[CERPEN] Cermin yang Retak
HP-ku
berbunyi, ada notifikasi WhatsApp masuk. Ternyata dari teman kerjaku, Bu Tini,
kami satu ruangan.
Tini:
Bu, lihat, nggak WA grup kantor?
Aku:
Oh iya, fotonya yang di-crop sama Pak
Oni, ya?
Tini:
Iya, Bu. Tolong ya, Bu, kasih tau dia!
Bu
Tini merasa kurang nyaman dengan keberadaan foto wajahnya di grup kantor.
Kemudian, aku memberitahu Pak Oni tentang hal ini agar segera menghapus foto
itu dan menyarankan untuk segera meminta maaf kepada Bu Tini. Namun, Pak Oni
malu. Untuk kali kedua aku harus menjadi perantara untuk menyampaikan pesan
mereka berdua.
Sejak
itu, aku melihat hal-hal aneh dari sikap Bu Tini. Dia merasa takut dengan Pak
Oni. Aku menawarkan agar dia pindah duduk berada dekat denganku.
***
Suatu
pagi, Pak Oni datang kemudian berbicara kepadaku jika dia hendak mengobrol
banyak dengan Bu Tini, tetapi sikap Bu Tini seperti anak ABG yang merajuk.
"Jangan
mengira yang aneh-aneh ya, saya tidak ada apa-apa dengan Bu Tini," ucap
Pak Oni kepadaku. Aku hanya mengangguk. Aku melihat Bu Tini enggan menanggapi
ajakan Pak Oni.
"Bu,
apa pun yang terjadi dengan Ibu, sebaiknya dibicarakan saja baik-baik, jangan
begitu, bagaimanapun dia kan teman kerja." Aku gereget lihat sikapnya Bu
Tini.
Tidak
lama mereka menjauh dariku dan sepertinya membahas suatu masalah. Setelah itu,
Bu Tini datang kepadaku. Karena heran dengan sikapnya, aku coba
mempertanyakannya.
"Maaf
ya Bu, kok saya tuh melihat ada yang aneh dengan sikap Ibu. Katanya takut
kepada si Bapak itu, tapi tadi saya lihat seperti orang yang ada hubungan
spesial?" tanyaku.
"Enggak
ada apa-apa, Bu. Saya enggak suka aja ke Bapak itu. Saya blokir no WA-nya. Eh,
dia enggak terima." Bu Tini menjelaskan dengan raut wajah dan gestur
tubuhnya seperti menyembunyikan sebuah rahasia.
Pertemananku
dengan Bu Tini baru berlangsung setahun persis setelah dia bergabung di sekolah
tempat kami bekerja. Waktu itu, dia menyendiri sesaat setelah rapat awal tahun.
Pada saat itu pula dia dikenalkan sebagai pegawai baru. Kebetulan, setelah
rapat, ada acara makan-makan; salah satu pegawai mengadakan acara pesta
pernikahan.
"Ibu
mau pergi ke acara makan-makan?" tanyanya.
"Oh
iya, ayo!" ajakku. Karena jarak dari sekolah agak jauh, dia menawarkan
diri memboncengku. Sejak itu, dia selalu berada dekat denganku, selalu
menawarkan tumpangan jika ada kegiatan di luar sekolah. Dia bercerita, ternyata
Bu Tini dulu adalah alumni dari sekolah tempat kami bekerja sekarang.
Kami
mencoba merintis usaha dengan menjual baju dan jilbab merk sendiri. Baru
berjalan beberapa bulan, terlihat ada peluang yang lumayan bagus.
***
Pada
suatu hari, di acara outbond. Pak
Baskoro―aku menyebutnya Pak Bas―memanggilku. Kak Baskoro menanyakan tentang Bu
Tini yang berubah.
"Saya
ditanya ibu-ibu tentang Bu Tini, ada apa dengan Bu Tini? Mereka curiga kalau Bu
Tini dan Pak Oni itu ada hubungan, karena pernah melihat mereka berdua sedang
makan di sebuah tempat makan," cerita Pak Bas kepadaku.
Ehm,
aku kaget dan makin penasaran saja. Masa, sih, Bu Tini mau dengan Pak Oni yang
sudah berkeluarga? Pak Bas memintaku untuk menanyakan kepada Bu Tini, karena
kasihan takut salah melangkah. Aku juga sama, karena teman dan juga tidak suka
jika ada yang tersakiti.
Kemudian,
aku mendekati Bu Tini. "Bu Tini, maaf ya, apa Bu Tini ada hubungan dengan
Pak Oni?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Ih
apa, sih, Bu. Enggaklah, saya enggak ada apa-apa." Bu Tini mengelak,
tetapi raut muka dan sikapnya seperti berbohong.
"Ibu
tau kan Pak Oni itu suka ke Ibu? Dia kan suka keceplosan mengucapkan sesuatu
candaan yang memuji Ibu," kataku.
"Enggak,
Bu. Saya malah takut," elak Bu Tini.
"Kalau
emang Ibu takut, sebaiknya sih memang menjauhinya, kecuali Ibu itu ada perasaan
yang sama dengannya. Kalaupun Ibu ada perasaan yang sama, Ibu tuh harus siap
dengan segala konsekuensinya, karena Bapak itu sudah berkeluarga dan pasti Ibu
dicap sebagai pelakor jika ketahuan ada hubungan spesial antara Ibu dan
dia," lanjutku.
"Iya,
Bu, tapi saya enggak ada apa-apa sama Bapak itu." Bu Tini tetap dengan
jawaban yang sama.
"Maaf
ya, apa Ibu pernah ketemu berdua dengan Bapak itu?" Aku merasa perlu
mengetahui kejujurannya, karena bukan ingin ikut campur dengan kehidupan
pribadinya, tetapi, pasti akan berpengaruh dengan hubungan bisnis yang kami
rintis. Pastinya orang-orang di sekitar akan bertanya kepadaku karena aku yang
selama ini dekat dengannya.
Awalnya,
Bu Tini mengelak pernah bertemu berdua dengan Pak Oni. Akhirnya, dia bercerita
pernah bertemu di rumah makan. Namun, katanya, tidak sengaja dan tidak janjian
bertemu. Aku merasa Bu Tini sedang berdusta, tetapi aku biarkan saja dia
bercerita dan teguh dengan ucapannya jika tidak ada hubungan apa pun. Aku hanya
ingin menyampaikan, hati-hati dalam melangkah. Apalagi jika banyak orang yang mengetahuinya
dan rahasia itu tercium oleh istrinya akan berakibat negatif. Aku beranggapan
jika dia sudah kekeh dengan pernyataannya. Jika itu bohong, dia yang
menanggung. Namun, jika benar, semoga tidak bermasalah.
Setelah
selesai kegiatan, tiba-tiba Pak Oni menelepon. Katanya ada yang perlu dibahas,
tetapi aku menolak. Esoknya, dia mencegatku tanpa basa-basi, langsung nyerocos
membahas tentang Bu Tini.
"Kemarin
ngobrol ya dengan Bu Tini? Kamu jangan interogasi dia, tanya aja langsung ke
saya, jangan bawa-bawa dia. Karena ini salah saya, saya yang mendekati dia, dia
tidak mau. Sekarang dia itu memblokir lagi nomor saya." Pak Oni terus saja
nyerocos, mengungkapkan perasaannya. Menolak ada apa-apa. Namun, mengakui
perasaannya.
Aku
membela diri, bukan ikut campur atau interogasi, hanya mencegah sebelum
telanjur parah. Mengingatkan saja jika memang tidak ada apa-apa, ya sudah,
kalaupun ada apa-apa itu urusan mereka. Jangan sampai semua bertanya kepadaku,
seolah-olah aku adalah guardian angel-nya
Bu Tini. Aku jelaskan kepada Pak Oni.
Seiring
waktu, aku mulai menjaga jarak dan memperhatikan segala gerak-gerik mereka.
Ternyata mereka sering janjian hingga beberapa teman mendokumentasikannya.
Aku
mengkonfirmasikan dan menanyakan kepada Bu Tini, dia mengatakan jika memang
berpacaran dengan Pak Oni, alasannya karena iseng.
Sejak
itu, aku menjauhi dan memutuskan untuk tidak ada urusan bisnis dengannya lagi
karena tidak nyaman, hilang kepercayaan karena kebohongan yang dia perbuat.
Hingga pada suatu hari, ada notifikasi DM di IG. Pak Oni akhirnya mengaku
menjalin hubungan dengan Bu Tini dan berencana akan melamarnya dua hari lagi.
Makin kaget dan tidak habis pikir, beberapa waktu lalu juga heboh terungkap
jika istri Pak Oni mengetahui skandal suaminya itu di tempat kerja.
Sejak
skandalnya itu terkuak, Pak Oni sibuk konfirmasi ke sana-sini, menyalahkan Bu
Tini yang tidak jujur jika sudah memiliki calon suami yang akan melamarnya. Bu
Tini juga menyalahkan Pak Oni, dan mengatakan jika si bapak itu kegeeran saja.
Aku
pernah dekat dengan Bu Tini. Jadi, semua informasi dan pertanyaan diarahkan
kepadaku; teman sekitar, pihak calon suami Bu Tini. Mereka curhat kepadaku.
Istrinya Pak Oni juga bercerita kepadaku. Tidak sampai di situ, aku makin
kaget, ada pernyataan dari calon suami Bu Tini bahwa ada tuduhan dari
percakapan Bu Tini dan Pak Oni di WA yang disadap olehnya, jika aku yang
melaporkan kisah mereka ke istri Pak Oni hingga terbongkar.
Aku
geram saat mengetahui hal itu. Kemudian, aku menanyakan langsung kepada Pak Oni
dan Bu Tini pada kesempatan yang berbeda, mereka tidak mengakuinya. "Oh
iya, ya, aku sadar, mereka itu sudah sering berbohong jadi akan selalu menutupi
satu kebohongan dengan kebohongan yang lain," ungkap batinku.
Kini, aku sudah tidak bisa lagi seperti dahulu, tak bisa menganggap Bu Tini sebagai sahabat dan rekan bisnis, hanya teman di tempat kerja saja. Jika ada perlu, sebatas urusan pekerjaan dan sebesar mungkin menghindarinya. Aku tidak ingin teman toxic menularkan penyakitnya kepadaku. Cermin yang retak tak bisa direkatkan lagi dan tidak layak digunakan untuk bercermin.
TENTANG PENULIS
Siti Icun Syamsuriah, ibu rumah tangga dan guru di MTsN 5 Pandeglang. Aktif mengikuti kegiatan literasi sejak masa pandemi dengan mengikuti berbagai event. Bersyukur sekali bisa belajar melalui Internet, meski jarak jauh, masih terus bisa belajar. Belajar, memiliki karya, dan menularkan efek positif bagi sekitar adalah tujuannya belajar literasi.