[CERPEN] Sahabat dalam Taat
![]() |
ilustrasi persahabatan (pexels.com/Anna Tarazevich) |
“Ayo, Umi bangun!” ucapku pada diri sendiri.
Aku diam beberapa saat. Mengumpulkan nyawa
lalu berhasil bangkit dari tempat tidur dan segera ke kamar
mandi. Subuh kali ini entah kenapa udaranya sangat dingin,
bahkan menusuk sampai ke pori-pori kulit. Ah, udara subuh
memang selalu begini. Aku saja yang tidak terbiasa
bangun dini hari.
Setelah berwudu, aku pun segera melakukan salat. Lebih tepatnya Salat Sunah sebelum Subuh. Ya, aku sebenarnya sudah tahu tentang keutamaan
dari Salat Sunah ini, yaitu lebih baik dari dunia dan seisinya.
Namun, begitulah,
karena kemalasanku, salat ini aku lakukan hanya saat datang rajinku saja.
Qabliyah dan Salat Subuh sudah. Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara perempuan yang
datang mengetuk pintu kos, memecah keheningan.
“Siapa? Masuk! Pintunya tidak dikunci,” kataku menyuruh perempuan itu masuk. Aku seperti
mengenal suaranya. Ya, tidak lain dan tidak bukan ia adalah pemilik kamar yang
bersebelahan denganku.
“Sudah bangun?” Tangannya masih memegang gagang pintu. Aku sudah menyuruhnya
masuk, tetapi ia
masih saja berdiri
di depan pintu dengan raut wajah tidak percaya melihatku bangun sepagi itu.
“Iya, sudah,” jawabku singkatku sambil melipat sajadah.
Ah, pertanyannya memang konyol. Ia melihatku selesai salat, masih saja iseng
bertanya seperti itu. Pertanyaannya seakan-akan meledekku yang memang biasanya jam segini belum
bangun.
“Masyaallah, tumben jam segini sudah bangun, biasanya
masih molor, harus aku bangunin dulu,” ujarnya
sambil tersenyum. Lebih tepatnya senyuman meledek.
“Ye, kamu mah bisanya meledek. Bangga kek sama sahabat hebatmu yang
hari ini mau tes beasiswa,” kataku membela diri.
“Pasti ada maunya, kan?” tanyanya menyelidik.
“Hehe, iya, sih. Hari ini aku bangun lebih awal, salat tepat waktu, dan doa sama Allah semoga urusanku
dilancarkan dan aku diluluskan buat seleksi wawancara,” kataku menjelaskan.
“Tuh, kan, benar. Ketebak. Umi, tidak boleh, ya, seperti itu.
Jangan taat hanya ketika ada maunya. Salat Subuh tepat waktu itu kewajiban,
bukan ketika hanya saat kamu mau urusanmu dilancarkan-”
“Iya, aku juga tahu. Bawel banget, sih” kataku memotong pembicaraannya yang belum
selesai.
“Eh, aku belum selesai ngomong, loh, malah dipotong,” ucapnya kesal.
“Aku harus segera siap-siap, keburu telat, nih. Kalau mau ceramah nanti saja, ya,” ujarku meninggalkannya ke kamar mandi. Ia hanya bisa
geleng-geleng
kepala melihat tingkahku yang sangat menyebalkan. Ya, siapa suruh ia mau
berteman dengan orang sepertiku.
Risma, teman terbaik yang aku punya. Mahasiswi lulusan
pondok pesantren sekaligus penghafal Al-Qur’an ini merupakan orang yang selalu membuat aku insecure.
Bagaimana tidak? Ia tak hanya cantik, tetapi juga memiliki akhlak yang baik.
Kami kuliah di kampus yang sama, tetapi dengan jurusan yang berbeda. Aku jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, sedangkan ia di jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Jurusan yang sangat dielu-elukan oleh orang kebanyakan. Ah, padahal sebenarnya tidak ada yang perlu
dibanding-bandingkan, bukankah setiap jurusan masing masing memiliki peran dan
keistimewaan? Ya, untuk orang sekelas Risma memang wajar sih ada di
jurusan itu. Ia, kan, penghafal Al-Qur’an.
Kami sebenarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu ingin dapat beasiswa kuliah. Hanya saja, saat seleksi berkas, ia tidak lulus, sedangkan aku lulus. Oleh karena itu, aku bisa lanjut untuk tes seleksi wawancara.
“Jangan lupa zikir paginya, Mi,” pesannya sambil menyodorkan sebuah buku zikir.
“Apa ini? Ah, aku lagi buru-buru, Ris,” ujarku sambil mengikat tali sepatu.
“Bawa saja, Mi, bisa kamu baca nanti di kampus,” pintanya sambil tersenyum.
Aku tertegun, mendongakkan kepala, menatapnya lamat-lamat. Senyuman perempuan ini memang selalu
meneduhkan. Seketika hatiku tersentuh dan luluh melihat ketulusannya
mengingatkanku dalam kebaikan. Ini bukan kali pertama, tetapi untuk yang kesekian kalinya. Beribu kebaikan telah
ia lakukan, tetapi kenapa selalu aku abaikan?
Seketika aku teringat dengan sebuah postingan yang
muncul di beranda
sosial mediaku. Isinya kurang lebih seperti ini, “Dan, sebaik-baiknya teman adalah teman yang selalu mengajakmu pada
kebaikan. Jika
kamu memiliki teman yang selalu mengajakmu pada ketaatan, maka jangan lepaskan karena tidak mudah mencari teman
seperti itu,
sedangkan melepaskannya sangat mudah.”
“Woi, ambil, nih! Kenapa malah melamun? Katanya buru-buru,” serunya seketika membuyarkan lamunanku.
“Yaudah, iya. Terima kasih,” ujarku seraya mengambil buku kecil itu dan
menyimpannya di tas. Aku melangkahkan kaki untuk pergi dan sempat melambaikan
tangan serta tersenyum padanya.
***
Di kampus, tepatnya di depan auditorium, tempat di mana akan dilaksanakan wawancara beasiswa, aku melihat
orang yang sudah
berdatangan dan sedang menunggu giliran untuk dipanggil masuk ke dalam. Sebagian
dari mereka—yang sudah tes—keluar dengan raut wajah
menyedihkan karena ternyata tidak bisa menjawab
pertanyaan dari para penguji. Seketika hal itu membuatku takut dan khawatir
mengalami hal yang sama.
Sambil menunggu giliran namaku dipanggil, aku mencoba menenangkan diri dengan pindah posisi
duduk. Aku mencari tempat pojokan di mana aku bisa lebih tenang dan terhindar dari keramaian, tetapi tetap bisa mendengar namaku bila nanti disebut.
Seketika aku teringat dengan buku kecil yang diberikan sahabatku. Aku pun
membuka tas dan mulai membaca zikir itu. Entah kenapa aku merasakan ketenangan
yang tidak bisa aku definisikan.
Selang beberapa menit,
ponselku berdering tanda pesan masuk. Saat aku
membukanya,
ternyata itu dari Risma, sahabatku. “Ingatlah kepada Allah karena hanya dengan mengingat-Nya hati itu akan
menjadi tenang.”
Seketika air mataku menetes membasahi buku kecil yang
ada di tanganku. Risma seperti tahu apa yang aku rasakan. Bahkan dalam kondisi
seperti ini,
lagi-lagi ia
menguatkanku.
“Umi Kulsum,” suara dari dalam auditorium.
Aku langsung beranjak masuk ke auditorium karena sudah tiba
giliranku. Dengan langkah pasti, aku mencoba meyakinkan diri.
“Bismillah, aku pasti bisa,” ucapku lirih dengan mengepalkan tangan.
***
“Umi! Umi!” teriak sahabatku sambil berlari menuju ke
kamarku.
“Apa, sih, Ris? Bikin kaget saja, orang lagi tidur juga,” ucapku kesal melihatnya membuka pintu kamar,
kenyenyakan tidur siangku terganggu.
“Kamu sudah lihat pengumuman beasiswa?” tanyanya
kegirangan.
“Belum,” jawabku singkat. Aku memang tahu hari ini adalah
pengumumannya,
tetapi aku bahkan belum ada keberanian untuk melihat hasilnya. Takut akan
mengecewakan. Namun, ternyata Risma lebih dulu melihatnya.
“Kamu lulus, loh,Mi,” ucapnya memperlihatkan hasilnya padaku.
“Ah, serius?” tanyaku tak percaya. Benar ternyata. Di
antara deretan daftar nama yang lulus, ternyata ada namaku. Aku langsung sujud syukur dan memeluk erat sahabatku.
***
Beberapa hari setelah pengumuman kelulusan beasiswa,
ternyata aku harus pindah ke asrama kampus. Sebagai penerima beasiswa, aku memang harus tinggal di asrama. Itu berarti aku
harus berpisah dengan sahabatku. Meski dengan berat hati, tetapi aku tetap
harus pindah. Aku sempat bertanya-tanya, siapa lagi yang akan membangunkan aku saat pagi? Siapa
lagi yang akan mengingatkan aku salat? Siapa lagi yang akan beri aku nasihat? Rasanya aku tidak bisa jika tanpa Risma. Ya, sekalipun kita satu kampus, tetap saja rasanya pasti akan jarang bertemu karena
kesibukan masing-masing.
Ia berpesan padaku untuk bisa belajar mandiri dan mengingatkanku agar berubah menjadi lebih
baik lagi. Meski awalnya tak terima, aku pun bisa terbiasa. Hingga saat ini, aku tak henti mensyukuri nikmat memiliki sahabat
dalam taat. Aku berharap persahabatan ini tidak hanya di dunia, tetapi sampai ke jannah-Nya. Insyaallah.
TENTANG PENULIS
Umi Kulsum, mahasiswi di Kampus IAIN Kendari. Ia memiliki hobi membaca buku sejak bangku SD. Menjadi seorang penulis merupakan salah satu dari mimpi-mimpi besarnya. Mau sharing? Kenalan? Pembaca bisa menghubungi melalui Instagram-nya, yaitu @umi._.kulsum.
Posting Komentar