[CERPEN] The Secret of Lily
Hari itu akan selalu terkenang. Kejadian besar yang mengungkap rahasia kelam. Enam belas Maret 2022, warga Desa Ngalir yang terletak di lereng Gunung Merapi digegerkan oleh penemuan mayat laki-laki tanpa busana. Tidak hanya itu, tubuhnya tak lagi utuh. Organ tubuhnya hilang, matanya hanya tersisa satu, kaki dan tangannya pun tak utuh.
Mayat yang diperkirakan meninggal tiga hari lalu itu diketahui bernama Raden Mahendra. Putra
tunggal keluarga Mahendra yang menghilang sejak seminggu yang lalu. Tak ada
yang pernah menyangka jika laki-laki itu akan meninggal dengan cara setragis
ini.
“Tidak mungkin dia meninggal begitu saja, Ayah!”
teriak Lilyana Rajasa. Putri bungsu keluarga Rajasa sekaligus kekasih dari
Raden Mahendra.
“Tes DNA dari rumah sakit telah membuktikan jika mayat
itu Mahendra, Nak,” jelas Arya Rajasa, ayah dari Lilyana Rajasa sekaligus kepala keluarga
Rajasa.
“Tidak mungkin, Ayah!” tangis Lily pecah. Air matanya
mengalir deras. Luka batin yang menyesakkan membuatnya hilang kesadaran. Tubuh
tinggi nan ramping itu terkulai lemas dalam pelukannya ayahnya.
“Lily!” teriak Citra Rajasa, ibu gadis itu.
***
“Pemakaman Raden Mahendra akan dilakukan esok hari,
Tuan,” ucap Tirto, ajudan keluarga Rajasa kepada Arya.
“Terima kasih untuk informasinya,” balas Arya.
Keluarga Rajasa memang terkenal baik dan sopan kepada siapa
pun termasuk ajudan dan pembantu mereka.
“Baik, Tuan!”
“Apakah mereka akan memakamkan Mahendra dalam keadaan
seadanya? Apa mereka tidak mau mencari anggota tubuhnya yang lain?” tanya Citra
kepada Tirto.
“Mereka tetap akan mencari anggota tubuh yang lain,
Nyonya. Namun, untuk saat ini, mereka akan menguburkan anggota tubuh yang ada agar
tidak semakin menyiksa keluarga dan Mahendra sendiri,” jawab Tirto.
“Memang lebih baik seperti itu. Kau boleh kembali,
Tirto!” ucap Arya.
“Baik, Tuan! Saya permisi keluar.”
***
“Lily?” tanya seorang wanita paruh baya kepada Lily.
“Tante Ambar!” balas Lily sambil berlari menuju wanita
itu. Dipeluknya wanita itu erat. Tangis keduanya pecah, air mata yang berusaha
ditahan lepas bebas tanpa permisi. Wanita itu adalah ibu Raden Mahendra, Ambara
Restu Mahendra.
“Masuklah!” ucap Rama Panji Mahendra, “tenangkan diri kalian di dalam, biar aku dan Arya yang
mengurus semuanya di sini,” tambah Rama.
“Tolong temani mereka, Sayang,” pinta Arya kepada Citra.
“Baik, Sayang!” balas Citra. Ketiganya melangkah masuk ke
dalam rumah Mahendra. Tangis Ambar dan Lily tak juga reda. Sesak di dada mereka
begitu menyakitnya. Kehilangan Mahendra adalah mimpi terburuk yang menjadi
nyata.
“Kalian harus ikhlas! Kasihan Mahendra jika kalian
seperti ini,” ucap Citra mencoba menenangkan putri dan sahabatnya.
Pemakaman telah selesai. Pencarian anggota tubuh
Mahendra yang lain terus dilakukan hingga sebulan kemudian. Namun, pencarian
itu tak membuahkan hasil yang memuaskan. Hanya sepotong kaki kanan yang dapat
ditemukan, sedangkan
bagian yang lain hilang tanpa jejak. Entah telah dimakan hewan buas, atau
dikubur oleh pelaku pembunuhan.
Bahkan, pelaku pun tak dapat ditemukan. Tak ada
petunjuk yang dapat mengarahkan mereka kepada sang pembunuh keji itu. Semua
terasa buntu. Tak ada yang dapat dilakukan, selain menunggu hasil pada proses
pencarian berikutnya.
***
Aroma darah menguar di setiap sudut bangunan. Puluhan
mayat tergeletak tak beraturan. Organ tubuh yang tak lagi pada tempatnya.
Menghilang tanpa tahu siapa yang mengambilnya. Hewan-hewan kecil mulai
berdatangan, memakan bangkai manusia yang mulai membusuk termakan waktu.
“Bersihkan semuanya!” ucap Lily kepada ajudannya.
“Baik, Nona!” jawab Tirto.
“Target telah ditemukan, Nona!” ucap Ratih, orang
kepercayaan Lily.
“Bawa dia ke sini nanti malam!” titah Lily sembari berlalu pergi.
***
“Semuanya sudah siap, Nona,” ucap Ratih saat melihat Lily kembali ke bangunan itu.
Semua telah dipersiapkan dengan matang. Malam yang panjang akan dilalui mereka
dengan penuh cerita.
“Lepaskan aku!” teriak seorang laki-laki yang terikat
di sebuah tiang tinggi. Matanya tertutup kain hitam. Tubuhnya yang tinggi dan
kekar bertelanjang dada. Darah segar mengalir deras dari pelipis kirinya.
“Buka penutup matanya!” titah Lily. Tirto pun membuka
penutup mata pria itu. Membiarkan cahaya lampu menyingkap gelapnya pandangan
mata yang tertutup entah sejak kapan.
“Lily?” tanya pria itu.
Tak ada jawaban. Hanya tatapan tajam dan raut wajah
yang tak terbaca. Udara yang dingin dan lampu yang redup menambah kesan horor
yang membuat bulu kuduk meremang. Mulutnya terkatup rapat. Tak ada satu patah
kata
pun yang keluar. Gadis itu diam seribu bahasa.
“Apa yang kau lakukan di sini, Lily? Apa mereka juga
menculikmu?” tanya Mahendra khawatir. Namun, tak juga ada jawaban. Gadis itu
terus melangkahkan kakinya. Menghantarkan tubuh tinggi nan ramping miliknya
kepada sosok laki-laki itu.
“Lepaskan kami! Apa yang sebenarnya kalian inginkan,
hah?” teriak laki-laki itu memohon untuk dilepaskan. Lily yang hilang kesabaran
menampar laki-laki itu dengan sangat keras.
“Diamlah! Aku tidak ingin kau mati dengan mudah karena
menghabiskan energi untuk berteriak tidak jelas,” ucap Lily dingin.
“Apa maksudmu, Lily?” tanya laki-laki itu.
Tak ada jawaban. Gadis itu melangkah menuju meja di
samping laki-laki itu. Menyetuh setiap pisau yang terletak di sana. Ada
berbagai macam pisau dari mulai besar hingga kecil, tajam hingga tumpul.
“Kau mau pilih yang mana? Besar atau kecil? Tajam atau
tumpul?” tanya Lily kepada laki-laki itu dengan seringai mengerikan dan suara
dingin yang mencekik.
“Apa yang kauinginkan, Lily?” teriak laki-laki itu.
“Bersenang-senang denganmu, Mahendra!” ucap Lily.
Tak lagi ada percakapan di antara keduanya. Mahendra
dia membeku mengerti isyarat yang diberikan oleh Lily. Tangan lentik nan putih
Lily menari di atas deretan pisau, memilih mana yang hendak ia gunakan untuk
bersenang-senang. Hingga matanya jatuh pada satu pisau kecil nan tajam. Diambilnya
pisau itu dan memainkannya di atas tubuh Mahendra, dari sayatan kecil hingga
besar.
“Aku ingin bersenang-senang sebentar. Tenang saja, aku
tidak akan memperlama permainannya. Aku akan membuatnya sebentar, karena kau
adalah orang yang mencintaiku.”
Suara itu begitu dingin, kehangatan yang selama ini
dirasakan oleh Mahendra dari Lily hanyalah tipu muslihat. Saat ini, Mahendra
tengah dihadapkan pada sosok Lily yang sebenarnya. Sang pembunuh berdarah
dingin yang membunuh orang lain demi kesenangan pribadi.
Permainan terus dilanjutkan. Teriakan kesakitan dari
mulut Mahendra tak menghentikan niat Lily untuk tetap bersenang-senang. Pisau
kecil nan tajam itu terus menari di setiap jengkal tubuh Mahendra. Sayatan
lebar dan dalam di bagian dada Mahendra memuncratkan darah segar ke arah wajah
Lily. Gadis itu tak jijik, apalagi takut. Justru menjilatnya dan tersenyum penuh
arti ke arah Mahendra.
“Darahmu manis juga, Sayang!” ucap Lily membuat Mahendra tak percaya.
Pisau itu dilemparnya kesembarang arah. Tangan yang
telah berlumuran darah, meraba sayatan di dada bidang Mahendra. Merobeknya
dengan kasar dan memasukkan tangannya ke dalam rongga dada yang terlihat.
Jantung yang berdenyut tak karuan terpampang jelas di mata Lily. Tangan mungil
itu terus masuk, hingga perlahan menyentuh jantung Mahendra.
“Bunuh aku sekarang, Lily,” ucap Mahendra lemas.
“Sebentar lagi, Sayang! Aku masih ingin bermain sebentar,” balas Lily.
Tangannya yang telah menyentuh jantung Mahendra tak tinggal diam. Memainkannya
sesuka hati, meremasnya dengan lembut dan kasar, hingga membuat sang pemilik
berteriak kesakitan.
Merasa bosan, Lily berjalan ke arah meja dan mengambil
pedang panjang. Diarahkannya pedang itu ke kaki Mahendra. Menebasnya dengan
sekali tebasan. Darah segar mengalir desar. Berganti dengan pisau biasa, Lily
memotong kedua tangan Mahendra perlahan. Menghantarkan rasa sakit yang tak
tertahankan.
“Hah, aku sudah lelah. Kini saatnya kita akhiri semua
permainan ini, Sayang!”
ucap Lily dingin dengan senyum manis di bibirnya.
Tangannya kembali ia masukkan ke rongga dada Mahendra.
Meremas dengan kasar dan lembut jantung laki-laki itu. Memainkannya tanpa
perasaan.
“Ada kata-kata terakhir?” tanya Lily.
“Aku mencintaimu, Lilyana Rajasa!” ucap Mahendra.
“Aku mencintaimu juga, Raden Mahendra!” balas Lily.
Tangannya makin kasar memainkan jantung Mahendra. Hingga pada puncaknya, Lily
menarik kasar jantung itu hingga terlepas dari tempatnya.
Posting Komentar