[CERPEN] Just an Illusion - Eps. 01
Pagi yang cerah di kota kecil, ada seorang laki-laki muda bernama Kalingga. Ia adalah seorang barista di kafe kecil yang tersembunyi di sudut jalan, Kafe Kenangan. Sepulang dari kampus, Kalingga langsung pergi ke Kafe Kenangan itu untuk bekerja. Kalingga tidak hanya membuat kopi yang lezat, tetapi juga menawarkan senyuman hangat kepada setiap pelanggan yang datang.
Setiap
hari, kafe itu dipenuhi dengan aroma kopi yang memikat dan tawa pelanggan yang
ceria. Kalingga selalu mengenakan senyuman di wajahnya saat melayani pelanggan.
Ia tahu betul setiap orang memiliki cerita. Ia suka mendengarkan cerita-cerita
itu sambil menyajikan cappuccino atau
latte yang sempurna.
Ketika
Kalingga sedang sibuk menyeduh kopi, seorang pelanggan muda bernama Ryan,
datang dengan wajah muram. Dia duduk di kursi di depan mesin espresso, menatap dengan ekspresi
kosong.
"Ada
yang bisa saya bantu?" tanya Kalingga dengan ramah.
Ryan
mengangguk. "Gue ngerasa lelah dengan semua masalah yang gue hadapi. Rasanya
dunia ini berat banget."
Kalingga
tersenyum lembut. "Kopi bisa bikin hari kamu lebih baik. Dan, mendengarkan
cerita orang lain juga bisa membantu. Ceritain aja ke saya, mungkin itu bisa
buat kamu ngerasa lebih baik."
Ryan
mulai menceritakan ceritanya. Kalingga mendengarkan dengan penuh empati,
sesekali memberi senyuman tanda mengerti.
Seiring
berjalannya waktu, Ryan mulai merasa lega dan lebih baik karena bisa berbagi
beban dengan orang lain. Dari hari itu, kafe itu menjadi tempatnya mencari
kedamaian. Setiap kali merasa tertekan, Ryan akan datang ke kafe dan bercerita
kepada Kalingga.
Kalingga
menjadi lebih dari sekadar barista bagi pelanggannya. Ia adalah pendengar
setia, teman, dan penyemangat. Melalui secangkir kopi, ia membantu orang-orang
melewati masa-masa sulit dan merasakan kehangatan dalam kebersamaan.
Ketika hari-hari berlalu, kafe itu tidak hanya menjadi tempat untuk menikmati kopi terbaik di kota kecil itu, tetapi juga menjadi tempat di mana cerita-cerita hidup bermekaran, di mana setiap tegukan kopi diiringi dengan kehangatan persahabatan yang tulus.
***
Sepulang
dari kampus, Kalingga langsung bergegas menuju kafe. Di perjalanan, Kalingga
merasa ada yang mengikuti dirinya. Namun, ternyata tidak ada. Sesampainya di kafe,
Kalingga ke tempat loker untuk berganti baju kerja. Setelah selesai, Kalingga menuju
ke mesin kopi untuk bekerja.
"Tumben
telat, Ga?"
"Iya,
tadi ada kelas tambahan."
Teman
Kalingga hanya ber-oh saja.
Di
pojok kanan dekat jendela, ada dua orang pria yang sedang memperhatikan
Kalingga sedari tadi, sebelum Kalingga masuk kerja pun, dua orang pria itu
sudah ada di sana.
Kebetulan
salah satu karyawan sedang cuti, jadi Kalinggalah yang mengantarkan pesanan
tersebut ke dua orang pria tersebut.
Sesampainya
di sana, tatapan mereka sangat aneh, setelah menaruh dua cangkir kopi di atas
meja, Kalingga yang diperhatikan seperti itu pun merasa tidak nyaman lalu
memberanikan diri untuk bertanya kepada kedua orang tersebut.
"Ada
apa ya, Pak?"
"Oh,
tidak. Wajahmu ingatkan saya pada anak bungsu saya yang sudah meninggal. Maaf
ya, Nak," sesal pria tersebut.
Kalingga
hanya mengangguk. Namun, tanpa Kalingga sadari, ada ayahnya yang melihat itu
semua. Nama ayah Kalingga adalah Tara. Tara tidak suka jika anaknya bekerja di
luar, ia lebih menginginkan Kalingga bekerja di perusahaan miliknya.
Hari
mulai larut, kafe pun akan segera ditutup. Setelah berpamitan dengan
teman-teman, Kalingga pun langsung meninggalkan kafe. Kalingga ternyata tidak
langsung pulang, dia mampir dulu ke suatu tempat yang bisa menenangkan pikirannya.
Danau. Ya, danau yang tak jauh dari komplek perumahan tempat tinggal Kalingga.
Setelah
sampai di danau, Kalingga mencari tempat duduk. Namun, ia mendapati ada seorang
gadis yang sedang duduk sendirian.
"Permisi,
boleh ikut duduk?" tanya Kalingga. Gadis itu tidak menanggapi. Setelah
cukup lama berdiam diri, Kalingga sudah sedikit tenang dan siap untuk menemui sang
ayah nanti di rumah.
***
Sesampainya
di rumah, keadaan gelap gulita. Yang Kalingga berpikir akan aman kali ini.
Namun, siapa sangka, saat Kalingga ingin melangkahkan kaki menuju kamar, tiba-tiba
lampu menyala.
"Habis
dari mana kamu?" tanya Tara dengan nada yang santai, tetapi tegas. Kalingga
hanya terdiam. Tara yang tak kunjung mendapat sahutan dari Kalingga pun marah.
"Jawab
Ayah, Lingga! Abis dari mana kamu?!" bentak Tara, "oh, masih tetap
tidak mau menjawab? Ok kalau be—" Ucapan Tara dipotong begitu saja oleh
Kalingga.
"Lingga
habis dari kafe, Yah."
"Kafe?
Mau sampai kapan kau seperti itu, Kalingga Zain Pratama?! Kamu tuh anak yang
tidak tahu diri! Udah baik saya kasih kamu pekerjaan yang enak. Eh, malah kamu
milih kerjaan yang seperti itu. Mau ditaruh di mana muka Ayah ini, Lingga?"
Kalingga
hanya bisa menundukkan kepala dan sebisa mungkin tidak menangis.
"Dengar
saya, Lingga?" Kali ini, Kalingga mengangguk samar. Kemudian, Tara
menyuruh Kalingga ke kamar.
***
Hari
ini, Kafe Kenangan tutup lebih cepat dari biasanya. Pukul 18.00, semua karyawan
sudah dipersilakan untuk pulang. Entah apa yang membuat bos menutup kafe lebih
cepat, tetapi yang jelas, ini menguntungkan untuk Kalingga karena dirinya
sedang tidak fokus bekerja.
Semenjak
orang tua Kalingga tahu jika pekerjaan putranya sebagai barista yang membuat mereka
murka tempo hari, pikiran Kalingga berkecamuk. Menjadi barista adalah keinginan
Kalingga dari dulu, bahkan dia punya impian untuk membangun kafe sendiri ketika
modalnya sudah cukup. Namun, orang tuanya sangat menentang keinginannya, mereka
keukeuh ingin Kalingga bekerja di kantor. Katanya, memalukan sekali lahir dari
keluarga kaya, tetapi hanya bekerja sebagai tukang pembuat kopi.
Apakah
barista serendah itu di mata orang tuanya? Padahal menjadi barista membutuhkan
skill yang tidak semua orang bisa miliki, bukan?
Kalingga
memutuskan untuk pulang dengan berjalan kaki, dirinya juga tidak langsung ke
rumah karena malas bertemu orang-orang di dalamnya. Kali ini, menjelajah taman
kota menjadi destinasi Kalingga. Sayangnya, sebelum dirinya sampai tujuan,
langit menangis membasahi bumi.
"Semesta
ternyata ikut berduka dengan keadaanku sekarang, sampai-sampai ingin menemaniku
menangis." Air mata Kalingga tumpah tanpa perintah, meluapkan segala perasaan
yang membuatnya sesak. Siapa yang tidak sedih ketika mimpinya tidak mendapat
dukungan orang tua? Kalingga rasa tidak ada.
Ia
lelah, dari dulu orang tuanya menjadikan Kalingga robot yang harus patuh pada
perintah. Jika Kalingga tidak nurut, siap-siap saja mendapat hukuman. Terkadang,
Kalingga iri dengan teman-temannya yang cita-citanya didukung penuh oleh orang
tua, diberikan semangat dan juga doa. Tidak seperti Kalingga.
Duduk
di tengah jalan, memejamkan mata menikmati hujan yang terus membasahi tubuhnya.
Ternyata seseru ini menangis di bawah guyuran hujan. Meski kedinginan, Kalingga
enggan beranjak dari tempatnya sekarang. Sampai akhirnya, ia mengerutkan kening
ketika tidak lagi merasakan air yang menyerbu dari atas. Ia membuka mata dan
mendongak.
"Kalau
punya masalah itu larinya ke Tuhan, jangan ke tengah jalan. Nanti kalau kamu
ketabrak, ngerepotin banyak orang."
Kehadiran
gadis yang sekarang berada di hadapan Kalingga, membuatnya terkejut. Terlebih,
gadis ini bisa mengetahui bahwa dirinya sedang memiliki masalah. "Maksud
kamu?" tanya Kalingga yang pura-pura tidak mengerti.
"Tidak
perlu pura-pura begitu, saya tau kamu sedang ada masalah sampai-sampai kamu
seperti ini. Walau bibirmu berkata lain, sorot matamu tidak bisa
berbohong."
Kalingga
tidak menjawab apa-apa, ia hanya memperhatikan gadis itu.
"Ayo
cepat bangun, kita berteduh di halte depan! Aku tidak mau ikut tertabrak jika
nanti ada truk lewat karena aku ingin melindungimu dari hujan."
Kalingga
memalingkan wajahnya ke samping. "Aku tidak menyuruhmu melindungiku."
"Tapi
aku ingin! Sudahlah jangan keras kepala." Gadis yang belum Kalingga
ketahui namanya itu mengambil salah satu tangan Kalingga dan menariknya.
Kalingga yang sedang malas berdebat akhirnya mengalah dan menuruti gadis itu.
"Sebenarnya
kamu siapa, sih?" tanya Kalingga ketika keduanya sampai di halte.
Gadis
itu menaruh payungnya, lalu tertawa. "Ah, iya, aku belum memperkenalkan
diriku." Dia menyodorkan tangannya dan berkata, "Namaku
Renjana."
Kalingga
menjabat tangan Renjana dan memperkenalkan dirinya juga. Setelah itu, Kalingga tidak
berkata apa pun lagi, dirinya hanya menurut saja ketika Renjana memberikan
jaket dan juga secangkir teh hangat yang entah dari mana didapatkan. Mungkin di
sekitar halte ada warung.
Renjana
terus mengajak Kalingga berbicara, keduanya duduk di halte sampai hujan reda.
Setelah hujan reda, Renjana menawarkan Kalingga untuk mampir ke rumahnya yang
kebetulan tidak terlalu jauh. Namun, Kalingga menolak karena sudah malam.
Akhirnya, mereka berpisah untuk menuju rumah masing-masing. Perasaan Kalingga
yang sudah mulai membaik berkat beberapa lelucon yang sempat dilontarkan
Renjana membuatnya pulang diiringi senyuman.
***
Sehabis
dirgantara menumpahkan semua sedihnya. Ia masih tampak murung. Tak ada semburat
jingga yang menandakan akan berpulangnya sang mentari dari melalui jalur barat.
Penggantinya ialah awan kelabu yang sama sendunya seperti angkasa raya hari
ini. Kalingga pun begitu. Ia baru menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan
sambil menunduk, bukan pertanda ia adalah sosok yang pemalu, tetapi mengingat
bahwa setelah ini harus kembali ke rumah berisik yang membuat pilu. Perasaan
hampa itu merayapi hatinya. Ia berharap akan bisa bebas dari rumah itu, menjadi
manusia sebagaimana manusia yang harus menjadi manusia.
"Kalingga!
Tunggu dulu!"
Kalingga
tertegun, buyar pikiran kosongnya. Kemudian, ia menolehkan kepala ke belakang,
ke arah sumber suara. Tak butuh waktu lama baginya untuk dapat mengenali sosok
yang akrab. Renjana ada di belakang sana mengenakan gaun berwarna merah pekat
dengan sepatu hitam, serta tambahan pita yang cukup besar di kedua pasang
sepatu. Rambutnya dibiarkan terurai bebas, tetapi tetap terkesan rapi. Ia masih
setia memegang payungnya meskipun langit tak lagi menangis tersendu-sendu.
Masih ada sedikit rinai yang turun bebas.
"Nja,
kenapa tiba-tiba ada di sini?"
"Enggak
tiba-tiba kok, Lingga, he-he," kata Renjana cengengesan.
"Aku
sengaja kok ketemu kamu. Semuanya sudah terencana."
"Dalam
rangka apa? Mau ngobrolin sesuatu, Nja?" Kalingga berusaha menerka, tetapi
Renjana bergeming untuk memberikan jawaban atas pertanyaannya.
"Kalingga,
aku mau ngajak kamu makan malam di rumahku. Kamu keberatan, nggak? Atau kamu nggak
bisa hari ini karena belum minta izin sama Mama dan Papa? Kalau nggak bisa, lain
kali aja nggak masalah, kok."
"Mau,
Renjana." Dua kata itu lolos dengan begitu mulus dari mulut Kalingga.
Tawaran itu terdengar lebih menarik ketimbang ia harus pulang ke rumahnya dan
mendengar pertengkaran kedua orang tuanya serta semua makian yang dilayangkan
untuknya.
"He-he,
terima kasih, Kalingga."
Karena
kegirangan, tanpa sadar Renjana memeluk erat tubuh tinggi tegap Kalingga.
Kalingga dengan kesadaran penuh balik memeluk bahagia dan mengelus rambut halus
Renjana.
Mereka
berjalan beriringan di bawah payung Renjana. Meskipun hujan tidak sederas tadi,
Kalingga tetap tipikal yang sangat sensitif serta rendah imun. Sebisa mungkin
Renjana menjaga agar tidak ada setetes rinai pun yang jatuh mengenai Kalingga.
Perjalanan menuju rumah Renjana cukup jauh. Karena mereka terus mengobrol penuh
tawa, sepanjang jalan itu semua tak terasa. Setelah sampai di rumah Renjana,
pintu dibuka.
"Kalingga,
ya? Temannya Renjana?"
"Iya,
Om," jawab Kalingga dengan kikuk.
"Oh
ya. Silakan masuk, yang lain sudah menunggu di meja makan. Kami menunggu
kedatangan kalian."
Kalingga
memberikan isyarat kepada Renjana agar ia saja yang masuk duluan. Untung saja
Renjana dengan cepat menangkap sinyal tersebut. Maka, Renjana masuk pertama
kemudian disusul Kalingga.
"Kalingga,
sini, Nak." Bunda Renjana menyambut Kalingga dengan penuh hangat dan
riang, tak lupa dengan sebuah pelukan. Itu kebiasaan Bunda yang sulit
dihilangkan. Untung saja Kalingga tidak keberatan meski sedikit terkejut.
Ayah
dan bunda Renjana sibuk menata dan mengisi meja makan dengan beragam jenis
masakan dan kue kering. Mereka tampak sibuk, kelihatan repot. Kalingga menjadi
merasa bersalah.
"Ayo,
Kalingga dihabiskan makanannya. Jangan sungkan, kami tidak merasa direpotkan."
Bunda seakan bisa membaca muka Kalingga.
"Bunda
dan Renjana sengaja memasak makanan kesukaannya Kalingga."
Kalingga
menghentikan kegiatan mengunyahnya. Kemudian, berpikir, sebenarnya ini makan
malam dalam rangka apa?
"Renjana
banyak bercerita tentang kamu. Renjana bilang kamu berhasil mendapatkan nilai
yang bagus di semester ini. Tidak ada satu pun nilai C. Jadi, Renjana
berinisiatif mengadakan dinner
kecil-kecilan ini," sahut ayah Renjana.
Kalingga
kehilangan kata-kata. Ia menatap Renjana dengan mata yang berbinar. Mata mereka
beradu, Renjana membalas tatapan itu dengan senyuman terbaiknya.
"Makasih,
Om, Tante. Terima kasih banyak, Renjana."
"Terima
kasih kembali, anak hebat," jawab mereka bertiga serempak.
Kalingga
benar-benar tak pernah dirayakan seperti ini sebelumnya. Hatinya meletup bahagia.
Ia merasa dicintai hari ini. Ia merasa pantas untuk berbahagia setidaknya untuk
beberapa waktu. Makan malam hari itu terasa sempurna bagi Kalingga. Makan malam
yang selama bertahun-tahun ia dambakan. Renjana membantu mewujudkan itu. Apa
yang tak pernah ia dapat dan rasakan di keluarganya sendiri, kini dapat digapai
dengan mudah, terlebih lagi dengan penuh cinta. Malam ini ditutup dengan garis
senyum yang rasanya tidak akan menghilang dari wajah tegas Kalingga.
***
Saat
itu, hujan deras Kalingga sedang mengejar Renjana. Tanpa sadar, ia menyandung
batu yang cukup besar. Kalingga terjatuh dengan kepala yang mengenai batu.
Renjana yang mendengar suara terjatuh itu langsung seketika membalikkan
badannya dan melihat Kalingga sudah terjatuh dengan bercak darah di sekitar
kepala. Renjana yang panik berteriak meminta tolong, barangkali ada orang baik
yang mau menolong Kalingga. Akhirnya, ada seseorang yang menolong dengan membawa
Kalingga ke rumah sakit terdekat. Renjana selalu menemani Kalingga hingga
siuman.
Saat
sudah siuman, Kalingga menelepon orang tuanya untuk mengabarkan bahwa ia masuk
rumah sakit karena kepalanya terbentur batu. Orang tua Kalingga yang menerima
kabar tersebut pun panik dan langsung menuju rumah sakit.
"Maaf,
Sus. Mau tanya, kamar Anggrek nomor 15 sebelah mana, ya?" tanya ibu
Kalingga yang sedang panik.
"Oh,
lurus belok kanan, Bu, kamar yang sisi sebelah kanan," balas suster
tersebut.
"Terima
kasih ya, Sus," ucap ibu Kalingga.
"Sama-sama,
Bu," balas suster.
"Ibu
tenang dulu, Bu, Kalingga sepertinya sudah baik-baik saja, buktinya tadi dia
masih bisa menelepon kita," ucap Tara yang mencoba menenangkan istrinya.
"Iya,
Yah, tapi Ibu khawatir," balas istrinya.
"Ini,
Bu, kamar nomer 15-nya," ucap Tara.
***
"Kamu
kenapa bisa seperti ini, Ga? Ibu khawatir sekali," ujar sang ibu.
"Sudah,
Bu, jangan menangis terus, Kalingga sudah pulih, kamu sudah sehat kan,
Ga?" Suaminya selalu menenangkan istrinya itu sambil menanyakan kabar
Kalingga yang terbaring di rumah sakit.
"Iya,
Yah, Bu, Kalingga sudah tidak apa-apa, berkat Renjana yang sudah merawat dan
menemani Kalingga sampai siuman," ucap Kalingga
"Terus,
sekarang di mana temanmu itu yang tadi kausebutkan itu, Ga? Ibu dan Ayah tidak
melihatnya sedari tadi," tanya ibunya yang kebingungan.
"Iya,
di mana temanmu itu, Ga?" Tara yang juga menanyakan keberadaan Renjana.
"Loh,
ini Renjana di sini, Yah, Bu, sedari tadi duduk di sampingku," balas
Kalingga.
Tara
dan istrinya kebingungan. "Oh, iya, Ayah dan Ibu keluar sebentar, ya,
mungkin kalian butuh waktu untuk mengobrol," ucap Ibu. Ibunya langsung
menarik suaminya keluar dari ruangan tersebut dengan sesegera mungkin.
"Yah,
sepertinya ada yang salah dengan anak kita, bagaimana bisa ia bicara seperti
itu, padahal memang tidak ada orang sama sekali selain kita bertiga di ruangan
tersebut tadi?" tanya sang Ibu.
"Ayah
juga merasa aneh, Bu, merasa ada yang aneh dengan anak kita, apakah karena
kepalanya habis terbentur jadi bicaranya mengacau?" balas Tara.
"Ayoo,
Yah, kita tanya langsung saja ke dokter yang menangani anak kita," ajak
istrinya untuk menemui dokter.
"Ya,
sudah. Ayo, Bu," balas Tara.
"Dok,
kami ingin bertanya, sebenarnya ada apa dengan anak kami? Kenapa anak kami
seolah membicarakan orang yang tidak ada? Apakah anak saya gila, Dok? Atau,
karena pengaruh terbentur kepalanya?" Ibu Kalingga yang sedang bertanya ke
dokter tersebut dengan raut wajah yang serius.
"Begini
ya, Pak, Bu. Setelah kami periksa lebih lanjut, kami menemukan bahwa sebenarnya
Kalingga mengidap skizofernia,"
ucap Dokter.
"Itu
penyakit apa, Dok?"
"Skizofrenia
sendiri merupakan gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Ketika
menyerang seseorang, skizofrenia akan membuat pengidapnya mengalami delusi,
halusinasi, kekacauan dalam berpikir, mengasingkan diri dari orang lain, hingga
mengalami perubahan perilaku," balas Dokter.
Mendengar
penjelasan dokter, suami-istri itu menangis. Mereka menyalahkan diri karena
terlalu sibuk bekerja dan mengatur Kalingga sebagai anak. Mungkin, jika saja
mereka lebih perhatian kepada Kalingga, memberikan kasih sayang sepenuhnya
untuknya, anak itu tidak akan mengalami hal buruk seperti ini. Membuat dunia
sendiri dalam imajinasinya, karena ingin mendapat kasih sayang dari seseorang.
Cerpen ini ditulis oleh:
1.
Tiaramarcellinaputri
2.
Misnati
3.
Indah Arum Laraswati
4.
Kavita
5.
Aknes Wulandari
Posting Komentar