[CERPEN] Jeritan Hati Seorang Anak - Karya Veily
Seiring berjalannya waktu semua akan pergi dari hidupmu. Rasa hangat, nyaman, dan aman perlahan tidak akan kamu rasakan lagi.
-v_sstar
Fajar
menyingsing. Ayam berkokok menggantikan alarm. Seorang gadis cantik keturunan
Inggris-Indonesia itu mengerjapkan matanya.
Baru
saja ia tertidur saat subuh menjelang, kini, dia sudah kembali bangun. Dia,
Sera, gadis pekerja keras yang tak pernah menyerah.
Saat
ini, dia tengah menyiapkan dagangannya. Bersama Bapak, Ibu, dan adiknya. Dia
melakukan semuanya dengan tergesa-gesa, sebab, saat ini, jam telah menunjukkan
pukul 5 lewat 12 menit.
Sesampainya
dia di toko milik keluarganya. “Orang udah naik kereta, ini baru nyampe,” ucap
Bapak. Padahal baru saja datang, hati Sera sudah diremas-remas.
“Jadi
orang lelet banget, dari tadi juga yang belanja udah seratus!” tegas sang Adik.
Hati Sera dua kali tergores.
Sera
memilih bungkam. Dia kesal, sakit hati, kecewa, dan ingin menangis. Sera duduk
di kursi jongkok, tepat di belakang meja kasir.
Sera
berpura-pura memajangkan beberapa barang, meski sebenarnya, dia terisak. Ucapan
mereka sebenarnya sudah seperti sarapan pagi. Namun, hati Sera masih teramat
sakit jika mendengarnya.
Sera
membuka laci kasir. Dia menghitung nominal uang dalam laci kasir belum sampai
satu juta. Lantas, 100 orang pembeli dari mana? Sera kemudian meremas kesal
barang di sekitarnya.
***
Satu
pembeli, dua pembeli, dan seterusnya hingga jam menunjukkan pukul 9.15. Ibu
Sera memang sedang tidak ikut berjualan, karena sedang sakit.
“Nanti
aku ada kerja kelompok jam sepuluh. Jadi, aku minta ongkos,” ucap Sera.
“Tadi
pagi aja telat, minta ongkos,” ujar ayah Sera lalu mendelik. Ayah Sera tidak
mau memberikan ongkos kepada Sera. Sera meremat ujung bajunya menahan kesal.
“Ya,
sudah, intinya aku mau pergi,” kata Sera. Hati anak mana yang tidak sakit
melihat penolakan dari orang tuanya? Sera terdiam.
Kemudian,
Sera duduk di sebuah bangku. “Datang-datang ke toko, langsung main handphone, ada yang belanja juga tidak
tahu diri!” sentak ayahnya. Ayahnya sangat tidak tahu malu berkata seperti itu
di depan pembeli.
Sera
menarik napasnya dalam-dalam. “Iya, Bu. Silakan, mau belanja apa?” tanya Sera
ramah kepada calon pembelinya.
“Mau
kopi, Neng. Bawang, sama terigu sekalian, ya,” ucap pembeli itu.
Sera
segera mengambilkan barang yang diinginkan oleh pembeli. Belum juga dia
menghitung jumlah belanjaan Ibu itu, tiba-tiba, bapaknya merebut. “Udah sana,
lelet!” ujar bapak Sera.
Inikah
definisi sakit tak berdarah? Ucapan yang melukai hati dan batin Sera. Ya,
diam-diam Sera menangis. Dia tidak terima, tetapi tak bisa berbuat apa pun.
“Jadi
dua puluh enak ribu totalnya,” ucap Bapak judes.
“Jangan
judes gitu atuh, Pak. Kan saya belanja di sini, bukannya minta,” seru sang pembeli.
Setelah membayar, pembeli itu langsung pergi ke penjual ayam.
“Bu,
jangan mau belanja di toko sana, masa bapaknya judes. Udah gitu nggak sopan
lagi,” seru ibu-ibu di luar toko, gosip mulai menyebar di antara mereka.
Karena
posisi penjual ayam yang dekat dengan toko Sera, bapak Sera (Dudun) dapat
mendengarnya.
“Tuh,
gara-gara kamu, kan, jadi pada nggak mau belanja lagi!” sentaknya.
Hati
Sera benar-benar hancur. Siapa yang salah dan yang benar tetap akan menjadi
fitnah. Sera mengumpati bapaknya itu.
“Kenapa?
Kalau kesal, ya, ngomong! Nggak usah melotot gitu!” hardik Dudun.
Sera
ciut, dia menundukkan pandangannya. Air matanya kembali keluar.
“Bisakah
dia diam satu hari saja?” lirih Sera. Tidak ada siapa pun yang mendengarnya.
Melihat
langkah Dudun yang mendekat, Sera menghapus tangisnya. Dia tidak sudi
memperlihatkan air matanya.
***
Tepat
jam 10, Sera tiba di salah satu perkampungan yang ada di kotanya. Sera memasuki
sebuah rumah yang terlihat kumuh.
“Lia,
Theo. Di mana kalian berdua?” tanya Sera begitu memasuki tempat kumuh itu.
“I’m here, Sister.” Lia dan Theo menjawab
bersamaan. Mereka adik dari teman Sera yang sudah meninggal. Keduanya
dinyatakan yatim piatu saat ini.
“Maaf,
ya, Kakak baru bisa mengunjungi kalian. Ini ada sedikit makanan dan bahan pokok
yang Kakak bawa dari kota. Semoga ini cukup untuk satu bulan,” ujar Sera.
Dia
memang menyelamatkan kedua anak itu, dibantu beberapa temannya yang memang
peduli kepada sesama manusia. Namun, karena dia tidak bisa tinggal bersama
kedua anak itu, Sera membayar seorang pembantu yang menemani dan memberitahukan
keadaan mereka secara berkala pada Sera.
Sera
mengobrol dan membantu dalam mengerjakan hal-hal yang mereka tidak bisa
lakukan. Saat sudah selesai. Seperti biasa, Sera mengajak mereka untuk membaca
buku.
Kemudian―menjelang
sore hari―Sera duduk di salah satu taman kota sebelum pulang ke rumah. Di taman
kota, Sera benar-benar merefleksikan kejadian-kejadian yang sudah terjadi.
Sera
menghela napas, dia sadar, semuanya memang berat. Dia juga mengetahui bahwa tak
baik untuk terus bersedih. Masih banyak orang lain yang lebih menderita
daripada dia.
Setidaknya,
Sera bersyukur bahwa dia tidak gila saat menjalani hidup selama ini. Sera
paham, setelah dirinya sampai rumah nanti, Dudun akan kembali mengomelinya. Sera
menyiapkan nyalinya untuk beranjak pulang.
***
“Habis
dari mana? Pasti nggak bener kelakuannya, gini, nih, didikan ibunya, nggak ada
yang bener,” omel Dudun.
Sera
hanya diam, jika menjawab, nanti dia akan dianggap tidak sopan. Namun, jika
tidak menjawab, seperti saat ini, sebuah tamparan melayang di pipi mulusnya.
“Pasti
habis dari OYO.” Meski itu hanya gurauan, ucapan adik Sera mampu untuk membakar
hati Dudun.
“Ngapain
kamu ke OYO? Pasti nggak bener!” sentak Dudun. Dia mendorong Sera, menyeret,
dan menendangnya. Sera meringis kesakitan, tetapi dia sadar, tak ada yang bisa
menghibur dia selain dirinya sendiri.
Sera
hanya diam. Setelah puas, Dudun segera pergi ke kamarnya yang terletak jauh
dari kamar Sera. Sang anak (Sera) hanya bisa berjalan tertatih menuju kamarnya
sendiri.
Sera
tak dapat banyak berkata. Setelah dia mengunci pintu kamarnya, Sera menangis di
belakang pintu. Entah sejak kapan, dia mulai mengiris pergelangan tangannya
sendiri. Miris.
Sera
hampir saja membunuh dirinya sendiri jika sebuah panggilan tak menyapanya. Ya,
dia ibu Sera (Helda), dia memeluk Sera kencang setelah pintu dibuka. Dia tahu
sakitnya menjadi Sera. Sebab, dia juga sering mengalami hal yang sama seperti
Sera.
Beruntungnya
Helda tidak menyadari darah yang menetes dari pergelangan tangan Sera. “Nak,
kamu nggak pa-pa, kan?” tanyanya. Dia sangat khawatir.
“Nggak
pa-pa, Ma,” ucap Sera, meski dia ingin bilang, “aku tidak baik-baik saja”.
Namun, dia tidak mampu.
***
Hari
menuju malam. Seperti biasa, Sera mengecek HP-nya dan melakukan pekerjaan
seperti biasa.
Sera
sadar, meskipun suasana hatinya sedang tidak baik, dia tidak boleh
mencampuradukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi. Meski hal seperti ini
tampak biasa, ini sudah mengajarkan Sera banyak hal.
Sera
menyadari bahwa sesuatu yang terlalu dipaksakan dan diperjuangkan tidak selalu
mendapatkan hasil yang terbaik. Sera juga memahami bahwa jika seseorang
bukanlah orang yang tepat, orang itu tidak akan pernah mengerti perjuangan yang
sudah dilakukan pejuangnya.
Setelah
melakukan seluruh pekerjaannya, Sera tiba-tiba berpamitan dengan semua orang
yang ada di kontaknya. Dia juga meminta maaf jika ada kesalahan. Banyak orang
yang bertanya-tanya, tetapi mereka berpikir ini hanyalah sebuah challenge yang dilakukan Sera.
Sera
terkekeh melihat balasan mereka. “Tidak ada yang menyadari, lantas jika
besok-besok mereka mengetahui kebenarannya, selamat, kalian terlambat,” ucap
Sera.
Sera
mengambil sebuah pisau, dan memutus urat nadinya sendiri. Rasa sakit memang
dirasakan Sera, tetapi makin cepat menyayat tangannya, dia merasakan
kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya.
Tubuh
Sera ambruk di lantai tepat saat hari berganti. Tidak ada satu orang yang
menyadari kematian Sera. Bahkan keluarganya sendiri baru menyadari ketika hari
sudah menjelang siang kembali.
Sangat
menyedihkan menjadi sosok Sera, orang yang pernah berkorban dan berjuang
melakukan yang terbaik. Namun, hanya dipandang sebelah mata.
Dengan
demikian, kematian Sera menjadi hal yang paling memilukan untuk keluarganya
sendiri. Mereka terpukul, bahkan Dudun dinyatakan gila setelah kematian
putrinya. Sera meninggalkan dunianya dengan mimpi yang tidak terwujud.
TENTANG PENULIS
Veily.
Seorang gadis berzodiak Virgo dengan nama pena v_sstar memiliki hobi menulis
dan membaca. Jejaknya dapat dilihat dengan cara mengikuti akun Instagram-nya,
@vly_sstar. Dia sangat berharap pembaca dapat menyukai karya-karya yang sudah
ditulisnya.
Posting Komentar