[CERPEN] Tanggung Jawab
Seorang wanita disodorkan amplop bertuliskan “Program Kerja Layar Muhibah” oleh seorang komandan. Lantas, Komandan bertanya ketersediaan si wanita untuk
mengikuti program tersebut. Sekilas membaca amplop, wanita itu mengangguk tanda
setuju. Kemudian, meninggalkan
ruangan dan menuju ruangan lain bertuliskan "Psitera". Ia masuk dan
duduk kembali di mejanya, melanjutkan membaca amplop sembari menuliskan beberapa catatan dan kemudian menghubungi
nomor yang tertera via chat.
Berselang beberapa menit, terdengar bunyi notifikasi balasan. Setelah membaca
pesan, wanita itu langsung keluar dari ruangan dan berbicara pada temannya jika
akan meninggalkan satuan dinas untuk pergi ke pelabuhan.
Sesampainya di pelabuhan, wanita itu mencari kapal tiang tinggi berwarna kuning
bertuliskan “Dewa
Ruci” dan
memarkirkan
mobilnya yang
tidak jauh dari sana.
Di atas kapal,
ia terkejut bertemu dengan seseorang yang ia kenal, lalu spontans memberi hormat. Berbicara sepatah kalimat, wanita itu
meninggalkan orang yang ia temui dan bergegas menuju anjungan. Di dalam anjungan, ia terpaku pada orang yang fokus mengukur jarak di peta, lalu matanya beralih melihat nama bertuliskan
"Rafsanjani".
Merasa ada yang masuk ke dalam anjungan, lelaki itu
menghentikan aktivitasnya kemudian menatap si wanita.
“Ada yang bisa dibantu? Oh, ini Bu Rani, ya? Salam kenal, saya Rafsanjani, biasa dipanggil Rafa,” ucapnya cembari mengulurkan tangan dan tersenyum.
“Saya Rani, panggil nama langsung saja, Pak, karena saya masih muda, hehe.”
“Kalau boleh tau, umurnya berapa?”
“Saya dua puluh empat, Pak”
“Dipanggil “Adek”, mau? Tapi takut nggak sopan.”
“Boleh, senyaman Bapak saja.”
“Oke, halo, Dek. Jangan panggil Bapak, ya, kelihatan tua.”
“Kak Rafa. Kenapa malah kedengaran kaya oknum gitu? Hahaha.”
“Oknum? Orang limitted edition begini dibilang
oknum. Panggil Abang
aja biar keren. Kalau “Kakak”
berasa di pramuka.”
“Hehe, maaf abis lucu banget.”
“Kayanya kamu korban ‘halo, Dek’. Ya udah gimana kalau mulai bahas konsepnya. Enaknya
di
mana, ya. Kalau di sini sempit, sih.”
“Sembarangan. Di lounge room aja ada meja
kursinya, Bang.”
“Malu banget, yang dinas di kapal siapa, yang paham tempat siapa.”
“Wajar, manusia. Beda cerita kalau di kapal sejenis LPD.
Nyasar mulu yang ada.”
Fitriani atau Rani, seorang perwira lulusan sarjana Psikologi yang sedang melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar Psikolog, sedangkan Rafsanjani atau Rafa, seorang tentara berpangkat letnan satu korps pelaut.
Kini, jabatannya
sebagai komando perwira divisi di KRI Dewa Ruci.
Rani memberikan konsep yang ia rancang sebelum
berangkat ke pelabuhan. Sasaran layar muhibah kali ini
ditujukan generasi muda anak SMA untuk menumbuhkan
jiwa kebaharian,
mengingat identitas Indonesia adalah negara maritim. Sebagai praktisi psikologi, Rani akan memberi psikotes kepada peserta dengan
tujuan mengetahui kelayakan serta meminimalkan hal yang tidak diinginkan. Dilanjut materi dan
permainan interaktif untuk memeriahkan acara. Rani senang dengan cara bicara
Rafa karena sopan dan lembut. Ia merasa cocok dengan Rafa; tidak banyak permintaan dan mempercayakan konsep
acara pada Rani.
Rani dan Rafa menjadi sering bertemu karena
masih harus memantau perkembangan acara bersama-sama.
Sebulan berlalu dan hampir setiap hari mereka bertemu. Tidak pernah ada perselisihan berlebih
di
antara keduanya. Rani tidak bisa tidur memikirkan
bagaimana acara yang telah ia buat konsepnya itu. Akan tetapi, Rafa selalu mendukungnya. Rafa berbicara ke Rani bahwa semua akan baik-baik saja karena mereka sudah
melakukan yang terbaik.
Hari ini adalah hari pertama acara layar muhibah.
Titik kumpul peserta di gerbang bertuliskan "Komando Armada II"
disertai bus
untuk akses menuju pelabuhan. Rani mengamati wajah dari setiap peserta, ada
yang senang, takut, bahkan dia sendiri tidak mengerti apa arti ekspresi yang
ditunjukkan. Setelah melewati penjagaan di pelabuhan, mereka berhenti di
jembatan dekat tempat kapal bersandar. Rani mengarahkan sebelum memasuki kapal,
para peserta harus hormat ke bendera merah putih.
Semua kegiatan di atas kapal adalah tanggung jawab
Rafa. Upacara pembukaan digelar, ABK Dewa Ruci mulai menempati peran
masing-masing dan kapal mulai menjauh dari pelabuhan. Peserta diberi waktu
menyesuaikan diri. Rafa menyuruh Rani untuk beristirahat karena terlihat lelah.
Tanpa mempertimbangkan, Rani langsung menolak. Untuk pertama kalinya Rafa merasa ingin memaksa
kehendak Rani,
tetapi hal itu
ia urungkan karena Rafa ingin menghormati keputusan Rani.
Materi pertama adalah peraturan umum dinas dalam
terkait peraturan yang dipatuhi dan dihindari selama berada di dalam kapal.
Karena kapal dalam keadaan berlayar, para peserta diminta untuk lebih
berhati-hati supaya tidak mudah jatuh. Saat makan bersama, Rafa mengajak Rani. Namun, Rani menolak dengan alasan semua peserta belum
selesai makan. Untuk kali kedua Rafa ingin memaksa kehendak Rani karena kenyataannya ia belum makan dan istirahat. Rani berhak menolak, tetapi ia luluh dengan mengiyakan ajakan makan bersama
oleh Rafa. Rani merasakan sesuatu yang baru dalam hidupnya bahwa ada orang yang peduli pada
dirinya.
Saat ini, para peserta berkumpul di geladak kapal sudah
menggunakan alat keselamatan lengkap. Materi peran layar. KRI Dewa Ruci adalah
salah satu kapal layar tiang tinggi. Setiap pos diisi oleh beberapa peserta dan
mereka wajib mengikuti instruksi dari ABK. Kegiatan berjalan lancar hingga
beberapa siswa menjadi tidak kondusif sehingga melepaskan tali yang seharusnya
digenggam. Rani yang melihat tali itu mengarah ke atas, dengan sigap menarik tali itu
hingga tangannya berdarah karena tergores. Ia sudah menyelamatkan tali layar supaya tidak naik ke
atas. Namun,
seorang Rafa menjadi panik dan langsung menyuruh Rani untuk segera ke balai
kesehatan.
“Serius itu, Lettu Rafa? Pertama kali lihat Padiv sekhawatir itu,” ucap salah satu anak buah kapal yang melihat
kejadian tersebut.
Rani merasa bahwa lukanya tidak sedalam itu dan hanya
luka biasa. Akhirnya, Rafa sedikit menarik Rani. Namun, masih dengan kelembutan. Kemudian, Rafa mengobati Rani dalam diam. Kejadian ini membuat
Rani tidak disapa oleh Rafa. Sampai malam tiba, Rani memberanikan diri untuk bertemu Rafa. Rani
berharap semoga hari ini Rafa masih tetap berjaga. Tuhan mengabulkan doa Rani. Ia menemui Rafa di haluan kapal dan duduk di
sebelahnya.
“Bang Rafa marah sama Adek? Maaf ini cuma luka kecil. Adek udah enggak pa-pa.”
“Sesulit itu untuk nurut sama orang?”
Rani tertegun dengan pertanyaan yang dilontarkan Rafa.
Belum sempat menjawab Rafa melanjutkan kalimatnya.
“Abang tau Adek mandiri, tapi bukan berarti enggak mau terima bantuan orang lain. Jangan lupa, Abang penanggung jawab kegiatan ini. Jadi, Adek masuk tanggung jawab Abang. Abang diam karena malu, Dek. Malu karena enggak bisa jaga keselamatan orang di kapal.”
“Maaf ya kalau Adek batu. Kejadian hari ini juga bukan sepenuhnya salah Abang. Jadi, jangan merasa bersalah terus, ya? Adek janji habis ini nurut apa kata Abang, tapi Abang berhenti nyalahin diri sendiri, ya.”
“Janji?”
“Iyaa, janji. ”
“Eh, tapi Abang juga enggak jujur sama diri sendiri, loh.”
“Gimana?”
“Jangan terlalu keras sama diri Abang. Abang peduliin Adek, tapi enggak peduliin diri sendiri.”
“Sebegitu kerasnya Abang menurut Adek?”
“Iya, keras banget. Kakuuuuu.”
“Sebagian besar karena tuntutan. Oke, Abang akan mulai belajar buat lebih jujur, tapi Adek juga harus mau nerima bantuan Abang. Setuju?”
“Setujuuuu.”
Kemudian, keduanya tertawa renyah.
Hari ini adalah hari terakhir mereka berlayar sebelum
kapal kembali bersandar
ke pelabuhan. Jangkar kembali dinaikkan dan kapal kembali berlayar ke Pelabuhan Armada Dua. Sebelum kegiatan berakhir, mereka melakukan foto bersama. Rani merasa sedih
karena harus berpisah dengan Rafa. Tanpa sadar ia mulai terbiasa dengan
kehadiran Rafa. Rani berpisah dengan Rafa karena harus mengantarkan para
peserta untuk kembali ke gerbang pelabuhan.
Meskipun sebulan
berlalu, Rafa dan Rani tetap bertemu ketika mereka libur. Komunikasi di
antara keduanya tetap terjaga. Karena kerja sama sangat baik, mereka kembali dipanggil komandan untuk melaksanakan
program kerja pelayaran dengan peserta yang berbeda.
Saat ini mereka sedang berada di restoran untuk makan
malam.
“Abang ralat, ternyata Adek bukan tanggung jawab waktu di atas kapal aja, tapi-”
“Tapi apa?”
“Jadi tanggung jawab di sisa akhir hidup Abang, mau?”
“Hahaha, mau!”
Rafa mengeluarkan cincin kemudian memakaikannya ke
Rani.
TENTANG PENULIS
Karya yang baru kalian baca adalah karya perdana penulis pemula dengan nama pena Atria59. Memiliki nama asli Marta Dila Wulandari Fitriani dengan kesibukan utama saat ini menjadi seorang mahasiswa Psikologi semester 4. Dia merupakan pendengar yang baik dan langsung saja hubungi Instagram-nya, @martadilaawf. Terima kasih!
Posting Komentar