat! Kita harus keluar sekarang!”
“Mengapa harus keluar? Kita bisa di
sini menikmatinya. Kita bisa di
sini meraup hangat dan panas jilat api yang merangsek
masuk. Toh, bukankah kita
selalu membiarkan setitik api yang membara dalam jiwa kita yang kelam? Yang
kelak membumihanguskan tubuh kita menuju remuk-redam?”
Lalu tiba-tiba saja, sebuah angin yang bisu datang: ia
berembus meski kecil saja. Meniup pohon yang terbakar tadi beserta apinya yang
cuma bisa menjadi padam. Kepasrahan rasa sakit dan amarah manusia yang tak
sempat melepas belenggu, dari angin sejuk yang terpendam dalam diri.
Kaulah angin yang membisikkan peringatan kepadaku!
Akulah angin yang tergesa-gesa mengatakan segalanya!
Albyan Azhar Abdillah adalah seorang anak remaja yang gemar menulis, dia sudah menggeluti dunia sastra sejak tahun 2021 ketika umurnya masih 12 tahun. Pernah memenangkan perlombaan menulis tulis.me 15 yang dijurikan oleh Kiki Sulistyo, sebagai juara 11. Dia bisa disapa di akun Instagram-nya, @albyanaksenja, terima kasih!
Posting Komentar