[CERPEN] Menuju Seperempat Abad
Dear diary,
Setiap
malam, di tempat kerjaan yang baru ini aku menangis, sakit karena banyak hal.
Tentang pendidikan, keluarga, percintaan, dan kerjaan. Dengan sangat terpaksa
untuk kedua kalinya aku memutuskan berhenti kuliah. Sakit batin, Ya Allah.
Sedih banget asli, gak tau harus gimana lagi, kalo bukan atas kebaikan Allah
Swt. yang masih merangkul, entah bagaimana keadaanku sekarang. Ungkapan yang
bilang gak ada seorang pun yang mampu ngertiin diri kita, selain kita sendiri
ternyata bener, ya. Sedih, kecewa, galau, serba salah, serba kekurangan, and
everything. Sakiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit banget. Untuk saat ini, aku juga tidak
ada pikiran sedikit pun untuk mencari pasangan, aku merasa minder, gak percaya
diri, selalu merasa minder, insecure, Ya Allah. Please. Ya Allah, aku berharap
ini semua berakhir indah, aaaamiiin. Salah satu temanku bilang kalo perlu
menghilanglah sementara, kalo dia gak merasa kehilangan, maka menghilanglah
selamanya.
Jakarta,
11 April 2023
Salwa
segera menutup buku diarinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, saatnya
untuk tidur. Tak seperti biasanya ia seperti ini. Mungkin kali ini masalahnya
terlalu berat. Sebentar lagi usianya menginjak 25 tahun. Agustus tinggal
beberapa bulan lagi, tetapi Salwa merasa di usianya yang hampir seperempat abad
ini belum banyak hal yang ia lakukan dengan baik. Bahkan ia pernah ada di
posisi seperti kata pepatah yang bunyinya “Hidup segan, mati tak mau.” Ya, betul sekali. Menjalani hidup
tanpa tujuan, merasa lelah yang berkepanjangan dan tak selesai-selesai.
“Apa
kau lupa, Nak?” kata Mama Sofi sewaktu libur lebaran tahun lalu, “dunia memang
tempatnya capek, nanti kalo udah di
surga baru kita bisa merasakan kedamaian dan ketenangan yang sejati,” lanjutnya
sembari menyiangi sayuran hasil panen. Salwa hanya terdiam, mencoba mencerna
kalimat dari mamanya.
Ingatannya
kembali pada Agustus 2020, empat hari sebelum hari ulang tahunnya. Salwa
mendapat kabar bahwa laki-laki yang ia kagumi menikah. Lima tahun bukanlah
waktu yang sebentar untuk menunggu seseorang yang bahkan untuk sekadar bertanya
apakah Salwa baik-baik saja tidak, apalagi memperjuangkan perasaan Salwa.
Namun, bukan Salwa namanya jika menyerah begitu saja. Mama Sofi, Ayah, Salsa,
bahkan sohib dekatnya pun sudah tak terhitung menasihati Salwa untuk menyudahi
perasaannya, tetapi Salwa tak pernah mau menggubris. Salwa selalu percaya bahwa
manusia hanya bisa merencanakan, mengenai hasilnya bagaimana biar Yang Maha
Kuasa yang menentukan, dan inilah hasil penantiannya selama lima tahun.
Laki-laki itu memang benar tak memperjuangkan cintanya Salwa, ia lebih memilih
menyerah pada restu orang tuanya. Salwa menerima itu meski pasti tak mudah, Dia
adalah sebaik-baik perencana, dan Salwa percaya itu.
Ini
adalah sebagian kisah dari kehidupan Salwa, ia bahkan pernah hampir benar-benar
menyerah pada takdir. “Bunuh diri aja
kali ya, cape banget.” Kalimat ini pernah terlintas dalan benaknya kala
harus berhenti kuliah untuk yang kedua kalinya. Masalah biaya bukan lagi jadi
alasan untuk Salwa berhenti kuliah, ada alasan kuat yang membuatnya harus
merelakan mimpinya menjadi sarjana komunikasi. Merasa gagal mewujudkan
mimpinya, gagal pula tentang percintaan.
Yang
menjadi struggle terbesar bagi Salwa
adalah tentang pekerjaan. Secara, ia adalah tulang pungung keluarganya. Setelah
kepergian Ayah pada 2018 lalu, Salwa menjadi tulang punggung untuk Mama dan
adiknya. Juli 2022, Salwa memutuskan resign
sebagai babysister di daerah
Tangerang Selatan, Mama Sofi melarangnya, merasa bahwa keputusan putrinya
tidaklah tepat. Adiknya masih butuh biaya besar untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Bahkan, sang Mama awalnya tak tahu jika Salwa
merelakan mimpinya terkubur.
Pada
saat itulah ia merasa beban yang ditanggungnya teramat berat, masih teringat
betul kata-kata Uwa Salim tempo hari. "Kamu
mah teu acan dewasa Salwa, kamu mah henteu siga anak-anak Uwa. Cobi tingal tuh
Teh Wulan, ari damel teh kabetah, ulah sok pindah-pindah wae (Kamu itu
belum dewasa Salwa, kamu itu enggak kayak anak-anak Uwa. Coba liat itu Teh
Wulan, kalau kerja itu yang betah, jangan pindah-pindah terus).” Saat
itu, Salwa sudah malas menimpali ucapan uwanya. Ia lebih memilih diam, tak
semua orang tau dan merasakan bagaimana sulitnya mengatur keuangan, terutama sandwich
generation.
***
Senin,
17 April 2023.
Hari
ini hari Senin, dan Salwa membencinya. Mungkin masih banyak lagi orang yang
seperti Salwa, membenci hari Senin. Jadwal mengajar anak-anak les privat padat.
Dalam sehari, bisa sampai 20 anak yang ia temui di tempat les. Jadi, harus
pandai mengatur jadwal. Mesti demikian, Salwa masih menyempatkan diri untuk
menulis diari setiap harinya. Mungkin foto bisa menjadi media untuk menyimpan
memori setiap harinya, tetapi menurut Salwa menulis itu berbeda. Menulis
merupakan obat, terutama untuk penulisnya.
“Tumben
sendirian, Sal?” tanya April sesama pengajar di tempat les.
“Eh,
April. Iya, nih. BTW, ada apa?” Salwa balik bertannya.
“Nanti
malam ada acara, enggak? Ada film bagus, nih. Nonton, yuk?” ajak April.
“Gimana
ya, lain kali aja ya, please,” jawab
Salwa.
“Hmm,
oke, deh,” ujar April pergi meninggalkan Salwa di kelasnya.
Nonton? Aduh enggak
deh, mending liat di You Tube atau Netflix aja,
batin Salwa.
***
Setibanya
di kosan, Salwa segera membersihkan diri dan makan sore. Sebentar lagi Azan
Magrib. Untung sudah sampai di kosan, jika tidak, bisa terjebak macet. Benar
saja, tak berapa lama Azan Magrib berkumandang. Selepas mengerjakan Salat
Magrib, seperti biasa, ia mengaji sebentar mengejar target one day one juz.
Pukul
18:40 WIB―sambil menikmati potongan buah pepaya―Salwa mengambil buku diari dan
mulai menulis tentang apa yang ia alami hari ini, termasuk suasana hatinya.
Dear
diary,
Merantau
adalah pilihanku, bahkan sejak surat kelulusan belum keluar pun aku sudah
merencanakan itu. Dan, ini adalah hasil dari apa yang aku usahakan
kemarin-kemarin. Tak apa, Ya Allah, aku percaya bahwa Engkau telah menuliskan
skenario terbaik untuk diri ini. Atas semua yang telah terjadi pasti ada hal
baik yang bisa aku jadikan pelajaran dan bekal untuk menjalani hari-hari ke
depannya. Allah, terima kasih banyak ya, Engkau masih mau merangkul diri ini,
yang hampir saja benar-benar menyerah pada keadaan yang ternyata dari kejadian
waktu itu justru membuatku makin sayang sama diri sendiri, lebih aware dan
lebih memahami diri sendiri dulu. Dan, tentang kuliahku yang harus pupus dua
kali, sekarang tak lagi membebani diriku ini, aku akan belajar dengan cara yang
berbeda meskipun bukan dari bangku kuliahJ.
Untukmu,
Mah, maaf ya Salwa belum bisa memberikan yang terbaik untuk Mama dan Adek.
Terima kasih untuk kasih sayang dan perhatiannya selama ini, support Mama dan
doa Mama sangat berarti buat Salwa. I
love you, Mah J.
Jakarta,
17 April 2023
Tepat
saat Salwa menulis kalimat terakhir di buku diarinya, Azan Isya berkumandang.
Salwa segera menutup buku diari dan bergegas mengambil wuhu. Salat Isya.
Dilanjutkan dengan mengaji. Inginnya setelah ini langsung tidur, tetapi Salwa
belum mengantuk. Jadi, Salwa membaca sebuah buku karya Maudy Ayunda, Dear
Tomorrow. Keren banget, sih, bukunya. Dalam buku Kak Maudy, tertulis
tentang bagaimana memaknai hidup, cinta, dan meraih mimpi..
Menjelang
seperempat abad (25 tahun), Salwa masih bertanya-tanya tentang ke mana ia akan
melangkah setelah ini. Apa yang sebenarnya yang ia inginkan? Waktu menunjukkan
sudah pukul 21:50 WIB. Salwa segera merebahkan tubuhnya di atas kasur yang
empuk. Berdoa dan mencoba untuk segera lelap, enggan memikirkan apa yang akan
datang, ia ingin mengalir seperti air.
TENTANG PENULIS
Seperti
kamu, Kak Indri juga suka sekali
membaca. Ia juga suka menulis cerpen dan puisi. Salah satunya ada di dalam buku
antologi yang kamu baca ini. Kak Indri percaya bahwa menulis adalah obat,
terutama untuk penulisnya. Yuk! Kenalan lebih jauh di akun Instagram-nya,
@ardariswariindri.
Posting Komentar