[CERPEN] Seandainya Saja …
“Apa
yang mau kita tulis di sini?” tanya Anggun, sesaat setelah Vania memberikannya
selembar kertas dengan motif Hello Kitty―kartun kesukaan Anggun―di bagian atas dan
sebuah pulpen bertinta biru.
“Nanti
kita sama-sama tuliskan apa harapan kita ke depannya, ya. Terserah, deh,
tentang apa. Mau untuk persahabatan kita juga boleh,” jawab Vania yang kini
mulai menulis.
“Aku
boleh lihat punya kamu?” Anggun kembali bersuara. Anak perempuan berusia tujuh
tahun itu memiringkan sedikit kepalanya untuk melihat apa yang dituliskan oleh
sahabatnya dari bayi tersebut. Bahkan, mungkin, dari dalam kandungan.
Mengingat, kedua ibu mereka saling bersahabat.
Keduanya
tumbuh bersama sedari kecil. Rumah mereka bahkan bersebelahan. Tidak jarang,
mereka juga makan di piring yang sama jika Vania dititipkan di rumah Anggun
ketika mama Vania sedang sibuk membuat kue pesanan dari orang-orang desa yang
sedang mengadakan pesta besar-besaran.
Melihat
pergerakan Anggun, Vania secepat kilat menutupi sebagian kertasnya dengan
menggunakan tangan. “Eits, enggak
boleh. Ini namanya rahasia.”
“Rahasia?”
Anggun membeo.
“Ih,
Anggun. Kamu enggak pernah lihat yang di TV itu, ya? Mereka menuliskan harapan
mereka di kertas, lalu digulung, dimasukin ke botol ini.” Vania mengangkat dua
buah botol kaca yang telah dia minta dari sang Ibu. “Lalu, mereka kubur di
dalam tanah. Mereka baru baca buka suratnya sama-sama setelah mereka dewasa.”
Penjelasan
Vania terasa begitu berat untuk dicerna oleh Anggun. Dari segi kemampuan dalam
memahami sesuatu, Vania memang lebih tanggap. Berbanding terbalik dengan Anggun
yang sedikit lambat dalam memahami sesuatu.
Meskipun
tidak begitu memahami maksud dan tujuan sahabatnya, Anggun tetap melakukan apa
yang diperintahkan Vania. Dia membuka tutup pulpen, kemudian mulai menggoreskan
tinta biru ke atas kertas.
“Aku
udah selesai,” ujar Vania seraya mengangkat kertasnya tinggi-tinggi. “Kamu udah
selesai belum, Anggun? Lama banget, sih.”
Anggun
yang merasa terdesak, buru-buru menyelesaikan tulisannya, tidak ingin
membiarkan Vania menunggu lebih lama. Setelah selesai, Anggun membaca kembali
sekilas apa yang telah dia tuliskan.
“Aku
juga udah,” kata Anggun.
“Sekarang,
kertasnya digulung,” ujar Vania.
Vania
kemudian memberikan satu buah botol kaca miliknya kepada Anggun dan memberikan
intruksi agar Anggun memasukkan gulungan kertas tadi ke dalam sana.
“Kalau
udah, sekarang waktunya kita kubur,” seru Vania. Anak perempuan dengan rambut
sebahu itu menggali tanah dengan sekop kecil yang juga dia pinjam dari ibunya
yang suka berkebun. Tidak begitu dalam. Namun, setidaknya cukup untuk menampung
dua buah botol kaca di dalamnya.
Vania
terlebih dahulu memasukkan botol kaca miliknya ke galian tanah tersebut.
Kemudian, disusul oleh Anggun. Setelah itu, Vania meratakan tanah bekas galian
untuk menutupi semua permukaan botol supaya tidak ada satu orang pun mengetahui
keberadaan botol-botol tersebut di sini.
“Beres,”
ujar Vania menepuk-nepuk tangannya yang kotor terkena tanah. “Ayo, kita pulang.
Nanti Ibu nyariin kita,” katanya kepada Anggun.
Anggun
mengekori Vania yang berjalan di depannya. Sejenak mereka menoleh ke belakang,
ke tempat penguburan botol berisi harapan tadi. Tepatnya, di bawah pohon mangga
yang tumbuh di tepian lapangan dekat rumah.
“Vania,
kenapa ada mobil di depan rumah kamu?” tanya Anggun ketika melihat sebuah mobil
merah menyala dan pick up berada di
depan rumah Vania.
“Aku
enggak tahu. Aku tanya Ibu dulu.” Vania kemudian berlari meninggalkan Anggun.
Saat
hendak menyusul, Anggun dipanggil oleh ibunya untuk kembali ke rumah. Maka dari
itu, Anggun mengurungkan niatnya. Memilih mengintip pergerakan di rumah Vania
dari balik jendela ruang tamu.
Sementara
itu, di rumah Vania. Vania dengan bersusah payah membawa dua buah boneka besar
miliknya untuk masuk ke dalam mobil. Setelah mendapatkan penjelasan dari ibunya
bahwa keluarganya akan pindah dan tinggal di kota, Vania senang bukan main.
Sebab, dirinya ingin tinggal di kota-kota besar seperti yang ada di siaran
televisi yang sering dia tonton. Hidup di rumah mewah dan menggunakan pakaian
cantik. Vania tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya akan menjadi
seorang princess nantinya.
“Barang-barang
kamu udah dibawa semua, Vania? Enggak ada yang ketinggalan?” tanya Saras, ibu
Vania.
“Enggak
ada, Bu.”
“Kalau
enggak ada yang ketinggalan lagi, ayo, kita berangkat. Nanti kemalaman,” sahut
Broto, ayah Vania.
Ketiganya
lantas menaiki mobil merah tadi. Sementara, barang-barang lainnya dibawa
menggunakan pick up.
Vania
terlalu bahagia akan tinggal di kota, hingga dia melupakan satu hal. Dirinya
tidak berpamitan dengan Anggun yang menatap nanar kepergian Vania di dalam
mobil tersebut.
“Vania
mau pergi ke mana, ya? Kok enggak ajak aku?” gumam Anggun.
Perjalanan
dari desa ke kota yang Vania pikir akan menyenangkan, ternyata tidak begitu.
Sebab, di tengah jalan, terjadi sebuah insiden yang menyebabkan Vania mengalami
amnesia yang membuatnya lupa akan kehadiran beberapa orang di hidupnya.
Termasuk ... Anggun.
***
Sepuluh
tahun setelahnya.
“Bu,
kenapa kita ke sini? Ini desa siapa?” tanya seorang gadis dengan dress lengan pendek berwarna peach kepada wanita yang ada di
sebelahnya. Dari sekian banyak destinasi
wisata, dia heran. Kenapa ibunya malah mengajak pergi ke desa di liburan
semester seperti ini?
“Ini
desa kita, Vania. Dulu, sebelum pindah ke kota, kita pernah tinggal di sini.”
“Kita
pernah tinggal di sini?” gumam Vania.
Saat
Saras pergi untuk menyapa orang-orang di desa, Vania menjelajahi desa
sendirian. Langkah-langkah kecil membawanya ke lapangan yang ada di dekat sana.
Dari
banyaknya pohon yang tumbuh di sekeliling lapangan, Vania mendapati sebuah
pohon mangga yang tumbuh subur. Vania tidak terlalu menyukai buah mangga.
Namun, entah atas dasar apa, Vania berjalan mendekat ke sana, lalu berteduh di
bawahnya. Kedua kaki Vania berpijak di atas tanah yang sedikit terasa janggal.
Karena penasaran, Vania menggali tanah tersebut menggunakan patahan kayu yang
tidak terlalu tebal. Hingga suara benda berbahan kaca terketuk dan terdengar
oleh Vania.
Vania
buru-buru mengeluarkan isi di dalamnya. Dua buah botol kaca yang ….
Vania
menyentuh bagian pelipis, memijatnya sedikit kala merasakan pusing mulai
melanda. Akan tetapi, Vania mencoba mengabaikannya dan fokus dengan dua botol
kaca yang ternyata berisi gulungan kertas. Vania membuka tutup botol dan mulai
membaca isi tulisan di dalamnya.
Botol
pertama.
Halo, aku Vania.
Aku pengin banget tinggal di kota. Aku bosan tinggal di desa. Semoga, suatu
saat aku bisa pergi ke kota.
“Vania?
Apa ini ….” Vania memberhentikan kalimatnya, buru-buru membuka botol kedua.
Botol
kedua.
Hai, aku Anggun.
Aku enggak punya harapan. Aku hanya ingin bisa bersahabat sama Vania
selama-lamanya.
“Anggun.”
Satu
nama yang terucap dan berhasil membuat pusing di kepala Vania kembali mendera.
Dengan sekuat tenaga, Vania kembali mencari ibunya yang tadi berada di dekat
warung dengan membawa kedua surat tersebut.
“Kenapa,
Vania? Kenapa kamu berlari seperti itu?”
Pertanyaan
tersebut tidak dihiraukan oleh Vania. Vania menyodorkan dua lembar kertas
tersebut kepada Saras dan langsung dibaca olehnya.
“Ini
….”
“Aku
punya sahabat di desa ini, ya, Bu?” tanya Vania, “Kenapa aku enggak tahu?”
Saras
terdiam cukup lama, sebelum desakan dari Vania membuatnya bersuara. Saras menjelaskan
tentang kejadian yang menimpa putrinya itu 10 tahun lalu, juga tentang siapa
Anggun. Perlahan, Vania merasakan bahwa dia mendapatkan kembali ingatannya
tentang Anggun.
“Ibu
enggak mau ngelihat kamu kesakitan karena mencoba mengingat apa yang ada di
masa lalu, Vania.”
“Lalu,
di mana Anggun sekarang? Di mana rumahnya? Vania ingin ketemu sama Anggun, Bu,”
pinta Vania.
Mendengar
itu, Saras tersenyum kecil, lantas mengelus kepala Vania. “Setelah tadi Ibu
tanya sama Bu Wati, yang buka warung, katanya orang tua Anggun udah lama pindah
dari sini.”
“Kalau
gitu, kita masih bisa mencari Anggun, kan, Bu?”
“Mungkin,
orang tuanya bisa. Tapi, Anggun … Anggun sudah meninggal, Sayang. Dia meninggal
tepat sehari setelah kepindahan kita ke kota. Tertabrak mobil.”
Pernyataan
dari Saras membuat benteng pertahanan Vania runtuh. Air matanya mengalir dengan
begitu deras.
Ini semua salahnya. Seandainya, waktu
itu, dia sempat berpamitan kepada Anggun. Seandainya saja, dia tidak pindah ke
kota. Maka, mungkin, keduanya masih bisa bersahabat hingga sekarang … atau
bahkan selama-lamanya seperti harapan Anggun.
TENTANG PENULIS
Vallencia. Mahasiswi Pendidikan Matematika yang lebih suka menulis dibanding menghitung luas daerah menggunakan integral lipat. Gadis berzodiak Pisces yang satu ini suka galau dan berceloteh di samping hobi menulisnya. Kalian bisa menemukannya aktif di medsos: Instagram @vallsnation dan @vallenciazhng_, Wattpad @vallenciazhng_,
Posting Komentar