[CERPEN] Yang Kutinggalkan ketika Pergi
Papa mengetuk pintu kamar dan memanggil namaku.
Sebelumnya, aku sempat mendengar pertengkaran kedua orang tuaku
sekitar 15 menit. Seperti biasa, daripada mendengar mereka saling beradu
argumentasi, meledak-ledakkan emosi, aku lebih memilih mendengarkan lagu
melalui earphone.
“Irin bangun!” Papa terus saja berteriak mengetuk pintu.
Aku selalu ingin protes kepada Papa dengan berkata, “Giliran gini, baru Papa manggil Irin buat ngurus Mama,” tetapi aku selalu tidak mampu. Mungkin itu akibat karena
terlalu dimanja Papa.
Seperti anak perempuan lainnya, Papa adalah cinta pertamaku.
Aku tidak bisa membencinya. Aku juga sayang Mama. Mama selalu bisa mengobati mood-ku dengan masakannya. Senyumnya selalu menyembuhkan
lelahku setiap pulang kuliah. Aku ingin selalu sayang Papa. Aku juga ingin
selalu bersama Mama. Namun, sepertinya mereka berdua tidak bisa saling sayang selamanya.
Setidaknya itu yang aku simpulkan dari pertengkaran mereka tiga bulan
belakangan ini.
Eva menggoyang-goyangkan badanku. Menyuruhku bangun
membukakan pintu. Semenjak Papa dan Mama tidak akur, Eva diungsikan ke kamarku.
Eva masih terlalu kecil untuk mengerti jika rumah tangga dapat rusak karena kehadiran orang
ketiga.
“Ada apa, sih, Pa?” tanyaku pada Papa sambil menguap dan pura-pura ngantuk
supaya kelihatan baru bangun.
“Tuh, mamamu kambuh lagi.” Papa kemudian berlalu ke dapur.
Aku tahu, malam ini Papa mabuk lagi. Tercium dari
aroma mulutnya. Jadi, terbayang olehku kejadian 20 menit lalu di kamar Papa
dan Mama. Papa yang
baru pulang dini hari kemudian Mama membuka pintu. Mama langsung menanyakan pertanyaan beberapa
hari lalu yang belum dijawab
oleh
Papa. Mungkin juga Papa tidak akan pernah menjawabnya. Kemudian, Mama terus menuntut jawaban dan Papa mulai lelah mendengar pertanyaan itu. Aku juga akan lelah mendengar pertanyaan yang diulang-ulang, sepertinya
semua orang juga akan kesal, tetapi Mama sungguh mengharapkan jawaban.
Aku menyuruh Eva untuk mengambilkan air minum di dapur. Sementara, aku langsung menuju kamar Mama. Aku melihat Mama sudah terbaring, bukan di kasur, melainkan di lantai. Saat banyak pikiran, tekanan darahnya
naik, biasanya Mama langsung tergeletak tidak sadarkan diri. Mama akan bangun
lagi sesaat kemudian, matanya melotot, mengerang seperti ingin menerkam mangsa,
mirip orang keserupan. Itu yang tadi dikatakan Papa dengan istilah kambuh.
“Mama. Ma, sadar!”
Aku pun langsung bertindak seolah ustaz, membacakan
ayat-ayat Tuhan ke air yang tadi diambilkan Eva. Setelah membaca beberapa
surah, aku mengusapkan air tersebut ke wajah Mama. Entah kenapa, cara tersebut
selalu saja ampuh. Pernah aku mencoba hanya komat-kamit tanpa membaca apa
pun, hasilnya juga sama.
Setelah Mama sadar, aku memberikan lagi air yang sama untuk diminum. Aku pernah mendengar jika air yang dibacakan ayat-ayat suci membawa berkah jika
diminum. Jadi, sebenarnya aku membaca surah-surah tadi bukan untuk membuat Mama
sadar dari kesurupannya. Namun, untuk mendapat berkah dari
Tuhan.
“Eva belum tidur, Nak?” ucap Mama ketika mengetahui Eva duduk di dekat pintu, menatapnya dengan tatapan
sedih.
Eva mendekat menuju Mama dan berlabuh di peluknya. Aku
tidak yakin Eva mengerti apa yang terjadi pada Mama. Dia tidak pernah bertanya
meski ada banyak pertanyaan yang ingin sekali dia ketahui jawabannya.
“Ayo, Ev, tidur,” ucapku mengajak Eva kembali ke
kamar. Aku tahu Mama butuh istirahat.
“Sana ikut Kakak tidur, Nak. Besok sekolah, kan?” Mama
menambahkan.
Aku dan Eva kembali ke kamar. Sebelum masuk kamar, aku memandang ke arah dapur dan Papa masih di sana. Tidak
jelas apa yang dilakukannya, tetapi aku dapat mengetahui bahwa
dia sedang mengobrol, mungkin
sedang teleponan.
Sampai di kamar, Eva langsung berbaring dan seketika
pula dia
beranjak ke alam mimpi. Sementara, aku masih bergelut dengan pikiran yang makin hari
makin kusut. Kembali teringat obrolanku dengan Mama beberapa hari lalu, “Jika Mama sama Papa pisah, kamu enggak pa-pa, kan, Kak?” Aku bukan pengingat yang andal, tetapi untuk pertanyaan itu sulit aku lupakan.
Sebetulnya ada satu hal yang aku takuti jika Papa dan Mama benar-benar cerai. Aku baru tahu
beberapa bulan lalu
jika aku bukan anak
kandung mereka. Aku menemukan surat catatan sipil yang mencantumkan bahwa mereka menikah empat tahun setelah aku lahir. Aku takut jika setelah mereka cerai, aku tidak dianggap sebagai anak
lagi. Ketakutan-ketakutan lain pun menyerbuku hingga aku terlelap.
***
Berminggu-minggu kemudian, keadaan di rumah makin
tidak dapat aku mengerti. Papa lebih sering di luar. Tidak jarang dia hanya pulang untuk ganti baju saja dan beberapa
kali ke kamar untuk sekadar menyapaku dan Eva, sedangkan Mama makin sering jatuh pingsan dan mengurung
diri di kamar. Aku makin tidak kuat dihadapkan dengan situasi seperti ini. Di
satu sisi, aku juga ingin sekali menanyakan kepada mereka perihal orang tua
kandungku, tetapi tidak bisa. Lebih tepatnya belum bisa.
Pada suatu malam, Papa pulang. Waktu itu sekitar jam
setengah 12 malam. Mama ada di kamar, sepertinya belum tidur. Aku
baru saja dari
kamarnya tadi, memastikan jika Mama sudah makan. Mengetahui Papa masuk ke kamar, aku
pun langsung menuju kamar mereka.
“Pa, Ma, Irin masuk, ya,” ucapku saat sudah berada di depan pintu kamar Papa dan
Mama.
“Iya, sini, Nak.” Terdengar suara Papa dari dalam. “Irin udah makan? Ini
Papa ada bawain ayam panggang. Ayo makan bareng.”
Aku melihat ke arah Mama yang berbaring di kasur membelakangi Papa. Ya
Tuhan, tidak pernah terbayangkan olehku akan seperti ini. Mama adalah ibu
terbaik di dunia yang selalu berhasil menyenangkan anak-anaknya. Apa pantas dia
menerima ini semua? Jika aku jadi Mama, apa aku akan kuat? Mama bangun dan
mencium pipiku. Ibu yang merawatku dari kecil itu kini menangis, tanpa suara, tetapi aku dapat merasakan kesedihannya.
Kenapa bukan dia orang tua kandungku?
“Pa, jangan pergi dulu,” ucapku ketika Papa sudah
menghabiskan sepiring nasi dan ayam panggangnya.
“Irin tahu Papa dan Mama enggak akan bisa bersama lagi, enggak saling menyayangi lagi,
tapi apakah Papa dan Mama
memikirkan kami? Aku. Eva. Bagaimana hancurnya perasaan kami melihat
kalian sekarang?” ucapku makin meninggi. Aku benci keadaan seperti ini
karena pasti selalu saja menangis.
Mama memelukku dan mengusap punggungku. Papa menatap nanar ke arah pintu kamar. Matanya
berkaca-kaca.
“Selain itu, Irin sudah tahu kalau Irin ternyata bukan
anak kandung Papa dan Mama. Irin pernah lihat surat yang ada di laci Mama.”
Mereka tampak kompak mengeluarkan ekspresi terkejut.
Papa yang sedari tadi menatap ke arah lain, kini berpaling ke arahku.
***
Rabu, 26 Juli 2017
Untuk Mama dan Papa Tersayang
“Cinta tidak bisa dipaksakan, Nak. Cinta sudah ada
yang mengatur. Mungkin jodoh Papa dan Mama sampai sini.” Itu yang Mama ucapkan
saat kita bertiga mengobrol di kamar malam itu.
“Meskipun kami pisah, kamu tetap anak Papa. Perpisahan
tidak akan mengurangi sayang Papa ke kamu. Kamu memang bukan anak kandung Papa,
tapi bukan lantas begitu saja Papa bukan orang tuamu.” Terbisu,
Irin terpaku, mencerna kata-kata dari Papa dan Mama.
Mendengar langsung kalau Irin bukan anak kandung Papa dan Mama. Kecewa, ada.
Benci, tidak bisa.
Ma, Pa.
Maaf, Irin tidak mengangkat telepon dari Papa dan Mama.
Irin tidak mengangkat telepon bukan berarti Irin benci sama Papa dan Mama.
Mulai malam ini, Papa dan Mama tidak perlu telepon Irin lagi.
Papa dan Mama tidak usah mengkhawatirkan Irin.
Pa, Ma.
Sekali lagi maaf tidak bisa berbicara secara langsung.
Irin sekarang sedang menikmati megahnya kota ini.
Malam ini Irin tidak tidur di kamar.
Titip salam juga kepada Eva.
Jangan cari Irin, ya, Pa, Ma.
Malam ini Irin akan tidur di lintasan besi panjang menunggu lewatnya lokomotif
tua.
Beribu maaf Irin, Pa, Ma.
Keretanya sudah datang,
Irin pamit dulu.
Salam sayang,
Irin.
Ilham Syahputra Harahap adalah nama aslinya. Mulai menekuni penulisan fiksi sejak 2019. Pria dengan nama pena ilhamdolillah ini bisa dikunjungi melalui akun Instagramn dan Twiter-nya, @ilhamdolillah.
Posting Komentar