[CERPEN] Dewa dan Dewi
Dewangga atau akrab disapa Dewa. Itulah nama seorang
mahasiswa semester 4 Fakultas Hukum sebuah universitas ternama di Surabaya. Dewinta yang
kerap dipanggil Dewi, adalah teman seangkatannya. Mulanya Dewa dan Dewi tidak
saling mengenal,
meski berada di fakultas dan angkatan yang sama. Mungkin
itu karena mereka berbeda kelompok saat masa orientasi, dan
di semester awal jarang berada di kelas yang sama saat kuliah.
Semua menjadi berbeda saat mereka mendaftarkan diri
mengikuti organisasi yang disebut Forum Studi Bisnis. Ya, baik Dewa maupun Dewi
memiliki minat yang sama di bidang keperdataan, terutama hukum bisnis. Dari
organisasi itulah mereka saling mengenal satu sama lain hingga kerap
berinteraksi meski hanya bertemu saat berkumpul saja.
Di suatu kesempatan, Forum Studi Bisnis hendak
mengadakan seminar mengenai perdagangan di era digital. Dewa dan Dewi
ikut bergabung menjadi panitia. Ketuanya adalah Rangga, kakak satu angkatan
mereka. Dewa dan Dewi mengemban tugas yang cukup santai sebagai seksi konsumsi.
“Wak, rencananya gimana, nih? Satu snack box
isinya air mineral, donat cokelat, risoles, dan lemper. Cukup, nggak?” tanya Dewi saat mereka hendak menyusun menu
yang akan disajikan selama seminar berlangsung.
“Cukup sih, Wik. Nanti kan ada prasmanan makan siang juga. Sebelum
seminar dimulai juga ada coffee break, jadi peserta tetep bisa minum
kopi atau teh.”
“Ya, udah. Kalau gitu snack-nya aku pesenin
sekarang, ya. Kebetulan di dekat kos aku ada yang buka pesanan jajan gitu,”
kata Dewi sambil beranjak ke parkiran motor.
“Lho, Wik, mau ke mana?”
“Mau pesen, lah,” jawab Dewi setelah menunggangi
motornya dan memasang helm.
“Lah, kan kita seksi konsumsi. Masa kamu mau pesen
sendirian? Bareng, lah! Ayo naik motorku aja,” kata Dewa sambil mengambil kunci
motor dari saku celananya.
Dewi tertegun dan turun dari motornya, berjalan menuju
motor Dewa yang diparkir beberapa meter dari motornya. Jantung Dewi berdegup
kencang. Memang begitulah yang dirasakannya tiap kali hendak dibonceng seorang
teman pria. Dewi yang masih polos dan belum pernah pacaran, naik motor Dewa
dengan malu-malu.
“Ayo, Wik. Cepetan! Habis pesen snack, kita survei tempat buat pesen katering.”
“Lho, langsungan, nih?” tanya Dewi heran.
“Iyalah. Kamu habis ini nggak ada kuliah, kan? Kalau
udah dapet konsumsinya, kita bisa bantu temen yang lain.”
Dewi mengangguk pelan menyetujui usulan Dewa. “Iya, bener. Aku ngikut aja, deh.”
Berangkatlah motor matic merah itu mengantar
seorang mahasiswa dan mahasiswi berkelana di jalanan untuk menjalankan tugas
mereka. Seminar diadakan minggu depan. Jadi, saran Dewa dinilai Dewi bisa menghemat waktu bila
mereka berhasil memesan snack dan katering dalam satu hari. Apalagi hari
belum siang. Kebetulan, Dewa dan Dewi hanya ada satu mata kuliah saat pagi. Selanjutnya, mereka
bebas.
Sejak menjadi seksi konsumsi bersama hingga seminar
berakhir, kekompakan mereka masih berlanjut. Di luar organisasi, mereka kini
sering bertemu untuk mengerjakan tugas. Kebetulan pula, akhir-akhir ini mereka
mengambil mata kuliah yang sama, pada waktu yang sama pula. Orang yang menyadari kedekatan
Dewa dan Dewi adalah sahabat Dewi yang juga teman satu kosnya, Diana.
“Wik, kamu sekarang lagi deket sama Dewa, ya?” Diana
bertanya setelah melihat Dewi pulang ke tempat kos dan masuk ke kamarnya.
“Eh, ngaco kamu! Nggak, lah! Kebetulan aja kita sering
kuliah bareng, jadi ngerjain tugasnya bareng!”
“Mmm, nggak
tau juga, ya. Tapi kalau aku liat, Dewa kayaknya naksir kamu, deh!”
“Jangan ngarang, ah!” pekik Dewi dengan wajah memerah, “aku tetep nggak mau pacaran sebelum lulus.”
“Beneran, nih? Gimana kalau ternyata kamu naksir dia
juga? Lulus kuliah bisa langsung nikah. Asyik!” kata Diana sambil menari-nari dan tertawa meledek
Dewi.
Dewi segera mengusir temannya keluar dari kamar karena
kesal dan malu. Dia menutup pintu kamar sampai menimbulkan suara cukup keras.
“Ada-ada aja deh si Diana!” gumam Dewi.
Namun, saat sendirian, Dewi berpikir lagi. Selama ini, Dewa
begitu perhatian padanya. Saat tugas Dewi ketinggalan di kos, padahal harus dikumpulkan di mata kuliah selanjutnya,
Dewa rela meminta tolong pada ibu kos Dewi langsung untuk mengambil tugas itu
di kamar Dewi. Semata karena kos putra yang dihuni Dewa tidak jauh dari tempat
Dewi. Kebetulan, saat itu, Dewa tidak ada kuliah pagi.
Kemudian, saat mereka sedang survei katering, tiba-tiba maag Dewi kambuh. Dewa rela
mengantarnya ke apotek dan membeli obat maag untuknya. Dewi merasa punya hutang
padanya. Namun, Dewa menolak uang yang diberikan gadis itu.
“Mungkin aku aja yang ke-ge-er-an,” bisik Dewi.
Di kampus, makin banyak teman yang menggoda mereka.
Teman-temannya melihat Dewa dan Dewi sebagai pasangan serasi. Apalagi dari segi
wajah, baik Dewa dan Dewi mirip pasangan selebriti Rey Mbayang dan Dinda
Hauw. Olok-olokan itu membuat wajah Dewa dan Dewi
memerah. Sesaat, Dewi merasa malu untuk dekat dengan Dewa. Namun, perhatian yang tidak putus diberikan oleh Dewa
membuat Dewi yakin kalau dia memang menyukainya.
Pada hari Jumat, motor Dewi mogok saat ada jadwal kuliah
pagi. Dewa tanpa ragu mengantarnya karena mereka mengambil mata kuliah yang
sama. Pulang dari kampus, Dewi tak ragu lagi menyatakan perasaannya ke Dewa.
“Wak, aku dengar, banyak yang bilang kamu suka aku.
Bener, nggak?” tanya Dewi dengan perasaan berkecamuk.
“Mmm …
nggak salah sih, Wik.”
Hati Dewi membuncah. “Kalau gitu, kita bisa lebih dari
sekadar
temenan, nggak?”
Dewa mulai ragu. Dia menarik napas beberapa kali sebelum menjawab. “Bisa, kucoba.”
Jawaban sudah diperoleh Dewi, membuatnya lega.
“Yaudah, kamu boleh pulang.”
Merasa perasaannya berbalas, Dewi mulai rutin mengirim
WhatsApp pada Dewa. Di luar
dugaan, sikap Dewa berubah. Dia membalas pesan lebih dari 30 menit. Perasaan
Dewi mulai tidak enak. Pada hari Senin, di mata kuliah yang sama, Dewa tampak mulai menjauhinya.
Dewi yang gusar mengutarakan isi hatinya pada Diana saat jeda kuliah. Dewi pun
mendapat jawaban mengejutkan dari Diana.
“Maaf ya, Wik, soal aku yang ngomong Dewa naksir kamu. Ternyata
dia tuh buaya! Lihat, nih!”
Diana mengambil ponsel dan menunjukkan pesan WhatsApp dari Dewa. Ada yang janggal,
Dewi ikut mengambil ponselnya dan melacak pesan yang dikirimnya ke Dewa.
Ternyata, jeda waktu lama yang digunakan Dewa untuk membalas pesannya,
digunakan untuk mengirim pesan ke Diana yang isinya gombalan khas buaya darat.
“Sinting! Pantes aja waktu aku confess ke dia,
kayak ragu gitu! Ternyata dia baik ke semua cewek. Najis, ah!” kata Dewi kesal.
“Iya, nih. Ngomong-ngomong, kamu kok udah confess
aja, sih?!”
Wajah Dewi memerah karena malu. Dia lantas memukul
kecil bahu Diana. “Gara-gara kamu, sih! Pokoknya sebagai hukuman karena ngasih
info sesat, kamu harus traktir aku Starbucks!”
Diana memelas karena sudah masuk tanggal tua, tetapi karena ucapannya sudah membuat Dewi melakukan hal
yang memalukan, dia rela membeli segelas Grande Caramel Macchiato.
TENTANG PENULIS
Mevita Herdiana. Hai, kenalin aku Mevita. Hobiku acak sih, yang jelas aku melakukan apa pun yang aku suka, termasuk menulis. Alhamdulillah ketemu sama komunitas Ufuk Literasi dan sudah ikut beberapa kelas antologinya. Instagram @mevita_meph.
Posting Komentar