[CERPEN] Tembang Terakhir
Sore
yang pengap di ruang tamu dengan jendela lekung berkaca gradien kehitaman,
tergeletak seorang gadis berkulit cokelat, berambut ikal, juga tubuh kurus yang
menonjolkan tulang belikatnya menyisakan ceruk dalam. Ia tak sendiri, tepat di
samping kanannya ada wanita renta dengan garis wajah tegas sedang menatapi
langit-langit rumah yang cukup tinggi.
Di
ruang tengah rumah itu, ada empat pasang mata mengamati lumat-lumat motif tak
beraturan yang berserakan di asbes, tampak bagai kanvas yang dibubuhi lukisan
abstrak. Sebagian asbes berwarna putih dengan graduasi warna cokelat menguning.
Setiap hujan deras, motif pada langit-langit asbes akan bertambah banyak.
Siang
itu tak banyak perbincangan, hanya suara kipas yang sesak dengan debu, serbuan
lalat yang mengganggu, bau minyak angin mengisi setiap sudut ruangan, nan
senantiasa didekap wanita renta yang akrab disapa Pari. Bagi Sunu―si gadis
berkulit cokelat―mencari bahan untuk mengobrol asyik dan kepenak dengan ibunya bukan hal yang mudah. Mengingat orang yang
hendak Sunu ajak bicara adalah orang yang sakit.
Ibunya
Sunu bernama Pari. Ia terserang awan, bukan awan biasa, sariawan. Tak
mengherankan jika kudis dalam mulut itu bisa mengubah mood Pari sembarangan. Sekitar enam bulan belakangan, Pari menjadi
langganan sariawan, sudah pasti karena efek obat kemoterapi yang dikonsumsinya
rutin setiap hari.
Obat
kanker memang terkenal kerasnya, Pari menyadari itu. Oleh karena itu, ketika
dihadapkan dengan beberapa opsi terapi kanker, ia kebingungan. Pasalnya, setiap
opsi mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sebagai orang awam dan cukup
terguncang dengan kenyataan bahwa dirinya sakit keras, tentu membuat Pari tidak
dapat membuat keputusan linear sesuai keinginan hatinya.
Ia
hanya ingin sembuh, walaupun didera nestapa dan penuh keputusasaan. Tiada yang
tahu kesedihan tak berujung di hati Pari. Dengan demikian, ia meminta anaknya
untuk memutuskan pengobatan jenis apa yang kiranya tidak membuat orang
sekitarnya kerepotan merawat dirinya.
"Sekarang
aku tidak ada daya, aku mengandalkan orang-orang sekitarku. Bukan aku yang kupikirkan
lagi, tapi orang-orang di sekitarku. Biarlah pilihanku tergadai, asal ada yang
sudi merawat hidupku yang tertatih ini," ungkap Pari dalam hening.
"Ada
dua opsi terapi yang disebut dokter. Pertama kemoterapi dengan obat dan kedua
radioterapi," sebut Sunu mengulang opsi yang disebut dokter.
Dalam
kebingungan itu, Sunu memilih kemoterapi untuk pengobatan ibunya. Tentu dengan
banyak pertimbangan. Pari sudah renta, dirinya sudah tidak mampu berjalan,
apalagi harus menempuh perjalanan ribuan kilometer menuju Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad di kota Pekanbaru. Kampung Sunu ada di desa Balam, sebuah
desa kecil perbatasan Riau dengan Sumatra Utara.
"Satu
kali perjalanan dengan menyewa mobil, habiskan 300 ribu rupiah, sedangkan
radioterapi ke RSUD dalam seminggu bisa sampai dua kali. Tentu itu belum uang
makan dan minyak selama di perjalanan. Ini pilihan yang sulit bagi kami,"
kata Sunu menimpali berbagai pertanyaan yang muncul di kepalanya.
Pada
awal bulan, Pari begitu semangat mengonsumsi obat. Dalam pikirnnya, ia akan
segera pulih. Dalam benaknya, tak ada masalah jika ia harus mengonsumsi obat
kemoterapi sebesar satu jari kelingking orang dewasa. Tak masalah jika obat
kemoterapi baunya tak sedap.
Optimisme
Pari membuncah pada bulan-bulan pertama, ia tak lagi merasakan nyeri yang
mengiris-iris ususnya. Ia bisa tersenyum pada pagi hari dengan semringah.
Tampaklah giginya yang rapi, sebab dipangur sejak dirinya belia dulu.
Sunu
turut senang dengan kemajuan pengobatan ibunya. Dia dan ibunya bisa saling
melontarkan tawa lagi. Ketakutannya akan efek samping kemoterapi itu rupanya
tak begitu ngeri seperti yang ada di bayangannya.
***
"Aku
muak minum obat," pekik Pari mengejutkan banyak orang, termasuk Sunu.
Obat
kanker juga tidak menjamin kesembuhan total bagi pasien, setidaknya
memperlambat penyebaran sel. Oleh karena itu, Pari mulai frustasi, ia merasa
tidak ada harapan untuk pulih, makin hari tubuhnya makin habis. Berat badannya
menyusut, pencernaannya berantakan, ditambah lagi sariawan yang membuat dirinya
sulit makan.
Sunu
mencoba untuk mengerti perasaan ibunya. Sunu memutuskan untuk bijak dengan
tidak bertanya apa pun. Sunu merasa kapok bertanya tentang keadaan ibunya
beberapa waktu lalu, padahal niat hatinya ingin bertanya barangkali ada hal
yang perlu dibantu. Lantas, pertanyaan itu ditanggapi penuh dengan kemarahan
oleh Pari.
"Emang
kamu mau merasakan sakit begini, hah!," ucap Pari dengan nada paling
tinggi, selama ia sakit-sakitan ini.
Sunu
syok, hatinya sedih. Niat baik itu padam, bagai bara kayu yang disiram air.
Semula perasan hangat itu terjaga, tiba-tiba menjadi dingin. Sedingin bekunya
es.
Kondisi
kesehatan Pari makin buruk, sariawan makin membuatnya tak berdaya bahkan
sekadar untuk mengobrol. Walaupun Sunu sadar kondisi itu merupakan buntut
segala kebisuan yang menyergah mereka berdua. Sunu tak patah arang, ia memutar
balik otaknya agar siang hari yang panas itu hanya jadi bualan saja, yang
terpenting mereka mempunyai obrolan yang teduh untuk membunuh siang.
Untuk
memulai percakapan yang mencacah sunyi―seperti harapan Sunu―ia mulai mengungkit dengan nada bicara gamang. Namun,
diikuti keyakinan. Seakan mengisyaratkan bahwa jawabannya adalah iya, Pari
memang dulu sangat menyukai lagu Jawa yang berjudul “Prau Layar”.
"Ibu,
ingat lagu Prau Layar?" tanya Sunu membuka pembicaraan.
Pari
hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, Sunu bercerita pada ibunya jika
dirinya pernah mendengar Pari bernyanyi
di kamar mandi melantunkan “Prau Layar”. Sunu kira itu lagu yang pas
diputar saat di kamar mandi. Alasannya, kata Sunu, kombinasi lagu riang dengan aliran air seakan
membuat lirik lagu itu berkawin.
"’Byak, byuk, byak banyu pinelah’ itu
yang berarti airnya tersibak, makanya itu lagu
paling cocok kayaknya di bak kamar mandi," ungkap Sunu berselekeh
pada ibunya.
Walau
Pari masih tak banyak bicara, tetapi ia berusaha menyimak setiap pertanyaan dan
jawaban yang Sunu ucap serta jawab sendiri. Sampai satu titik di mana Sunu
bertanya tentang berapa banyak jenis lagu Jawa lain yang begitu mengena di hati
Pari sampai saat ini sehingga masih ia ingat. Pari membalikkan tubuhnya,
bertumpu pada bagian tubuh sebelah kanannya, lebih tepatnya menghadap ke Sunu.
Ia
mulai bercerita, dulu waktu Pari masih di Pulau Jawa, hiburan yang paling
merakyat, ialah penampilan sinden-sinden Jawa dalam hajatan tetangga. Katanya,
di hajatan seperti itu, hiburan terbuka untuk umum, tidak khusus seperti layar
tancap yang harus dikenai biaya tiket.
"Dahulu
para sinden bernyanyi dengan khidmat,
tukang gamelan dan tukang gendang
penuh dedikasi bekerja mengetuk dan menabuh alatnya masing-masing dengan
selaras. Ditambah senyuman-senyuman gembira." Pari mengenang ingatan masa
mudanya ketika tinggal di Desa Cilongok, Kabupaten Pliken.
Pari
makin banyak bercerita, seakan luka-luka atas segala kesakitan di area mulutnya
telah tertambal dengan kulit baru dan sehat.
"Semua
penonton terpanah dengan penampilan itu, berpuluh-puluh sorot mata tak akan mangkat dari sang sinden sampai lagu
usai ditembangkan," katanya.
Mendengar
cerita yang diutarakan itu, Sunu menggagu.
Kemudian, Sunu bertanya kepada Pari tentang semua tembang yang pernah didengar,
mana tembang yang membekas di hatinya.
Ibu
terhenyak sejenak, tak melanjutkan cerita. Dengus napasnya pun jadi pedar,
seakan menghilang tak kentara, seperti orang yang lelah dan tercekat. Beberapa
detik, senyap menjadi idiomatis.
Sunu
ketakutan. Ia takut salah bicara. Ia pikir usahanya jadi sia-sia. Ia khawatir,
perasaan sensitif orang sakit menyergah ibunya. Tubuh Sunu mematung. Pikirannya
buntung.
***
Matanya
terpejam, mulutnya merapat menata nada, sesekali mengoreksi sendiri bahwa ia
sindennya. Cengkok bermunculan, ia menarik napas dalam dan mulai berani
berdirikan di titik start.
Setelah
momen senyap idiopatik itu melesat, mulut Pari meronggeng- ronggeng seperti mencari
pijakan sebelum melompat, seberapa tinggi dan rendahnya nada sedang
dianalisasnya.
Dalam
jarak tak anomali, Pari menggapai kening Sunu. Penampakannya seperti saat
Pari mengecek suhu tubuh Sunu kecil yang
sedang demam.
"Ing tawang ana lintang, cah ayu sesok gede
dadi opo?" Pari melantunkan lirik lagu favoritnya.
Seluruh
tubuh Sunu begidik merinding. Betul saja, itu sebuah tembang paling serius yang
pernah Sunu dengar dari mulut ibunya. Dalam kesakitan, Pari tak berhenti
bertembang untuk Sunu, untuk menjawab rasa penasaran dan membunuh kejenuhan.
Sunu
juga memejam mata saat itu, sebetulnya tak keberatan mengucurkan air mata,
tetapi itu tampak berlebihan jika ditunaikan pada waktu yang sama. Walaupun
awalnya Sunu tak betul mengerti apa arti potongan tembang itu, tetapi wirama dan wirasa lagunya menusuk relung jiwa.
Setelah
potongan bait itu diulang-ulang, Pari akhirnya berhenti. Ia menyerah, sariawannya ngilu tersenggol gigi dan
bibirnya pecah-pecah, perih saat merenggang dan tersapu air liur.
Suasana
kembali sepi berkepanjangan. Sunu
dikelilingi kesedihan. Tubuhnya terlentang menatapi asbes yang sudah berwarna
cokelat. Itu asbes yang sama, dilihat Pari lima tahun silam. Asbes yang jadi
saksi Sunu mendengar tembangan lagu terakhir dari ibu tersayang, Pari Atik.
Sunu
tercenung dalam rasa kehilangan yang sesekali muncul mendadak. Ia terperanjat
bahwa tembang terakhir yang dilantunkan ibunya seperti pertanyaan yang datang
dari masa depan. Pari seperti tahu ia
tak akan berlama-lama di dunia ini, di samping anak perempuannya.
"Ibuku
Pari telah menghadap Tuhan lebih cepat dari yang pernah diharapkannya melihat
anak-anaknya entas semua. Garis
takdir sudah diatur di atas tangan, nggak bisa dibentur-bentur," ucap Sunu
mencoba berdamai dengan kehilangan
TENTANG PENULIS
Namanya Tika Ayu, kelahiran 14 Mei 1999 di sebuah desa kecil Balam Sempurna, Riau, perbatasan langsung dengan provinsi Sumatra Utara. "Menulis saja, orang kita orang mudah lupa, dilupakan dan melupakan." Itulah alasannya ia menulis cerpen Tembang Terakhir. Ia ingin mengenang kehilangan agar menghargai hal-hal yang ada di sekitarnya.
Posting Komentar