[CERPEN] Sore Tugu Pancoran
Budi adalah anak yatim piatu yang hidup di jalanan. Lelaki bertubuh gempal itu hidup sebatangkara di pinggiran ibu kota. Semenjak kedua orang tuanya meninggal, Budi tak punya tempat tinggal. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Budi terpaksa mencari uang dengan cara mulung.
Sore menjelang magrib, Budi setor barang bekas kepada pengepul. Walau
hasilnya tak seberapa, itu cukup untuk membeli makan agar perutnya tak
kelaparan. Saat
hari mulai gelap,
Budi mencari tempat yang teduh untuk dia bermalam, biasanya beristirahat di masjid, kolong jembatan, atau di depan emperan toko. Tak jarang, Budi disiram pemilik toko yang tidak suka dengan
gelandangan yang tidur di depan tokonya.
Setiap hari, Budi tidur beralaskan koran atau kardus. Hidup
seperti itu sudah dia jalani bertahun-tahun. Malam ini, Budi hanya mendapatkan uang lima ribu rupiah dari hari
hasil seharian mencari barang bekas. Mungkin cukup untuk membeli nasi dan lauk
tempe. Budi tak pernah membayangkan makan mewah. Baginya, perut terisi saja sudah bersyukur.
Budi berdiri lama mematung di
depan sebuah warteg. Dia memikirkan apa yang harus
dilakukan dengan uangnya itu. Jika dibelikan nasi, uangnya akan habis.
Namun, jika tak di belanjakan, dia akan kelaparan.
“Permisi, Bu, nasinya masih ada?”
“Masih, Adek, mau makan ?” tanya Ibu pemilik warteg ramah.
“Lima ribu cukup buat apa ya, Bu? Kebetulan uang saya hanya tinggal ini”
Wanita pemilik warung nasi hanya tersenyum, lalu
bergegas menyiapkan nasi dan lauknya.
“Ini ambilah.” Wanita paruh baya itu menyerahkan sebungkus nasi
beserta sekantong plastik air teh untuknya. Budi menyodorkan selembar uang
kertas yang sedari tadi dia pegang. Namun, wanita itu menolaknya.
“Simpan saja uangmu, Nak, mungkin kamu akan membutuhkanya nanti.”
“Terima kasih, Bu.” Budi membungkukkan badanya sebagai tanda terima kasih.
Di dalam hatinya, dia tersenyum bahagia dan merasa tersentuh. Ternyata masih banyak orang baik di ibu kota ini.
Budi singgah di area pertokoan yang sudah tutup. Budi
teliti sekeliling, dia mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat malam ini.
Hari sudah larut hingga jalanan terlihat sepi dan lengang, hanya sedikit
terlihat orang berlalu-lalang. Budi mendongak ke atas, melihat langit gemerlap oleh bintang-bintang. Sejenak dia terdiam, pikiranya menerawang jauh ke masa lalu, di
mana dia bahagia tinggal bersama ayah
dan ibunya. Meskipun mereka hanya tidur di atas gerobak,
tetapi kebersamaan membuat Budi merasa aman berada di
sisi kedua orang tuanya. Sekarang setiap menit, setiap detik, Budi harus berjuang sendiri. Tak ada yang memberinya
rasa aman, tak ada yang memberinya kasih sayang. Rasa takut dan kesepian selalu
merasukinya setiap hari. Takut tidak bisa makan, takut tidak bisa menemukan
tempat untuk tidur, dan takut dengan kejahatan yang selalu menghantuinya.
Budi duduk di depan teras sebuah toko, dia menggelar
kardus yang selalu dia bawa ke mana pun dia
pergi. Budi tidur berbantal tangan, tak ada selimut atau kain untuk menutupi
tubuhnya, tak ada rasa dingin, yang ada hanya rasa lelah setelah seharian
berjalan. Terlihat di depan toko lain pun banyak gelandangan tergeletak tidur.
Budi memejamkan matanya dan terlelap.
“Dek, bangun!” Tiba-tiba Budi dikagetkan oleh seseorang yang
membangunkanya. Budi mengangkat kepala, samar-samar jalanan sudah mulai ramai,
pertokoan sudah mulai buka. Terlihat para penjaga toko sudah mulai membersihkan
halaman toko. Sinar matahari pun sudah mulai meninggi dan bersinar terang. Lama perempuan yang
membangunkan Budi berdiri memperhatikan. Perlahan Budi merapikan sisa-sisa tidurnya. Sambil tersenyum, Budi mengangguk meminta maaf kepada pemilik toko.
“Adek kenapa tidur di sini?” Perempuan paruh baya itu bertanya dengan sangat ramah.
Budi hanya tersenyum ketir menjawab pertanyaan pemilik toko.
“Adek tidak punya rumah?” Budi mengangguk.
“Adek punya keluarga?” Budi menggeleng.
Perempuan paruh baya itu terdiam sejenak
lalu menarik napas panjang. “Kamu mau tinggal sama Ibu?” Budi terdiam, seolah tidak percaya dengan apa
yang dia dengar. Budi bingung harus menjawab apa, di
pikiranya tidak pernah sedikit
pun terlintas akan ada orang yang mau mengajaknya
untuk tinggal. Tidak tahu harus bagaimana caranya Budi bersyukur.
Budi berulang kali mengucapkan terima kasih.
“Mari ikut saya masuk.” Setengah berlari Budi mengikuti ke
mana perempuan itu pergi. Sembari jalan, mereka tidak
berkata satu patah kata pun. Lewati lorong kecil di dalam toko, Budi berjalan perlahan, persis di
belakang toko terdapat sebuah pintu besi yang sudah
sedikit usang. Namun, terlihat kokoh. Perempuan paruh baya itu membuka pintu dengan tangan
kanannya. Budi terpaku. Betapa terkejutnya ketika pintu itu terbuka. Ternyata
di
belakang toko tersebut terdapat rumah yang begitu
indah.
Rumahnya kecil. Namun, tertata rapi dengan berbagai hiasan bunga di
setiap sisinya. Di sebelah kanan terdapat kolam kecil yang jernih berisi ikan-ikan hias. Di sana juga terdapat gazebo, tempat untuk bersantai. Budi tak berhenti mengikuti
ke
mana perempuan itu pergi. Langkah perempuan paruh baya
itu terhenti di depan sebuah kamar yang berada persis di
belakang ruang tamu, samping kamar mandi.
“Ini kamarmu, tidurlah di
sini.” Perempuan itu mempersilakan Budi untuk masuk ke kamar
berukuran empat kali tiga meter. Di sana terdapat kasur busa yang dilapisi sprei motif
bunga berwarna hijau, dua buah bantal, dan satu guling serta selimut. Selama hidup di
jalanan,
tak pernah sekali pun
Budi merasakan tidur di atas kasur. Sekali lagi, Budi mengucap terima kasih.
Baru kali ini Budi memiliki kamar, berkasur busa,
berseprei,
dan berselimut. Ingin rasanya cepat-cepat dia merebahkan tubuh di atasnya. Baru
kali ini Budi bisa merasakan terbaring nikmat, tanpa perlu lagi mencari toko
atau kolong jembatan untuk dia bermalam, tak perlu lagi dia takut dengan hujan
dan dingin. Tanpa sadar, ternyata dari tadi perempuan itu memperhatikan tingkah Budi. Wajah Budi memerah karena malu.
“Kamu senang, Dek?”
“Senang sekali, Bu, selama hidup saya, saya belum pernah
tidur di atas kasur, Bu.”
Tak terasa air mata
perempuan itu jatuh membasahi pipi, seolah dia merasakan kepahitan yang selama
ini Budi rasakan.
“Maaf, Bu, saya harus panggil Ibu siapa, ya?”
“Panggil saja Bu Lam. Nama Adek siapa?”
“Saya Budi, Budi Kadarisman.” Kedua orang itu pun saling melemparkan senyum, seolah mereka menemukan
kebahagiannya masing-masing.
“Ini untukmu.” Bu lam menyodorkan satu stel pakaian untuk Budi.
Selesai mandi, Budi lekas berganti pakaian yang diberikan Bu Lam
tadi, pakaianya tampak
pas dan serasi dikenakan Budi, mungkin ini pakaian bekas anaknya.
Hari-hari Budi kini berganti, Budi tak lagi harus
menjadi pemulung untuk mendapatkan uang, dia juga tak harus tidur di emperan
toko. Budi
diminta untuk membantu Bu Lam di toko miliknya.
Setiap pagi, Budi harus bangun untuk membersihkan rumah dan toko,
menyapu juga mengepel lantainya. Sesekali juga Budi harus membersihkan kolam
ikan hias yang ada di depan rumah. Setelah selesai membereskan rumah, Budi akan membantu menjaga Toko Bu Lam. Toko itu
menjual berbagai keperluan sekolah, seperti tas, seragam, sepatu, dan juga buku. Bu Lam mengurus tokonya itu seorang
diri, suami dan anaknya telah lama meninggal karena kecelakaan. Untuk itu, Bu Lam hanya tinggal seorang diri. Beruntung kini ada
Budi yang sudi tinggal bersamanya. Rasa kesepian yang bertahun menyelimuti kini
terobati.
Bu Lam seolah memiliki semangat baru untuk terus hidup dan berjuang. Bu Lam menawarkan diri untuk menjadi orang tua angkat Budi. Budi tidak menolaknya. Budi merasa bahagia karena kini memiliki orang tua yang akan senantiasa melindunginya.
Note: Cerpen ini telah terbit dalam buku antologi berjudul "Bingkisan Kenangan" yang diterbitkan oleh Ufuk Literasi bersama Ufuk Media bersama 37 penulis lainnya.
TENTANG PENULIS
Nurman, lahir di Majalaya, Kabupaten Bandung pada 8 Maret 1986. Sekarang, menetap di Kota Tasikmalaya, dan bekerja sebagai guru di SMA Negeri 8 Kota Tasikmalaya. Penulis sangat menyukai kegiatan pramuka dan menulis. Beberapa kali menerbitkan buku antologi bersama Gol A Gong, Duta Baca Indonesia. Penulis bisa dikunjungi di medsos FB, IG, dan You Tube: Nurman Pribadi.