[CERPEN] Friendship of Mujahid
Hari
ini, Kabeer sudah cukup kecewa dengan takdir Allah yang tak sesuai dengan
harapannya. Gadis yang ia khitbah itu resmi menolak lamarannya. Ia pergi ke
masjid untuk menjalankan iktikaf di masjid. Ini adalah malam ganjil di bulan
Ramadan. Semalaman itu, ia tak tidur, melakukan aktivitas-aktivitas yang selalu
bisa mengingatkan kepada Rabb. Tidak sendirian, tampaknya ia sudah menyepakati
akan iktikaf bersama dengan sahabatnya, Dzakir.
Saat
bertemu, Dzakir langsung bertanya dengan ekspresi senang mengenai jawaban
tentang gadis yang dilamar Kabeer. Awalnya, Dzakir berpikir bahwa lamaran itu
pasti akan diterima. Lagi pula, jika ditilik lebih dalam, sebenarnya banyak
sekali para akhwat yang bahkan melamar Kabeer, tetapi semua lamaran itu Kabeer
tolak. Dzakir tersenyum dan mencoba untuk menguatkan hati sahabatnya yang
mungkin saat ini benar-benar merasa kecewa.
"Kabeer
… kuatkan hatimu, Bro." Perlahan
ia menepuk-nepuk pundak Kabeer. "Memang ketika kita berharap lebih
terhadap apa yang belum menjadi milik kita itu adalah sebuah pengharapan yang
tak pernah pasti, Kabeer. Titipkan semua harapmu kepada Allah saja."
Manik
mata Kabeer berkaca-kaca begitu mendengar ucapan itu dari Dzakir. Cukup
sederhana, tetapi membuat hatinya tersadar dan tersentuh.
"Masyaallah,
Bro. Aku bangga punya kamu sebagai sahabatku. Jazakallah khair, sudah
mengingatkanku," ucap Kabeer sambil tersenyum.
Kabeer
terkekeh kecil dan menyadari setiap kata-kata yang Dzakir ucapkan. Kabeer
berpikir bahwa benarlah, berharap pada mahkluk adalah suatu pengharapan yang
tak pasti karena kepastian yang pasti itu ada di genggaman-Nya. Sudah
seharusnya sejak awal ia melakukan itu. Ia tidak akan menganggap jika kejadian
ini adalah karena kesalahannya terlambat menyadari. Ini semua sudah ditetapkan
oleh Allah. Seharusnya ia tidak perlu merasa sedih dan khawatir, tetapi namanya
mahluk, ia punya cara untuk mengungkapkan rasa lewat setiap hal yang dirasakan dan
itu adalah fitrahnya setiap manusia.
"Aku
hanya perlu meyakinkan hatiku. Allah punya pilihan yang terbaik. Pertama adalah
rencanaku, yang kedua adalah rencana Rabbku. Jadi, hanya perlu menguatkan hati
bahwa dengan keadaan ini, Allah sedang menunjukkan jalan menuju
kebahagiaan." Kabeer menghela napas dan mencoba untuk melapangkan hatinya
yang sesak termakan rasa kecewa.
Dzakir
kemudian menyenggol sebelah bahu Kabeer dan menambahkan, "Allah mungkin
bilang, kamu salah jalur Kabeer." Dzakir tertawa terbahak-bahak. Kini,
disusul olehnya yang juga ikut tertawa.
Sungguh,
dihadirkan seorang sahabat yang bisa mengingatkannya kepada Rabb adalah suatu
nikmat yang luar biasa bagi Kabeer. Mungkin ia berada dalam lingkar pertemanan
yang kecil, tetapi semoga Allah menempatkannya dengan Dzakir bersama dalam
lingkar kasih-Nya yang tak terhitung.
"Ini
adalah malam istimewa, Kabeer. Perbanyaklah memohon kepada Allah. Siapa tahu
akan ada keajaiban yang tak disangka-sangka," celetuk Dzakir dengan hangat
menepuk bahunya.
Kabeer
pun mengangguk dan mulai melangkah iktikafnya bersama dengan Dzakir. Semalaman
itu, mereka terus melakukan aktivitas yang senantiasa mengingatkan mereka
kepada Allah. Mereka salat di sepertiga malam dan membaca Al-Qur'an. Tak lupa
mereka memperbanyak memohon kepada-Nya. Waktu segera berganti, bahkan ketika
matahari mulai terbit lagi dari arah timur.
Kabeer
teringat bahwa ia punya beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Universitas
Al-Munawarah, di Madinah. Ia berpikir berulang kali sebelum mengambil beasiswa
itu, tetapi pada akhirnya, ia juga menerima beasiswa itu.
Keputusan
Kabeer sudah bulat untuk pergi mengambil studinya di sana. Dzakir hanya bisa
menyetujui keputusan itu dan melepaskan sahabatnya pergi jauh untuk beberapa
tahun ke depan.
***
Sudah
empat tahun berlalu. Matahari yang terbenam di langit nuansa jingga, pria itu
baru saja menginjakkan kakinya ke tanah air. Studinya di Al-Munawarah, Madinah
telah resmi selesai. Bandara adalah tempat di mana peluk erat dan kasih sayang
tulus lebih bermakna. Namun, kedatangan pria itu tak mendapati peluk ataupun
ucapan selamat datang dari keluarganya. Ia sengaja merahasiakan kepulangannya
dan tak memberitahu siapa pun selain sahabatnya yang bisa diandalkan.
"Assalamualaikum
...."
"Wa'alaikumussalam, masyaallah, Bro!" Pria yang jangkungnya
semampai dengannya mulai menghampiri lalu dan memeluknya. "Gimana kabarmu?
Sehat?"
Pria
itu mulai melepas peluk sembari menjawab, "Alhamdulillah, baik."
"Kabeer,
udah empat tahun ente makin handsome baek!"
Kabeer,
pria itu hanya terkekeh kecil. Memang ketampanannya tidak bisa diragukan.
Tinggi tubuh yang tak biasa, rambut rapi dan lebat, bahkan memakai jubah.
Jarang sekali pria yang seperti ini ada di lingkup masyarakat.
Dzakir
yakin, sahabatnya ini sudah mulai lupa dengan lingkup sekitarnya. Bahkan selama
empat tahun ini, sudah ada bangunan yang diratakan, ada juga lahan kosong yang
mulai dibangun gedung-gedung tinggi bertingkat. Sebelum mengantarkan sahabatnya
pulang ke rumah, Dzakir sangat bersemangat untuk mengajak Kabeer berkeliling ke
seluruh lingkup daerahnya. Gedung tinggi bertingkat yang sedang dibangun,
kawasan perumahan daerah, sampai lapangan bola yang sedang digunakan lomba
futsal. Ramai sekali orang-orang menonton perlombaan sengit futsal itu.
Pasalnya, perlombaan futsal itu memiliki dua lawan yang masing-masing berasal
dari sekolah dasar yang berbeda. Kabeer dan Dzakir sangat menikmati perlombaan
futsal sore itu. Bahkan Dzakir sempat-sempatnya berteriak untuk memberitahu
pemain futsal agar mendapatkan cetak gol ke gawang lawan.
Tak
terasa, matahari makin terbenam. Langit jingga itu berubah menjadi semu gelap
sampai akhirnya berubah menjadi gelap. Suara Azan Magrib berkumandang, semua
anak-anak yang bermain futsal itu mulai memberhentikan aktivitasnya. Mereka
pergi berlarian menuju masjid sembari membawa tas berisi baju ganti. Zaman
sekarang, jarang sekali anak-anak langsung pergi berlari bersegera melaksanakan
salat ketika azan berkumandang. Kabeer dan Dzakir yang melihatnya seraya
tersenyum senang. Mereka jadi berpikir betapa menyenangkannya dahulu, kebiasaan
yang sama seperti anak-anak itu. Ketika waktu magrib hampir tiba, mereka akan
pergi berlarian menuju masjid sambil bertaruh satu sama lain. Siapa yang sampai
masjid lebih dahulu, merekalah yang akan mengumandangkan Azan Magrib.
Kabeer
dan Dzakir pun turut ikut berjalan menuju masjid untuk melaksanakan Salat
Magrib berjamaah. Sesampainya di masjid, mereka mulai mengambil air wudu. Air
wudu yang mengalir ke bagian-bagian anggota wudu dan rambut yang terbasahi air
wudu. Bahkan Kabeer dan Dzakir tidak mengeringkan anggota wudunya yang terkena
air wudu. Seperti ada satu hadis yang mengatakan bahwa setiap air selepas wudu
itu jatuh ke bawah, ibaratnya seperti itulah dosa-dosa yang ada pada diri
masing-masing orang juga gugur.
Begitu
masuk ke dalam masjid, inilah tempat yang tak pernah berubah selama empat tahun
kepergiannya, bahkan tidak pernah berubah juga tata letaknya dari ia masih
bersekolah di SD sampai ia lulus kuliah. Masjid yang dipenuhi dengan ketenangan
bagi mereka yang mengisinya dengan amalan membaca, menghafal, dan mengajarkan
setiap kalamullah. Tempat di mana
setiap mahluk bisa dekat dengan Rabbnya. Semua orang mempersilakan Kabeer untuk
menjadi imam Salat Magrib. Begitupun dengan Dzakir yang juga mempersilakan sahabatnya
untuk menjadi imam. Dengan senang hati, Kabeer mulai berjalan ke tempat
terdepan. Dimulai dari takbiratul ihram
sampai dua salam yang menjadi pertanda akhir salat. Suara lantunan ayat-ayat
yang dibacakan Kabeer sangatlah tenang dan indah didengar. Dzakir berpikir,
tidak sia-sia sahabatnya itu berkuliah jauh-jauh ke Madinah, Al-Munawarah.
Benar-benar suatu keistimewaan tersendiri bagi Kabeer, suaranya yang melantun
indah nan menenangkan hati adalah hadiah luar biasa dari Allah. Sebab, tak
semua orang bisa melantunkan setiap kalamullah
dengan begitu indahnya.
Usai
Salat Magrib, ia dan Dzakir mulai membaca Al-Qur'an bersama. Waktu berlalu
sampai Azan Isya mulai dikumandangkan Dzakir. Mereka menjalankan Salat Isya
berjamaah.
Setelah
Salat Isya selesai, Dzakir mengajak Kabeer berjalan-jalan. Tepatnya ke pameran
malam di mana banyak wahana bermain. Bagi mereka, pameran ini adalah tempat
paling menyenangkan. Dari mulai boom-boom
car sampai ke bianglala, semuanya habis terjamah oleh mereka berdua. Memang
waktu kenangan masa lalu tidak bisa diputar ulang, tetapi mereka bisa mengulang
semuanya meski bukanlah lagi anak kecil. Kalau orang-orang bilang, mereka
sedang bernostalgia.
Setelah
mereka puas bermain, Kabeer berbicara dengan wajahnya yang serius.
"Dzakir,"
panggilnya, "ada hal yang perlu kuberitahu."
Dzakir
mengernyitkan dahinya, penasaran tentang apa yang akan diucapkan Kabeer
selanjutnya.
"Apa,
Bro?" tanya Dzakir penasaran.
Senyum
sabit seketika mekar dari ujung bibir Kabeer. Ia dengan raut wajah senangnya
itu kemudian memberitahu Dzakir.
"Minggu
depan aku akan menikah," jawab Kabeer dengan raut wajahnya yang senang.
"Allah kareem … masyaallah!" Dzakir berucap sambil memeluk
Kabeer.
Jujur
saja, Dzakir masih tidak percaya dengan kenyataan ini yang tiba-tiba. Ia tak
bisa memungkiri bahwa Dzakir adalah sahabat satu-satunya yang membersamai
setiap langkahnya.
Persahabatan mereka adalah sesuatu yang istimewa dan tak terduga. Berbagi cerita, saling mengingatkan dan mendukung satu sama lain. Memang Allah merencanakan sesuatu terjadi karena Allah punya maksud di baliknya.
Posting Komentar