[CERPEN] Pesawat Kertas - Karya Tiara Sariamadhani

Daftar Isi

"Kamu mana mungkin bisa jadi penulis, apalagi sampai terkenal. Keluar rumah aja jarang, mana bisa dikenal orang!"

Hinaan itu kembali keluar dari mulut teman-teman sekelasku. Ya, sudah menjadi kebiasaan mereka mengejekku dengan julukan anak yang no life, kuper, dan lain sebagainya. Itu semua karena aku memang jarang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarku. Merasa sudah kebal akan umpatan mereka, aku tak acuh saja dan tetap berfokus pada catatan yang ada di depanku.

Aku lagi-lagi mengalami masalah yang sama. Aku kembali mengalami writer's block. Huh, sungguh kesal rasanya ketika sudah mendapatkan ide cerita, di pertengahan jalan menulis otakku justru buntu. Inilah penyebabnya aku lebih sering menyendiri di rumah dan menjadi anak yang antisosial, karena setiap ada ide yang datang pasti tidak akan menetap lama di kepalaku kecuali segera mencatatnya di buku catatan khusus milikku.

"Mereka nyebelin banget, sih! Memangnya mereka enggak punya pekerjaan lain selain mengumpat dan mencaci orang lain? Liat kan sekarang, aku jadi lupa lagi. Dasar sok paling sempurna!" batinku mengumpat dalam hati. Sebenarnya aku sangat ingin membalas hinaan mereka tadi, tetapi entah kenapa hatiku selalu berkata tidak dan menyuruh untuk diam, seakan-akan ada sesuatu yang lebih hebat yang akan membalas perkataan jahat mereka suatu saat nanti.

"Aku harus apa sekarang, aku bingung!" Aku bertanya pada diriku sendiri. Perlahan kelasku makin ramai dipenuhi oleh suara obrolan, candaan, dan keributan siswa-siswi yang ada di sini. Membuat kepalaku makin pusing memikirkan gagasan baru untuk aku tulis di ceritaku.

Aku berjalan menuju jendela kelas, kelasku berada di lantai dua. Aku melihat pemandangan di belakang kelasku yang asri dengan banyak tumbuhan hijau mengelilingi sekolahku, membuat hawa di sekolah ini tetap sejuk walaupun matahari sedang terik. Aku menunduk, melihat bangku di taman belakang kelas XII yang kosong. Tidak ada siapa pun di sana. Sepertinya cocok jika aku menenangkan pikiranku di sana agar penyakit menulisku ini segera hilang, lalu bisa melanjutkan tulisanku dengan tenang.

Tanpa berlama-lama aku segera turun, tidak lupa membawa catatanku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada orang di taman ini agar bisa nyaman melanjutkan hobiku. Setelah terasa aman, aku duduk di kursi panjang yang menghadap langsung ke tanaman-tanaman hijau yang ada di taman sekolah ini. Aku berharap ide yang tadi hilang bisa teringat kembali dengan melihat warna hijau dari tanaman-tanaman di sini. Menurut filosofi, warna hijau dapat meningkatkan daya ingat. Setahuku, sih, begitu.

Setelah duduk, aku menutup mataku. Aku menarik napasku dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan. Perlahan aku membuka mataku. Hal ini aku lakukan guna menjernihkan pikiranku. Namun, hasilnya nihil. Aku tetap tidak bisa mengingat ide brilian yang berhasil tertangkap otakku tadi.

"Sialan! Kok aku enggak bisa inget, sih! Sebel, deh!" Aku meluapkan amarahku di taman kosong itu. Mumpung tidak ada yang melihat. Jika ada orang, sih, lain lagi ceritanya.

Merasa sangat kesal karena pikiranku yang buntu tak kunjung menemukan jalan keluar, aku berinisiatif untuk merobek kertas yang sudah terisi dua kalimat hasil dari ide yang terlintas secara kilat di kepalaku tadi. Namun, saat kertas itu hendak aku tarik, tiba-tiba saja ada yang melempariku dari belakang.

"Aduh!" ucapku kesakitan. Aku makin kesal saat ini, rasanya ingin langsung teriak saja. Kembali aku ambil kertas berbentuk pesawat yang jatuh itu, saat berbalik, aku ingin membalas si pelaku yang melempariku tadi. Namun, aku tidak menemukan seorang pun. Akhirnya, aku mengurungkan niatku dan memutuskan untuk membuang pesawat kertas itu.

Aku menuju ke tempat pembuangan sampah yang berada tak jauh dari tempatku duduk. Saat hendak membuang pesawat itu, aku tak sengaja melihat tulisan di bawah salah satu sayap dari pesawat kertas tersebut. Ada sebuah kalimat yang bertuliskan, "Kalau pesawat ini sampai di kamu, berarti pesan di dalam kertas ini memang ditujukan untukmu, bagaimanapun caramu menemukannya." Aku terheran. Ini pesan? Untukku?

Penasaran, aku pun membuka lipatan kertas yang dibentuk seperti pesawat itu. Ternyata di dalamnya ada sebuah screenshot kutipan yang dibuat oleh salah satu penulis favoritku. Aku mulai membacanya pelan-pelan dan memahami setiap kata yang tertulis secara mendalam.

"Setiap hasil yang didapatkan, pasti ada proses yang belum tentu semua orang mau mengetahuinya. Boleh berekspektasi setinggi-tingginya, asalkan jangan lupa untuk berusaha memulai dan mengusahakannya!

Semua hanya perihal proses dan membiasakan diri untuk konsisten. Nikmati prosesnya, rasakan lelahnya, dan syukuri setiap pencapaian ataupun keberhasilan yang ada.

Meski tidak semua orang mau tahu prosesmu seperti apa. Setidaknya kamu harus berusaha yakin untuk terus konsisten menekuninya.

Dan saat orang-orang berusaha untuk meremehkanmu setiap saat. Jangan sampai kamu meremehkan dirimu sendiri, ya!

Siapa tahu, ada orang-orang yang sangat bersyukur mengenalmu, karena kamu telah menjadi salah satu perantara untuknya dalam mewujudkan impian besarnya."

Aku tersentuh, setiap kata yang dirangkai olehnya sangat sarat akan makna. Membuatku kembali termotivasi untuk semangat dalam mengejar impianku untuk menjadi penulis.

Lantas, siapa penulis favoritku yang menulis kutipan itu? Dia adalah Moch Abdul Aziz, seorang mahasiswa matematika semester 6 yang juga seorang penulis buku dan pendiri Komunitas Ufuk Literasi. Dia juga merupakan salah satu orang yang berhasil menginspirasiku untuk ikut terjun dalam dunia kepenulisan. Aku sangat kagum dengan perjuangannya dalam membangun komunitas menulis. Kunci utamanya adalah nikmati prosesnya dan konsisten menekuninya.

Akhirnya aku mengerti sekarang, aku batal membuang pesawat kertas itu. Aku juga mengurungkan niatku untuk membuang ideku yang buntu tadi.

Sepulang sekolah, aku membuka laptopku, mencari lebih banyak informasi dan materi-materi kepenulisan. Kini aku sudah menemukan jawabannya. Yang membuatku terkena writer's block ternyata bukan karena ingatanku yang lemah, hanya aku yang kurang belajar soal menulis cerita.

Sejak saat itu, aku mulai mengikuti beberapa akun penulis dan penerbit. Aku juga mulai mengikuti beberapa seminar dan lomba kepenulisan. Sampai akhirnya, aku berhasil menerbitkan beberapa karyaku menjadi buku. Teman-teman yang dulu menghinaku kini hanya bungkam melihat keberhasilanku. Balasan atas hinaan mereka yang selama ini aku pendam sudah terbalas oleh aksiku sendiri, bersih tanpa ada kata atau perlakuan kasar yang aku tunjukkan. Orang tuaku pun sangat senang karena pencapaianku ini. Mereka sangat bersyukur melihat anaknya bisa berhasil.

Akhirnya, hal yang selama ini aku impikan terjadi. Berkat kunci yang selalu aku pegang teguh untuk mencapai sukses. Berawal dari kutipan seorang penulis yang sangat memotivasi diriku. "Nikmati prosesnya dan konsisten menekuninya."


TENTANG PENULIS

Tiara Sariamadhani, lahir di Madining, Soppeng pada 29 Mei 2008. Memiliki nama pena Nainntaraa. Hobinya membaca, makanya mau jadi penulis. Biar bisa baca karya sendiri, katanya. Gadis yang baru saja lulus dari Madrasah Tsanawiyah ini sekarang tengah sibuk mendalami hobi barunya mempelajari aksara dan sejarah tanah kelahirannya, tanah Bugis. Kalau mau intipin kesehariannya bisa langsung mengunjungi Instagram: @tiarasariamadhani.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar