[CERPEN] Strangers
Jika ada yang menanyakan kepadaku apakah aku menginginkan perpisahan ini terjadi atau tidak, maka jawabanku adalah tidak.
Aku
tidak pernah sedikit pun menginginkan perpisahan ini terjadi. Aku sangat
mencintai kekasihku. Namun, semesta memaksa kami untuk berpisah.
Lagi,
aku menyusuri jalanan Roppongi dengan muram. Ini sudah lima tahun berlalu,
tetapi bayangannya masih belum hilang dari benakku.
Aku
rapatkan jaket tebalku demi menghalau hawa musim dingin, dan kembali berjalan.
Bayanganku terpantul di kaca toko kelontong. Seorang pria berusia 25 tahun
dengan rambut acak-acakan dan kumis yang bertumbuh lebat. Bola mata cekung
karena kurang tidur, dan pipi tirus. Aku mulai tertawa getir.
“Lihat
apa yang sudah kau lakukan kepadaku, Hime?” gumamku.
Sulit
dipercaya, seorang Kureno Kataoka yang dulunya begitu bersinar dan percaya
diri, kini, jatuh seperti ini. Aku nyaris tidak mengenali diriku sendiri.
Aku
kembali menyusuri jalanan Roppongi yang ramai. Gadis itu dulu sangat menyukai
berjalan di sekitar Roppongi pada malam hari. Ia begitu menyukai cahaya lampu
warna-warni yang ada di sekitar jalanan. Terkadang, ia akan menarik tanganku
memasuki toko-toko yang harga setiap barangnya hanya bisa membuatku menelan
ludah dan membeli satu barang.
Aku
kembali tertawa getir. Bukankah sejak dulu itu pertanda betapa jauhnya dunia
kami berada? Kenapa aku masih begitu lancang mencintai gadis seperti itu, ya?
Bukankah dengan panggilan sayang yang aku sematkan kepadanya sudah menjelaskan
semuanya? Kenapa pula rakyat jelata sepertiku berharap bersanding dengan putri
yang mulia?
Pertemuan
kami juga biasa saja. Kami bertemu di kafe tempatku bekerja, di mana dia sering
datang ke sana untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Setelah beberapa kali
pertemuan, kami memutuskan berkencan. Tidak, lebih tepatnya aku yang
mengajaknya. Aku sendiri pula yang memutuskannya.
“Ini
demi kebaikanmu.” Begitulah pembelaanku pada waktu itu. “Demi kita berdua.
Tolong percaya dan maafkan aku, ya? Mari kita selesaikan ini.”
Aku
tidak akan lupa, bagaimana wajahnya yang selalu tegas tiba-tiba berderai air
mata. Aku tidak pernah melihat gadis itu serapuh itu sebelumnya. Aku masih
mengingat bagaimana ia berujar dengan suara getir.
“Apa
orang tuaku mengancammu? Bagaimana jika kita kabur saja?”
Jawabanku
pada waktu itu, “Tidak bisa, Hime. Adikku masih membutuhkanku. Kau tahu kan,
jika aku satu-satunya keluarganya dan aku tidak mungkin meninggalkannya begitu
saja?”
“Jadi,
apa kita berdua benar-benar putus?” Dia berujar dengan suara bergetar karena
menahan tangis. “Aku masih membutuhkanmu, Kureno.”
“Maaf
ya, Hime.”
Aku
mengusap wajahku kasar. Mengingat masa-masa itu tidak pernah mudah untukku,
walaupun lima tahun sudah berlalu. Rasanya baru kemarin, ketika orang tua
kekasihku mendatangiku kalut karena kekurangan uang untuk operasi adikku dan
menawarkan uang dengan imbalan aku menjauhi kekasihku.
“Dan,
sekarang Yato juga sudah tidak ada,” gumamku, “lalu, apa gunanya aku menerima
uang itu waktu itu?”
Setiap
akhir pekan, aku selalu kemari, pada waktu sore hingga malam, dengan satu
pikiran naif. Aku ingin kembali bertemu dengan kekasihku. Melihat wajahnya saja
sudah cukup. Walaupun aku tahu tidak bisa kembali ke masa-masa itu.
Kepingan
ingatan masih berserakan di memoriku dan menolak untuk menghilang. Ingin
rasanya aku menghapus semua ingatan ini, menekan tombol reset dan melupakan
semuanya. Jika aku bisa. Sayangnya, aku tidak bisa. Bagaimana aku bisa
melupakan waktu yang kami habiskan bersama jika itu adalah waktu yang paling
membahagiakan untukku?
Tuhan,
bisakah aku memutar kembali waktu?
Aku
menghentikan langkah di depan sebuah toko yang familier. Toko yang sering
dikunjungi kekasihku. Toko CD musik. Aku masih mengingat kegemarannya terhadap
musik hiphop dan bagaimana ia menyukai artis bernama Chanmina, serta grup artis
beraliran R&B, The Rampage from
Exile Tribe.
“Hime,”
gumamku, “bahkan hal terkecil tentang dirimu tidak pernah luput dari
ingatanku.”
Saat
aku kembali berjalan, sosok yang familier keluar dari toko dan melintas di
sampingku. Sosok itu membuatku membeku.
Rambut
yang diwarnai dengan warna cokelat muda dan dibiarkan panjang. Aroma parfum Chanel menyeruak begitu dia lewat.
Jangan-jangan ....
Aku
memutar tubuh, memastikan sekali lagi, tetapi sepertinya ia sudah membaur
dengan kerumunan. Aku berbalik dan mencari, menyeruak banyak kerumunan demi
menemukannya. Ya, aku menemukannya. Bergandengan tangan dengan seorang pria.
Kuroyuki Sakura, putri dari pemilik Sakura Group. Mantan kekasihku.
Dia
tidak terlihat berbeda. Wajah seperti kucing imut dan dirias dengan riasan cat eye lembut, badan dengan proposisi
sempurna, tidak terlalu tinggi maupun terlalu pendek. Kulitnya seputih gading,
dan tangannya yangmenggandeng tangan pria itu terlihat dicat dengan warna biru.
Perutnya terlihat membesar. Dilihat saja aku sudah paham, siapa pria ini.
“Sayang.”
Dia berujar. “Ayo kita pergi. Perutku agak sakit. Aku takut terjadi apa-apa
kepada bayiku.”
“Ah,
kau benar. Akan kuminta Kuroda kemari untuk menjemput dan membawakan kursi roda
untukmu.”
“Terima
kasih, Sayang.”
Kemudian,,
pandangan kami bertemu. Jarak kami memang tidak begitu dekat, tetapi aku berada
di jarak pendengarannya. Gadis itu tampak terkejut, tetapi ia menguasai
keterkejutannya dengan mengalihkan pandangannya.
Seorang
pria lain dengan rambut cepak dan mata sipit datang membawa kursi roda. Saat
suami Kuroyuki membantunya duduk di kursi roda, aku melihat wajahnya.
Ah,
dia. Putra kolega ayah Kuroyuki yang pernah satu kali dibicarakan oleh
Kuroyuki. Masanori Iwata. Jadi, dia pria beruntung yang mendapatkan Kuroyuki,
ya? Pria beruntung yang bisa berada di samping Kuroyuki hingga akhir.
Mereka
bertiga berjalan pergi, dengan Masanori yang mendorong kursi roda istrinya yang
sedang hamil besar.
Jadi,
begitu ya ... satu-satunya yang terjebak di masa lalu hanya aku, ya? Semuanya
sudah melangkah ke masa depan.
Suatu
rasa sakit yang tidak terdefinisikan menyerang hatiku, membuatku menangis.
Kenapa rasanya sesakit ini? Bukankah orang-orang mengatakan waktu bisa
menyembuhkan luka? Jangan-jangan, itu hanya omong kosong belaka?
“Hime,”
rintihku, “apa kita sungguhan menjadi orang asing sekarang?”
TENTANG PENULIS
Al-Audy
adalah nama pena untuk seorang wanita muda yang menjadikan menulis sebagai
kegemarannya. Ia mulai menulis dari kecil dan terus berlanjut hingga sudah
menikah.
Posting Komentar