[CERPEN] Mencintai dalam Diam
![]() |
ilustrasi berdoa (pexels.com/Thirdman) |
Cinta tertinggi adalah ketulusan yang mampu membuatmu makin dekat dengan Sang Tuhan.
- Widyani Tantri -
***
Di
salah satu pesantren besar di daerah Jawa Timur. Ada seorang gadis yang
memiliki tubuh mungil, wajah bulat menggemaskan, dan kulit putih bersih. Selain
fisiknya yang terbilang sempurna, gadis muda itu juga memiliki sifat yang baik
sehingga membuatnya memiliki banyak teman. Gadis muda nan cantik itu bernama
Safira Aghni.
"Fir!
Ngelamun aja, nih!" Seorang teman sekamar menyadarkannya dari lamunan.
"Ah,
enggak ngelamun, kok, Mirna. Cuma lagi melihat murid pria main voli aja.
Sepertinya seru sekali, ya," jawab Safira mengulas senyum lembut. Gadis
ini kembali memusatkan perhatiannya kepada seorang pria yang sibuk memukul bola
ke arah lawannya.
"Cie!
Lagi ngelihat Azim, ya?" seru Mirna. Mirna menggoda sahabatnya dengan senyum
jahil. Ucapan Mirna membuat wajah Safira bersemu merah.
"E―enggak,
kok. Kebetulan saja dia ada di sana," sanggah Safira.
"Dih,
pakai menyangkal segala! Kita itu sahabatan sudah dua tahun lamanya, Fir. Aku
sudah tahu kalau kamu diam-diam mencintai pemuda itu." Mirna tersenyum
menggoda.
Seketika,
Safira menutup wajahnya yang makin merah padam karena ucapan Mirna memang benar
adanya. Safira sudah menyukai pria itu sejak menginjak SD.
Kemudian,
Mirna berbisik, "Fir, aku penasaran, sejak kapan kamu menyadari perasaanmu
kepada Azim adalah hasrat cinta?"
"Sebenarnya, aku menyadarinya sejak dua tahun lalu. Tepatnya, saat Azim dipilih sebagai vokalis utama tim hadroh pesantren kita ini," jawab Safira dengan suara yang lembut dan lirih. Dia takut ada yang mendengar ucapannya.
"Wah!
Itu sudah cukup lama. Lalu, alasanmu menjatuhkan hati pada pria itu? Bukankah
di pesantren ini ada banyak santri yang lebih senior dan lebih mumpuni dari
segi ilmu dibandingkan dengan Azim yang masih seumuran dengan kita ini?"
Mirna juga berbisik saat berbicara. Dia juga tidak mau ada orang lain yang
mendengarkan rahasia sensitif ini.
"Itu
karena .... Dia adalah Azim. Sosok yang ramah dan selalu apa adanya. Semenjak
aku mengenalnya saat masih duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah mengetahui
sifatnya yang penuh kejutan. Dia juga bisa menjadi sosok yang diandalkan, dan
teguh dalam mengambil keputusan. Itulah sebabnya banyak gadis-gadis yang
semakin mengaguminya semenjak dia terpilih sebagai vokalis tim hadroh," ujar Safira. Dia kembali
terpaku memandang sosok pemuda bertubuh tinggi dan sedikit kurus itu.
"Kalau
begitu dalam rasa cintamu ke dia, kenapa kamu tidak memilih untuk mengungkapkan
perasaanmu itu padanya? Kenapa kamu hanya diam dan menyimpan perasaanmu itu
untuk dirimu sendiri?" Lagi-lagi Mirna melontarkan pertanyaan dengan sorot
wajah yang penuh dengan rasa penasaran.
"Itu
karena, bagiku, cinta adalah hak setiap manusia. Entah terbalas ataupun tidak,
cinta sejati tidak butuh diumumkan kepada dunia. Jadi, aku merasa cukup hanya mencintainya
dalam diam saja. Jika takdir Allah menetapkan kami berjodoh, maka sehebat apa
pun aku menyimpan perasaan, atau sejauh apa pun kami terpisah. Pada akhirnya,
kami akan bertemu kembali. Namun, jika Allah menakdirkan kami tidak berjodoh,
sedekat apa pun kami selama ini, tidak mungkin kami menyatu dalam ikatan suci
pernikahan," jelas Safira dengan nada suara lembut nan menyejukkan.
"Tapi
tetap saja, Fir. Perasaan itu layak diungkapkan. Sebab, siapa tau, dia juga
memiliki perasaan yang sama denganmu? Lihatlah sekarang! Karena kamu memilih
diam dan menyimpan sendiri perasaanmu. Pada akhirnya, dia pun dijodohkan dengan
gadis lain. Kamu juga sudah mendengar berita itu, kan?" Mirna menatap
lekat wajah sahabatnya. Mencoba meneliti perasaan sesungguhnya dari seseorang
yang telah menjadi sahabatnya selama dua tahun ini.
"Iya.
Dia Kak Amira dari kamar sebelah. Gadis berbakat yang pernah mewakili pesantren
kita dalam lomba Qori' Internasional.
Subhanallah sekali kakak satu
itu," tutur Safira sembari mengulas senyum tipis.
"Jangan
tersenyum! Aku tahu kamu sangat terluka mendengar kabar itu, kan? Ayo, jujur
saja padaku, Fir! Tumpahkan saja segala kesedihanmu padaku! Jangan hanya
memendamnya seorang diri!" kata Mirna memaksa. Gadis muda itu sangat
khawatir dengan sahabatnya.
Mendengar
ucapan Mirna, perlahan manik indah Safira berkaca-kaca meluruhkan butir bening
air mata. Meski selama ini dia berusaha tegar, pertahanannya pun buyar di
hadapan sang sahabat. Safira menangis, sebab lukanya teramat perih, mengiris.
Mirna
gesit memeluk sahabatnya. Gadis muda itu pun berbisik dengan suaranya yang
parau, "Sabar, ya, Fir. Segalanya sudah telanjur terjadi. Jangan terlalu
dipikirkan. Ingat! Allah selalu bersama hamba-Nya yang sabar."
Safira
mengangguk dalam pelukan sahabatnya. Dia paham harus bersikap bagaimana dalam
menghadapi takdir Yang Maha Kuasa pada saat segalanya tidak sesuai
keinginannya.
Kedua
sahabat itu saling memeluk dan menguatkan. Mendadak, seseorang datang
menghampiri mereka. Santriwati muda tersebut terlihat tergesa-gesa.
"Mbak
Safira! Diminta Ibuk ke rumah," katanya dengan napas tersenggal sebab
berlarian.
"Hah?
Ibuk Nyai maksudmu, Dek?" Safira bertanya dengan wajah heran. Sebab, di
area pesantren itu, hanya satu sosok yang dipanggil 'Ibu' oleh semua orang.
"Iya,
Mbak. Katanya diminta cepat datang ke rumah. Ada hal penting!" kata
santriwati dengan serius.
Safira,
dan Mirna saling memandang. Wajah kedua gadis itu terlihat kebingungan. Tanpa
basa-basi lagi, mereka pun melangkah cepat menuju kediaman utama milik sang
Kyai. Tepatnya menuju satu-satunya rumah yang berdiri gagah, di tengah kedua
bangunan pesantren. Rumah itulah yang menjadi pemisah antara bangunan asrama
santri putra dan santri putri.
"Asalamualaikum,
Buk." Safira menyapa dengan wajah ternunduk khidmat begitu masuk ke ruang
tamu. Safira mendekati sosok anggun yang duduk di sofa paling ujung, lantas
mengecup punggung tangannya yang halus. Dia sangat menghormati sosok pengasuh
pondok putri itu.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,"
jawab sosok anggun itu, "Nak, kemarilah! Duduklah di sisi Ibuk!"
Tanpa
diminta dua kali, dengan menundukkan kepalanya, Safira duduk di sisi wanita
paling berpengaruh di pesantren itu. Meski dia sangat sungkan, dia tidak bisa
menolak perintah gurunya.
Begitu
Safira duduk di sisinya, sang Ibu dari banyak santri tersebut langsung mengusap
lengan Safira dengan sayang. Beliau bahkan beberapa kali mengharapkan
keberkahan bagi santriwatinya yang satu ini. Bu Nyai mendadak berkata,
"Nak, kamu gadis yang baik. Kamu juga santri yang sangat pintar dan
terampil. Jika kamu saya minta menjadi menantu, apakah kamu akan
bersedia?"
"Hah!"
Safira terhenyak kaget mendengar hal itu. Begitu kagetnya dia sampai mengangkat
kepala, dan bertukar pandang dengan pria tampan yang sejak tadi duduk di
sebrang mereka.
"Kamu
mungkin sudah mengetahui soal dia, Ahmad Hariri, putra sulung saya. Dia bilang,
dia tertarik sejak kali pertama melihatmu masuk ke pesantren ini. Sekarang, dia
sudah menyelesaikan kuliahnya di Kairo. Dan, dia ingin menikah hanya denganmu.
Bagaimana, Nak?" tanya sang Guru sekali lagi.
Safira
menundukkan kepala menyembunyikan air mata yang membanjiri wajah. Namun,
tubuhnya yang bergetar tetap membuat beberapa orang yang ada di dalam ruangan
langsung keheranan.
"Kenapa
kamu menangis, Nak? Jika kamu tidak bersedia menikah dengan anak saya, kamu
boleh menolaknya. Kamu tidak perlu sungkan untuk itu. Saya hanya bertanya dan
tidak ada maksud sama sekali untuk memaksamu menikah dengan anak saya
sendiri," tutur sang Guru besar dengan suara yang bergetar. Wanita anggun
itu memiliki hati yang begitu lembut, hingga tangisnya ikut pecah melihat air
mata orang lain.
"Bukan,
Buk. Bukan begitu. Saya menangis karena terlampau bahagia. Saya tidak menyangka
bahwa janji Allah itu benar. Akan selalu ada kemudahan di balik kesulitan yang
mendera jiwa. Baru saja hati saya berduka karena seseorang. Sekarang, Allah
hadirkan sosok agung yang ribuan kali lebih baik darinya. Bagaimana mungkin
saya tidak bahagia, Buk?" jelas Safira di sela isak tangisnya.
"Jadi
kamu menerima lamaran anak saya, Nak?" tanya sang Guru mencoba memperjelas
perasaan Safira.
Santriwati muda itu mengangguk dengan antusias. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu seketika mengucap "Alhamdulillah" secara bersamaan.
TENTANG PENULIS
Widyani Tantri, gadis asli Kota Palembang lahir pada tahun 2001. Kata orang, gadis manis ini sangat unik. Ketika semua perempuan berlomba-lomba untuk mempercantik wajah, dia lebih menyukai koleksi hewan. Hi-hi, mau tahu lebih detail tentangnya? Cusss, langsung ke rumahnya jangan lupa bawa seserahan, dan juga seperangkat alat salat. Instagram: @nyimastantriiii.
Posting Komentar