[CERPEN] Jodoh Janda
Rahma, si penyuka pohon akasia. Ia menyukai pohon akasia karena menjadi penyumbang kertas-kertas yang selalu menemaninya.
Di bawah pohon dengan bunga yang melambangkan cinta terpendam ini, Rahma dan Nindy menyeruput es tebu Pakde Kumis yang dikenal karena keramahan sang penjual. Gerobak di bawah pohon ini sering kali menjadi tujuan pengendara yang ingin berteduh dan mengistirahatkan tubuh sejenak.
Di sana, tampak dua orang dengan jenis kelamin yang berbeda tengah bergurau, atau lebih tepatnya saling menyindir satu sama lain. Sementara, satu orang lainnya fokus pada ponsel di tangannya.
"Ma, coba kalau manggil namaku tuh yang bener. Jangan hak-hik-hak-hik."
"Penginnya manggil Kam, tapi, Nindy nggak ngebolehin."
"Kok
gitu, Nin?"
Mendengar
namanya disebut, Nindy segera memasukkan ponselnya ke dalam clutch
kesayangannya. "Soalnya lidah Rahma, tuh, suka keseleo kalo manggil
Kam." Ia lantas menyeruput es tebu yang baru saja diserahkan Pakde Kumis,
sebelum melanjutkan, "Kayak, kalo nggak Kam (bing), ya, Kam (pret)."
Manik
hazel milik pemuda itu terbeliak, berbagai jenis umpatan ia keluarkan
untuk dua wanita yang tengah menertawakannya.
Dengan
sisa-sisa tawa, Rahma meminta maaf kepada Hikam yang pemuda itu tanggapi dengan
gumaman. Rahma menyeka sudut matanya yang berair menggunakan ibu jarinya.
"Kamu,
tuh, harus sering keluar rumah kayak gini, Ma." Hikam berucap sembari matanya
memperhatikan keadaan sekitar. "Cuci mata, sekalian cuci otak." Ia
lantas meringis kala beradu pandang dengan Nindy. "Maksudnya tuh biar
Rahma istirahat bentar gitu, lho, Nin. Siapa tau nanti ketemu sama calon Ayah
baru Nara."
Bertemu
calon ayah baru Nara. Kalimat itu
menyadarkannya pada status yang tengah ia jalani sekarang. Mungkin, suatu saat
nanti, ia akan kembali memulai hubungan yang baru, dengan seseorang yang mampu
menjadi Akasianya. Kesempatan kedua itu mungkin saja mendatanginya, tetapi, ia
tidak ingin lagi bersikap gegabah. Namun, Rahma pikir tidak ada salahnya untuk
mengikuti saran Hikam. Siapa tahu ia benar-benar kembali menemukan jodoh.
Mungkin saja, kan?
Tiga
manusia yang tengah berbincang itu sontak mengalihkan pandangan mereka pada
sosok yang baru saja menghentikan laju kendaraannya, lalu menerka-nerka siapa
pria di balik helm full face yang gestur tubuhnya tampak familier di
mata mereka.
"Wah,
ini kebetulan apa takdir, ya?"
"Takdir,
Eb! Sumpah! Ini beneran takdir." Hikam dengan segala kehebohannya berhasil
menarik perhatian Pakde Kumis yang tengah menggiling tebu menggunakan mesin.
"Jodoh, nih, kalian."
Rahma
bergeming. Anak laki-laki yang belasan tahun lalu mencuri hatinya, kini kembali
seolah menjadi jawaban atas harapan dan keinginan Rahma. Namun, lagi-lagi ia
tidak ingin tergesa. Pria yang kini mengambil tempat duduk di sampingnya tampak
berbeda.
"Gimana,
Ma?" Pemuda itu bertanya. "Mau jadi jodohnya Syuaib Mahardika?"
"Kamu
duda?" tanya Rahma berhasil membuat kerutan samar di kening Syuaib
Mahardika. "Kata ibuku, jodoh janda itu duda."
Syuaib
tertawa. Entah hatinya tengah berbunga karena berhasil menemukan dan menyapa
Rahma, atau kalimat itu terdengar lucu di telinganya. Kemudian, ia mengeluarkan
ponsel dari ransel hitam yang ia kenakan. "Minta nomor handphone,
dong." Ia membuka papan tombol, mencatat nomor yang Rahma beri tanpa
keraguan.
"Gercep,
nih, Sueb." Hikam menimbrung di antara mereka.
Syuaib
kembali tertawa, lantas menyimpan ponselnya. "Iya, nih. Takut keduluan
yang lain lagi."
"Bener,
tuh. Cepat-cepat dihalalin, Eb. Nggak usah ragu sama Rahma. Dia waktu masih
jadi istri orang juga sering nanyain kamu."
Tidak
ingin tertinggal dari obrolan, Nindy ikut menimpali, "Kasihan mantan
suaminya, tau. Si Rahma cinta sama siapa, nikah sama siapa."
Lantas,
sepasang kaum Adam dan Hawa tersebut saling sahut-menyahut. Di tengah
perdebatan Nindy dan Hikam, Rahma merasakan ponsel di tangannya bergetar.
[+6281276******]
Kita
harus bertemu lagi di lain waktu. Berdua. No Hikam, no Nindy.
***
Setelah
memutuskan untuk menerima ajakan Syuaib, mereka sepakat bertemu kembali di
bawah pohon yang menjadi pertemuan pertama setelah beberapa tahun. Sebenarnya,
mereka tidak pernah menjalin hubungan ketika remaja. Mereka hanya pernah saling
dekat untuk waktu yang relatif singkat. Namun, baik Rahma maupun Syuaib tahu
siapa penguasa hati mereka.
Syuaib
cukup kecewa dengan Rahma yang meninggalkannya secara tiba-tiba, ditambah
keputusan Rahma yang menikah tanpa memberitahunya. Namun, setelah mendengar
kabar perceraian wanita itu, Syuaib merasa harus segera menemukan Rahma. Ia
benar-benar percaya pada ketetapan Tuhan.
Untuk
beberapa saat hening masih menemani mereka, Syuaib memutuskan untuk bertanya
perihal yang mengganggu pikirannya. "Boleh aku tau alasan kamu bercerai?"
"Mau
ngeledek, ya?"
Syuaib
menggeleng. "Buat jaga-jaga. Sebagai alarm untuk aku biar nggak melakukan
hal yang sama."
Rahma
memperhatikan daun-daun kering yang berserakan, sesekali daun-daun menguning
berjatuhan mengenai puncak kepalanya. "Ibumu apa kabar?" tanyanya
mengalihkan pembicaraan.
"Sehat.
Walau sesekali juga meriang, tapi masih bisa ditoleransi."
Sepengetahuan
Rahma, pria di hadapannya ini adalah sosok yang begitu menghormati dan
menyayangi orang tua. Jika Syuaib mengetahui alasan perceraiannya, Rahma yakin
pemuda itu tidak akan berani mengajaknya menikah. Tidak akan bersedia
membicarakan masa depan bersamanya.
Seolah
tidak merasakan lelah, Syuaib kembali bersuara. "Apa pun keputusan kalian,
aku yakin itu yang terbaik. Jangan ragu untuk kembali memulai, Ma." Ada
jeda di sela lanjutan kalimatnya. "Sama aku, misalnya?"
"Mertua."
Rahma memberitahu alasan perceraiannya. "Alasan aku memilih untuk
berpisah. Kekanak-kanakan, ya?"
"Setiap
orang berhak menentukan pilihan. Mungkin, kita akan mendapatkan pandangan
negatif setelah memutuskan hal krusial yang ternyata tidak sesuai dengan
kehendak mereka. Bertahan di suatu hubungan yang stuck juga nggak
bagus." Syuaib tidak ingin terlihat menggurui. Namun, ia yakin Rahma tidak
akan tersinggung dengan ucapannya.
"Omongan
kamu kayak udah pengalaman banget. Jangan-jangan kamu beneran duda, ya?"
Rahma bergurau.
"Maunya
iya. Biar bisa berjodoh sama si janda. Kata ibumu begitu, kan?" Syuaib
mengabaikan segala kalimat-kalimat Rahma yang mungkin saja bertujuan untuk kembali
menjauh darinya. "Anak-anak kita nanti bakalan bangga sama orang tuanya.
Bapaknya pebisnis, ibunya penulis. Duh, keren banget, ya!"
"Kamu
nggak tahu gimana omongan orang-orang tentang janda."
Syuaib
mengangguk. "Mungkin nggak, sih, kalau mereka tuh sebenarnya cuma iri?
Mereka cemburu sama orang-orang yang berani speak up. Sementara mereka
memilih jalan aman untuk tidak melakukan apa pun ketika dihadapkan dengan
permasalahan yang sama."
"Prinsipku,
setelah menikah kita harus mandiri. Ya, bukan berarti kita mengabaikan
kewajiban sebagai anak. Maksudnya, aku nggak mau ada jaminan apa-apa dari orang
tua atau mertua gitu, lho, Eb. Kayak misal, ini rumah untuk kamu, atau ini
lahan untuk kamu. Ya, bukannya menolak pemberian, tapi, kenapa kita nggak
berusaha terlebih dulu?" Rahma menjeda ucapannya. "Hal-hal semacam
itu, menurutku menjadi urusan pasangan yang sudah menikah. Biarlah orang tua
menikmati hasil dari jerih payah mereka semasa muda."
"Terdengar
angkuh, ya." Syuaib tidak tahu kenapa Rahma tiba-tiba membicarakan hal
itu, tetapi, ia tahu perempuan itu adalah seseorang yang penuh pertimbangan.
Rahma
mengangguk, lalu, menambahkan, "Makanya jangan terlalu mudah mengajak
perempuan menikah. Pikirkan sandang, pangan, papan, yang menjadi basic
dalam rumah tangga."
Syuaib
tersenyum, merasa takjub dengan pemikiran wanita itu. "Pemikiran kamu yang
seperti ini yang bikin aku jatuh cinta."
"Maaf.
Kalimat anda belum berhasil menembus kalbu saya."
Syuaib
tergelak. Benar-benar tidak menyangka dengan reaksi wanita yang menguasai
hatinya sedari remaja. "Rahma?" Ia memperhatikan wanita itu.
"Jadi istri aku, ya?"
Pertanyaan
itu menjadi akhir dari segalanya. Di hari-hari selanjutnya, mereka tidak lagi
bertemu di bawah pohon akasia. Tak ada lagi keraguan di hati Rahma setelah ia
mengetahui upaya-upaya Syuaib dalam memperjuangkannya. Rahma bersyukur ia masih
memiliki hal-hal baik di sisinya. Putrinya, ibunya, Hikam, Nindy, dan sekarang
bertambah lagi satu manusia lainnya. Rupanya, masih ada jodoh untuk si janda.
TENTANG PENULIS
Indah Rahma
adalah seorang ibu rumah tangga yang menyukai hidangan manis sebagai pelengkap
hari-harinya. Kadang-kadang ia berbagi cerita di akun Instagram-nya,
@indah12ahma.
Posting Komentar