[CERPEN] Siapa yang Sudah Mencuri Bibirku?
Pada
keremangan malam sembari ditemani sayup dari sejumlah binatang pengisi sunyi,
terdapat seorang pendongeng yang sedang numpang
nginap di salah satu pemukiman warga, di sebuah desa yang berjarak cukup
jauh dari jalan besar dan saat petang merayapi guratan langit hanya menyisakan
4-5 pemuda yang meronda, tukang nasi goreng, serta tukang sekoteng sibuk
berkeliling dari dusun satu ke dusun lainnya. Kala itu sang pendongeng ditemani
seorang gadis 17 tahun berkulit kuning langsat yang merasa kesepian karena
ayahnya belum pulang dari balai desa, pula sang ibunda sedang khidmat tahlilan,
dan lelaki kurus namun jangkung serta berkacamata itu merasa harus
mempersembahkan sebentuk balas budi, meskipun sederhana, untuk si tuan rumah,
maka mulai berdongenglah ia.
“Apa kau ingin dengar sebuah dongeng
pengantar tidur dariku?” tanya si pendongeng dengan raut bijak sembari mengulum
senyum tipis.
Si gadis berwajah polos yang masih
sibuk dengan majalah fashion di
tangan seketika menoleh dan menyambut santai. “Hm, boleh juga. Ceritanya harus
yang seru, ya.”
Inilah cerita yang dituturkannya…
***
Aku
baru tersadar bahwa ada satu anggota tubuh hilang ketika kembali pulang dari
nyenyak bawah sadar, tanpa sepengetahuanku dan aku tak tahu kapan kejadiannya.
Bibir indahku, yang menjadi pusat dari bingkai pesona diriku sejak 47 tahun
yang lalu, tepat ketika usia menginjak angka 18, benar-benar hilang sepenuhnya.
Tanpa bekas semacam sobekan atau jahitan. Selama ini tak ada yang terlihat
spesial di bagian tubuh lainnya seperti, mata, hidung, telinga, pipi,
jari-jemari, lengan, pinggul, bokong, maupun lingkar dadaku, mereka hanya
menjadi penyokong dari kelengkapan struktur tubuh perempuan yang didesain
sesempurna mungkin oleh Sang Agung. Memang hanya bibir itu, bibir yang sengaja
kubuat agar senantiasa tampil indah merekah, basah meski tak selalu setengah
terbuka[1],
dan membuat berlusin lelaki bergairah karenanya. Buncah imaji mereka seperti
hendak merenggut dan memamah kepadatan bibirku.
Tidak
terkecuali si lelaki itu. Lelaki agak tambun namun tingginya 12 cm di atasku,
berkacamata, berjanggut tipis, berhidung lebih mancung, serta berkulit sawo
matang dan sedikit beruban pada bagian belakang rambutnya. Lelaki yang selalu
datang mengusik penglihatan dan perasaanku pada hari Sabtu dan Minggu. Lelaki
yang sudah kuanggap seorang kawan dekat meskipun identitasnya tak pernah
benar-benar lekat di kepalaku. Apa mungkin dialah pencurinya? batinku
gamang.
Saat
hari itu datang, Sabtu yang cukup terik, aku putuskan untuk menanyakan kepada
si lelaki pengganggu, dengan bahasa yang lain. Semoga dia mengerti. “Apa kau
tahu di mana keberadaan bibirku?” tanyaku melalui isyarat tangan.
Sejenak
ia sempat terdiam dan menunjukkan raut bingung, tapi kemudian menyahut, “Aku
tak tahu yang kau maksud.” Meski jawabannya menyebalkan, tetap ada kelegaan
karena ia memahami gerakan yang kuciptakan.
“Kau
tak melihat sekarang wajahku yang kini tanpa bibir ini? Memangnya kau
benar-benar tidak tahu siapa yang sudah mencurinya dariku?”
“Yang
pasti bukan aku. Meskipun aku mengagumi keindahan dan kesegarannya, tapi tak
mungkin aku berbuat setega itu. Aku benar-benar tak tahu siapa pelakunya.”
Tangan
si lelaki pengganggu kemudian mengambil sesuatu dari dalam totebag dan mengeluarkan beberapa barang. Dua kotak bekal makanan
lengkap dengan nasi dan lauk-pauk, susu murni kemasan, kopi hitam instan
kemasan, sementara ia juga mengangsurkan sebuah antologi cerpen dan tiga
tangkai kembang lavender yang terbungkus dalam ranselnya. Sebelum dimasukkan ke
dalam pot kaca dan mengganti isinya, kusempatkan untuk mencecap kewangiannya.
Kembang yang mengesankan.
“Mengapa
kau selalu membawakanku lavender dan hanya tiga tangkai? Kau hendak merayuku,
ya?”
Nasi
merah berikut irisan semur daging dan potongan wortel urung menyambangi rongga
mulutnya. Sepasang mata besar namun teduh miliknya lurus menyoroti wajahku,
entah apa yang hendak dicarinya. “Seperti yang pernah kukatakan di minggu lalu;
satu tangkai untuk seluruh pesona yang terbentuk pada dirimu, termasuk bibirmu,
satu sebagai rasa tulusku padamu, dan satunya lagi adalah wujud persembahan
cinta kita untuk Yang Maha. Tentunya kau masih ingat, kan?”
Baris
alisku mengernyit heran. “Sebentar! Kau bilang, rasa tulus? Cinta? Aku tidak
merasa begitu. Memangnya kau sungguh cinta padaku? Hey, Tuan, aku masih ingat,
kita berdua bukanlah siapa-siapa! Apa kau sudah mulai tidak waras dengan
pemikiran seperti itu?” hardikku tegas, membuat seluruh urat di wajahku
menegang kuat. Aku kembali fokus dengan kotak bekal.
“Sebelum
maut hadir di hadapan kita, keabadian cinta akan selalu lekat dalam jiwa.”
Tiba-tiba ia menukas seperti itu di hadapanku dan, entah mengapa, perkataannya
seketika sanggup membuat syaraf otakku berdentam lebih cepat. Kepalaku mulai
pusing dan seisi ruangan mendadak berputar terbalik. Kotak bekal di tangan pula
jatuh ke tanah, berceceran. Mulutku ingin menjerit, namun aku segera sadar,
bibir yang indah itu menghilang tanpa jejak.
Kata-kata
darinya seperti terdengar jauh dari waktu lampau, tersamar aku mengingatnya,
namun siapa pemilik kata-kata itu? Lalu, siapa gerangan lelaki ini?
***
Satu
minggu setelah itu, kini di hari Minggu yang sedikit mendung, ia benar-benar
kembali mendatangiku, pasti selalu dihiasi sesimpul senyum halus di balik wajah
manisnya. Di setiap kesempatan, kudapati tanda kehadiran sosoknya melalui sorot
pandang yang terbingkai cerlang atau langkah tegap nan mantap menuju ke arahku.
Saat itu masih kutanyakan hal yang sama seperti minggu lalu, dengan bahasa
mata.
“Sudah kau temukan di mana bibirku
yang hilang?”
Kepalanya menggeleng lemah.
“Sayangnya belum. Mungkin keberadaannya sudah tiada dan entah bermuara ke mana.
Tempat tinggalku begitu jauh dan aku sama sekali tidak tahu peristiwa awal saat
ia pergi menghilang.”
“Ah, kenapa secepat itu kau
menyerah? Mau coba ingkar janji padaku?”
“Bukan begitu maksudku, tapi
orang-orang di luar sana pun sudah tidak mau membantu, eh, malah menyangka aku yang
tidak waras. Sudah kuusahakan dengan tenaga, pikiran, dan strategi buatanku
sendiri, tapi mau bagaimana lagi, jejak hilangnya bibirmu itu sukar ditemukan,”
lelaki itu sempat terdiam, namun kembali menyahut, “Ah, begini saja, bagaimana
kalau kucarikan bibir pengganti? Kebetulan karena aku kenal dan cukup dekat
dengan para aktris, dan rata-rata dari mereka memang mempunyai bibir yang tak
kalah indah bahkan ada yang tipenya sama seperti milikmu, tinggal kau katakan
saja. Nanti bisa kucarikan, tenang saja.”
“Bibir mereka memang indah, tapi,
apakah benar cocok untukku? Apa mereka tidak marah jika bibirnya direnggut?
Bagaimana pun, itu adalah aset berharga bagi kariernya.”
“Itu bisa diatur, yang penting, kau
ingin bibir seperti apa?”
Tanpa pikir panjang lagi, lewat
beberapa kedipan, kusebutkan sebuah nama aktris yang sejak muda menjadi lambang
kekagumanku dan sempat pula tertanam sepotong angan ingin menjadi dirinya. Aku
masih ingat, struktur, ukuran, dan ketebalan bibirnya begitu persis dengan
kepunyaanku.
“Apa kali ini aku bisa memegang
janjimu?”
“Sungguh, aku akan membawakannya
untukmu. Bulan depan ia akan terlibat sebuah project film yang kusutradarai sendiri. Nantinya bisa
kukomunikasikan dengan manajer pribadi, asisten sutradara, dan produser
eksekutif untuk membujuknya agar ia berkenan untuk meminjamkannya kepadaku
barang satu bulan. Tidak apa-apa, kan,
jika sekadar meminjam?”
Aku mengedipkan mata kanan sebagai
tanda setuju. Yah, walaupun bibir yang kuidamkan itu hanya sebagai barang
pinjaman, aku masih merasa bersyukur, karena lelaki itu tetap ingin menepati
janjinya. Harapku, semoga itu benar-benar terwujud. Aku jadi tak sabar!
“Oh, ya, sepertinya sejak awal
pertemuan, kita belum berkenalan. Namaku Dilla. Boleh tahu namamu?” sebelah
tanganku terulur padanya, namun seketika wajah dan gerak tubuhnya beku tak
bergeming. Uluran tulusku tak disambutnya, malah linangan bening deras meluap
dari pelupuk mata, membasahi kedua pipi hingga menuruni lehernya.
***
Sebulan
bergulir tanpa aku sadari. Mungkin saat ini pula aku sudah hampir melupakan
sosok itu pula dengan janjinya, jika di hari Selasa pagi terdapat seorang
lelaki asing kembali menemuiku, setelah beberapa menit harus menyusuri lorong
dan kelokan menuju keberadaanku. Lelaki kurus dan berambut keperakan itu
mengaku sebagai asisten sutradara film, salah satu orang yang cukup akrab
dengan si lelaki pengganggu yang sampai saat ini belum kuketahui namanya. Ia
mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin diberikan untukku, katanya, sebuah
benda yang selama ini dicarinya. Ah, ternyata si lelaki pengganggu itu tidak
berniat ingkar! Si asisten segera mengeluarkan benda seukuran kotak cincin tapi
sedikit agak besar, di dalamnya terdapat kertas putih yang terlipat dua lalu
dibungkus dengan plastik bening.
“Maaf dan hanya maaf yang bisa
kusampaikan melalui bingkisan yang mungkin sudah ada di tanganmu ini. Selama
ini aku berbohong. Ketika kau kebingungan dengan bibirmu yang hilang dan
jejaknya yang sulit terdeteksi, sebenarnya aku telah mencurinya diam-diam saat
kau tertidur pada Jumat sore. Aku memang lelaki bodoh dan begitu bernafsu ingin
menyimpan bibirmu lebih lama untuk kumasukkan dalam relung kalbu. Dan sekarang
memang waktunya untuk mengembalikan bibir berharga itu kepadamu. Meski sampai kapan
pun, kau tak mampu mengingat wajah dan namaku, tetapi aku bersyukur, setidaknya
kau selalu merasakan getaran di setiap kehadiranku. Salam sayang dariku selalu.
Anto Wiradjaya.”
Setelah melipat dan menyimpannya
kembali ke dalam kotak, aku merasakan adanya gumpalan degup yang ganjil meluap
dari dasar kedalaman jiwa. Pertanda apakah ini?
“Di mana lelaki itu sekarang?”
“Hm, dia…”
***
“Meninggal,
ya? Pergi jauh? Atau sudah mendapatkan cinta dari perempuan lain?
“Ah, kau memang terlalu blak-blakan, Santi,” sahut si
pendongeng, tertawa geli.
“Lantas, ke mana? Mengapa tidak dia
sendiri yang memberikan bibir itu?”
Si pendongeng mencondongkan
kepalanya ke arah si gadis. Ia menaruh sebelah tangan ke ubun si gadis kemudian
mengusapnya. “Seiring perjalanan waktu, kau pasti akan menemuinya. Aku yakin
itu.”
Pd. Gede, 19-24 Juli 2022
(*) dari dan untuk: KS, SM, dan MW
(**) Cerpen ini pernah berada di
peringkat 28 FCCN 2022 funbahasa
BIONARASI
Pemuda asli Semarang yang tinggal di Bekasi ini lahir setahun sebelum Orde Baru tumbang. Nyemplung di dunia kepenulisan saat SMP, manuskrip perdananya cerpen 5 halaman di kertas HVS. Hobi melahap segala fiksi, mendengarkan musik lawas, berburu lomba, dan menggurat karya yang membuncah di kepala. Jika ingin menyapa, colek saja di @faktaputra97.
[1]
Dikutip dari salah satu judul cerpen Bibir
yang Merah, Basah, dan Setengah Terbuka karya Seno Gumira Ajidarma
Posting Komentar