[CERPEN] Titik Ikhlas
Sepatu pantofel hitam milik Fathur
melayang, mengakhiri perdebatan menyebalkan di pagi hari. Pria yang usianya tak
kurang dari 48 itu mengatur napasnya, ditenangkan sang istri dengan usapan di
punggung. "Sabar, Mas."
"Gimana mau sabar? Anak itu makin
lama makin ngelunjak!" keluh Fathur, intonasinya tak santai.
Afshin merutuk di sepanjang perjalanan.
Setelah bersitegang dengan sang ayah, ia memutuskan untuk menenangkan diri
dengan menyendiri di pojok kafe. Ini tahun pertamanya di perguruan tinggi,
gadis 18 tahun itu berkeinginan besar menempuh jurusan Teknik Mesin, tetapi
sang ayah menentang keras, bersikukuh memasukkannya ke jurusan yang benar-benar
tidak ia inginkan—Tata Boga.
Alasannya klise, Fathur ingin
sang putri menjadi pewaris perusahaan kulinernya.
Masih ada tiga puluh menit lagi sebelum
kelas pertama dimulai. Ponsel bergetar, nama sahabatnya terpampang di layar.
Meskipun Afshin selalu terlambat masuk kelas, Fatimah tetap berbaik hati
menghubunginya tiga puluh menit sebelum kelas dimulai. Kali ini ia mengangkat
panggilan dari Fatimah yang biasanya selalu diabaikan.
"Kamu masuk, 'kan, di kelas nanti?
Udah ketinggalan banyak materi." Fatimah to the
point.
Afshin menggerutu, menceritakan tentang
perdebatannya dengan sang ayah tadi. Berkali-kali ia menyalahkan Fathur yang
memaksanya masuk jurusan Tata Boga. Jauh dari passhion-nya.
"Pilihan orang tua pasti yang
terbaik," Fatimah menasihati. Yang langsung
diputus sambungannya oleh Afshin.
Ia sedang tidak ingin mendengar nasihat
apa pun. Bagaimanapun, ia kesal dengan sikap sang ayah yang selalu menuntut dan
tak pernah memberi haknya untuk bersuara. Bahkan, saat akan menikahi Hilya,
Fathur tak meminta persetujuan apa-apa darinya.
Meski enggan, gadis semampai itu tetap
mendatangi kampus. Bukan menuju gedung fakultasnya, ia menemui teman-teman
lelakinya di kantin Fakultas Teknik. Tidak peduli jika terlambat, ia justru
memesan makanan dan membantu mereka mengerjakan tugas.
"Ngapain ke kelas kalo telat?
Mending bolos aja!" Farid memang tukang kompor handal, ia menyindir Afshin
yang tak pernah serius kuliah.
"Niatnya gitu, tapi gue harus tetep
hadir daripada dimutilasi sama Bokap," Afshin menjawab semaunya.
Keempat temannya ternganga. Mereka hanya
bisa geleng-geleng melihat tingkah laku Afshin. Sudah berulang kali mereka
menasihati dan mendukung Afshin supaya serius dengan kuliahnya, tapi tetap
saja.
***
Afshin memasuki kelas dan langsung
diserbu tatapan sinis oleh dosen serta beberapa teman seangkatannya. Sudah
biasa, ia langsung mengambil posisi duduk di samping Fatimah. Baru lima menit,
dosen menginterupsi, "Kelas hari ini saya cukupkan di sini. Terima
kasih."
Fatimah langsung berdiri dan mengajak
Afshin menuju masjid kampus, merayu sahabatnya melaksanakan salat Duha. Namun,
Afshin menolak. "Gue tunggu di luar aja."
Gadis berkerudung itu menghela napas,
bagaimanapun ia tidak bisa memaksa.
Sementara Fatimah salat, Afshin menunggu
di teras, mengambil posisi bersandar di pilar. Beberapa menit berlalu dengan
lamunan, ia memutuskan membasuh wajah di tempat wudu lantaran mengantuk. Namun,
saat akan memutar keran, ia justru memegang tangan seseorang. Lelaki itu
terlonjak, tampak jelas dari ekspresinya yang menegang.
"Ah, maaf. Gue gak sengaja,"
sesal Afshin.
Lelaki
itu mengangguk singkat. "Ini tempat wudhu laki-laki, kamu salah
tempat." Ia mengulangi wudunya.
Afshin merutuki dirinya yang ceroboh.
Perkataan lelaki itu membuatnya langsung meninggalkan tempat wudu dengan
perasaan malu. Afshin berlari mendapati Fatimah tengah mencarinya. "Gue
salah tempat, malu banget!"
Tanpa menunggu ditanya, Afshin
menceritakan kejadian tadi sambil terus merutuki diri. Ucapannya terhenti saat
melihat lelaki tadi memasuki masjid. Fatimah mengikuti pergerakan mata Afshin,
pandangannya terkunci pada sosok pemuda dengan postur tubuh tinggi gagah.
Ketampanannya standar, tapi auranya yang tenang memberi kesan plus tersendiri
di mata kaum hawa.
"Ganteng juga, ya, adem."
Afshin tertawa.
"Dia nggak pernah absen sholat
Dhuha di sini," ujar Fatimah tiba-tiba.
"Lo kenal cowok tadi?" Bola
mata Afshin melebar, tentu saja ia penasaran.
"Enggak, tapi kayanya dia kakak
tingkat."
Afshin tidak dapat menyembunyikan rasa
penasaran terhadap lelaki yang membuatnya malu sekaligus terpana dalam satu
waktu. Dia bahkan terus menyosor Fatimah dengan pertanyaan-pertanyaan tidak
bermutu.
"Mending setiap hari kamu temenin
aku ke sini, sekalian ikut sholat. Siapa tau hatimu terketuk buat taubat."
Ucapan terakhir Fatimah berhasil membuat
senyum girang Afshin seketika berubah menjadi lirikan tajam.
***
Afshin merasa lelah, seakan dia tidak
memiliki hak untuk memilih jalan hidupnya. Apa yang dilakukan selalu berada di
bawah tekanan sang ayah. Bahkan untuk urusan pribadi saja, Fathur selalu
mengekang Afshin mengikuti aturannya.
Tidak ada hari tanpa pertengkaran. Tadi
pagi, disertai ancaman, Fathur memintanya ke restoran sepulang kuliah untuk
diajari bisnis. Bahkan penolakan Asfhin ditanggapi dengan amukan. Sementara
ayahnya tahu, jika provesi yang sejak dulu dia harapkan bukanlah menjadi
pengusaha kuliner, melainkan ingin memiliki beberapa cabang bengkel.
Gadis itu mengacak-acak rambutnya
frustasi, berjalan gontai dengan pikiran kosong, menatap lurus ke depan. Detik
kemudian, dalam benaknya terlintas untuk bunuh diri. Tanpa ragu, Afshin
berjalan menuju jalan raya, tepat ketika sebuah mobil melintas.
"Lebih baik gue mati!"
teriaknya, menutup mata. Lantaran tidak merasakan apa pun, ia mencoba membuka
matanya secara perlahan.
"Mbak gila, ya? Kalau tadi Mbak
ketabrak, saya juga yang salah!"
"Di dalem majikan saya syok, kalau
kenapa-napa Mbak mau tanggung jawab?!"
Rentetan omelan sang pengemudi membuat Afshin membeku. Hingga setelah
beberapa saat, seorang pemuda akhirnya turun dari mobil, mengisyaratkan sang
sopir agar kembali naik.
Afshin terkejut, dia ....
"Saya nggak tau masalahmu, tapi
seberat apa pun, jangan pernah coba-coba melakukan bunuh diri. Itu dosa
besar!"
Usai nasihat singkat itu, si pemuda
kembali memasuki mobil. Sedangkan Afshin masih berdiri di tepi jalan, mencerna
yang baru saja terjadi.
Merasa tidak memiliki arah, Afshin
melanjutkan niatannya ke kampus. Seperti biasa, ia tidak langsung ke kelas.
Tujuannya kali ini adalah kantin, berkumpul dengan teman-teman satu gengnya.
"Muka lo kusut gitu, Shin?"
tanya Tejo.
Bukan menjawab, Afshin langsung
mengambil minuman yang tersuguh di meja. Tanpa memedulikan siapa yang punya, ia
menenggaknya begitu saja. Kejadian tadi membuat tenggorokannya terasa kering.
"Minum gue!" celetuk Galih,
dibalas Afshin dengan tatapan malas. Lelaki itu bahkan mengomel tidak karuan.
"Lo kenapa, sih? Berantem lagi sama
bokap lo?" tanya Asman, mengalihkan keributan.
Afshin mengedikkan bahu. Ia memang
sering bercerita tentang problematika keluarganya pada mereka. Bagi Afshin,
mereka seperti rumah yang selalu ada untuknya.
Di tengah obrolan, pandangan Afshin
tertuju pada pemuda yang dijumpainya tadi. Ia berjalan seorang diri.
"Eh, lo mau ke mana?" tanya
Farid, saat melihat Afshin berdiri.
"Kepo!" Dia mengikuti langkah
laki-laki itu, kemudian berhenti di depan masjid kampus saat melihatnya masuk.
"Dia nggak pernah absen sholat
Dhuha di sini." Ucapan Fatimah terngiang kembali. Tanpa sadar, ketaatannya
mampu meluluhkan hati Afshin hingga melahirkan perasaan kagum.
Lantaran kejadian tadi, Afshin semakin
dihantui rasa penasaran. Dia mulai sering mengamati pemuda itu. Hingga akhirnya
mengetahui jika namanya adalah Farhan Alfi Fadhilah, ia merupakan kakak
tingkatnya dari jurusan PAI.
***
Afshin mengembuskan
napas lega begitu selesai berkutat dengan tugas kuliahnya. Sangat membosankan,
berbanding terbalik dengan alat-alat mesin. Di saat semuanya berhamburan keluar
kelas, ia masih setia di kursi. Otaknya sibuk memikirkan Farhan. Seakan ada
magnet yang membuat wajah lelaki itu melekat kuat.
"Astaghfirullah,
Afshinara Aurelia Zahra!" Fatimah geram, Afshin tak kunjung merespon
panggilannya. Gadis itu baru tersadar setelah ia melambaikan tangan tepat di
wajah.
"Nggak mau
pulang?"
"Gawat!"
Pekikan Afshin yang tiba-tiba membuat Fatimah terkejut. "Bokap gue nyuruh
pulang cepet kemarin!" Tanpa meninggalkan sepatah kata pun, Afshin berlari
keluar kelas.
"Fat, maaf, gue
pulang duluan, ya!"
Hanya beberapa menit
Afshin telah sampai di rumah, ia memarkirkan motor kesayangannya dan masuk
tanpa salam. Sambutan Hilya bahkan sama sekali tak dihiarukan.
"Jangan lupa bersiap-siap, setelah itu temui
kami di ruang tamu." Suara berat ayahnya juga tidak dia respon. Afshin melenggang
begitu saja.
Usai membersihkan diri, Afshin turun ke ruang tamu
dan terkejut melihat Farhan di sana. Wajah teduh itu sejenak mampu menenangkan
hatinya.
"Duduk,
Sayang." Ibu tiri Afshin menepuk kursi kosong di sisinya, tetapi gadis itu
memilih tempat yang lain.
Fathur mengenalkan
tamunya pada sang putri, menyebut jika ayah Farhan adalah sahabatnya sejak
kuliah. Berita itu sama-sama membuat Afshin maupun Farhan terkejut. Terakhir
mereka bertemu saat Afshin bayi dan Farhan masih berusia dua tahun. Hingga
akhirnya, kini takdir mempertemukan mereka kembali.
"Nggak nyangka,
Afshin yang dulu masih merah sekarang udah jadi gadis cantik." Alfi
tersenyum melihat Afshin.
"Farhan juga
kelihatan tampan dan berwibawa, persis kita waktu muda." Fathur terkekeh.
Candaan itu membawa kedua keluarga terlibat dalam obrolan hangat.
"Gimana kalau kita
jodohin anak kita, Fi?" ujar Fathur tiba-tiba.
Farhan terkesiap.
Sementara Alfi dan Wanda saling pandang mendengar penuturan Fathur. Mengingat
kondisi putranya, mereka hanya tersenyum.
Berbanding terbalik
dengan Afshin, gadis itu seakan memiliki peluang besar untuk bersanding dengan
Farhan.
***
Afshin masih mematut
dirinya di depan cermin. Begitu tiba di kampus, dia memutuskan untuk langsung
pergi ke toilet. Entah mengapa penampilannya kali ini harus benar-benar
sempurna, dia tidak mau ada yang kurang.
"Ini penampilan
gue aneh nggak, ya? Jangan sampe dia malah ilfeel liat gue yang
sekarang." Gadis itu bergumam.
Sebuah pesan masuk ke
ponselnya, membuat Afshin buru-buru mengecek notifikasi. Ternyata itu pesan
dari Farhan. Sejak pertemuan dengan keluarga Farhan Minggu lalu, keduanya mulai
dekat. Namun, sikap Farhan masih terlalu kaku membuat Afshin semakin penasaran.
Kini, ia memutuskan untuk berubah.
"Oke, saatnya lo
tarik perhatian dia.” Afshin menatap dirinya di depan cermin. Ia percaya jika
penampilannya yang sekarang mampu meluluhkan hati Farhan.
Sementara itu, sudah
nyaris 15 menit Farhan duduk sendiri di kantin. "Kalau lima menit lagi dia
masih belum dateng, sebaiknya aku pulang," putus Farhan, melirik arlogi
hitam yang melingkari lengan kurusnya.
Farhan beranjak dari
kursinya setelah lima menit. Saat akan melangkah, sebuah salam terlontar menghentikan
pergerakannya. Dia menatap perempuan itu tanpa berkedip.
"Wa’alaikumussalam."
"Maaf, ya, aku
terlambat."
Farhan hanya
mengangguk. Ada yang berbeda dari Afshin, perempuan yang biasanya memakai jeans
dan kaos oblong itu kini tampil anggun dengan balutan gamis dan kerudung segi
empat menutup dada.
"Kamu beneran
Afshin?" tanya Farhan, memastikan bahwa penglihatannya normal.
"Iya, aku
Afshin." Afshin tersenyum.
"Tapi penampilan
kamu ...."
"Kenapa? Aneh, ya?
Apa aku nggak cocok berpenampilan kayak gini?"
Farhan menggeleng.
"Nggak, bukan gitu, tapi beda aja. Kenapa penampilan kamu tiba-tiba
berubah?"
Afshin mengajak Farhan
untuk kembali duduk.
"Sebenernya ini
ngak tiba-tiba. Aku merenung, kayaknya hidupku selama ini jauh dari kata baik.
Kakak pernah bilang hidup itu perjalanan, aku sadar terlalu jauh tersesat,
nggak punya arah. Aku ngerasa perlu bertaubat dan mendekat sama Allah."
Farhan terpaku. Tidak
menyangka jika gadis tomboi yang ada di hadapannya berubah dalam waktu
seminggu. Dia berharap niat Afshin benar-benar lillah. Tanpa sadar,
senyuman tipis tersungging di bibirnya.
***
Farhan duduk bersandar
di headboard, membuka-buka album foto keluarga dengan posisi
berselonjor. Sesekali sudut bibirnya terangkat melihat betapa bahagia kedua
orang tuanya dahulu. Tidak seperti sekarang, tampak lelah dan banyak pikiran.
Fokusnya pudar begitu
mendapati darah menetes mengenai wajah kedua orang tuanya dalam foto. Spontan,
tangannya menyapu hidung yang terasa basah. Pusing yang sejak tadi mendera
seakan kian menyiksa.
"Mimisan
lagi." Gumamnya, berusaha tenang. Beringsut mengambil tisu di atas nakas
dan berupaya menghentikan darah yang keluar tanpa meminta bantuan.
Sudah beberapa hari ini
Farhan merasa kondisinya melemah. Kelelahan ekstrem, pusing, hingga nyeri tulang
dan sendi membuatnya sulit untuk menjalani kegiatan sehari-hari. Bahkan, hari
ini dia merasakan napasnya terengah-engah. Sedikit merutuki diri lantaran
memaksakan mengikuti kegiatan kuliah tatap muka saat jeda kemoterapi.
Di tengah paniknya
menyeka darah yang terus keluar dalam jumlah banyak, Farhan terngiang tentang
perbincangan kedua orang tuanya tiga tahun silam.
"Udah, Ma, ...,
dokter juga bilang kalau leukemia Farhan masih bisa diatasi, 'kan?" Alfi
berusaha menenangkan.
"Orang tua mana
yang sanggup melihat anaknya menderita? Nyatanya perjalanan untuk sembuh nggak
semudah itu, Farhan anak kita satu-satunya! Mama nggak siap kalau terjadi
apa-apa."
Farhan tergeming,
matanya berkaca-kaca. Masih teringat jelas bagaimana tangisan sang mama dan
kekhawatiran di matanya. Seperempat jam dia mencoba menghentikan mimisan.
Namun, darah yang sama sekali tidak mereda membuatnya bimbang. Ini tidak lazim!
Kelemahan bahkan mengambil alih.
Di dapur, Wanda sibuk
menyiapkan makan siang untuk dibawa ke kamar putranya. Pemandangan pertama yang
dia lihat adalah Farhan yang terbaring di kasur dengan posisi miring. Kepanikan
merayapi begitu Wanda melihat tisu-tisu penuh darah yang terkumpul di atas
nakas, sementara darah masih mengalir dari hidung Farhan dan menodai seprai putihnya.
"Farhan ..., kamu
mimisan? Kenapa banyak sekali?" Wanda mencoba membangunkan putranya dengan
penuh rasa cemas. Tangisnya luruh menyadari Farhan pingsan. Segera diraihnya
ponsel di atas nakas dan menghubungi ambulans.
***
"Mimisan Farhan yang tidak kunjung berhenti diakibatkan
oleh trombositopenia, di mana jumlah trombosit menurun secara signifikan. Kemampuan
darah untuk membeku terganggu."
"Setelah melakukan serangkaian tes dan
pemeriksaan, hasil mengindikasikan bahwa Leukemia Limfoblastik Akut yang Farhan
derita telah mencapai stadium tinggi risiko," dokter menjeda ucapannya,
"ini berarti, pengobatan konvensional yang kami berikan selama ini tidak
lagi cukup untuk mengendalikan perkembangan penyakitnya. Terapi lebih intensif
mungkin diperlukan untuk menanggulangi."
"Ini nggak masuk
akal. Kami sudah melakukan pengobatan sesuai anjuran, kemoterapi intensif juga
sudah dijalankan. Kenapa kondisi Farhan semakin buruk?!" cecar Alfi.
"Kami semua
berharap pengobatan berjalan dengan lancar. Namun, LLA dapat bermanifestasi
dengan cara yang berbeda pada setiap individu. Ini bisa disebabkan oleh
beberapa faktor. Termasuk terjadinya mutasi genetik, perkembangan penyakit,
toleransi obat, ataupun gaya hidup."
Alfi terdiam. Dokter
melakukan wawancara mengenai aktivitas Farhan dan pola makannya, menjelaskan
rencana pengobatan yang akan dilakukan beserta efek sampingnya secara
terperinci. Mulai hari itu, Farhan melanjutkan perjuangannya di rumah sakit.
***
Afshin duduk di teras
masjid, pikirannya tertuju pada Farhan. Sudah beberapa minggu lelaki itu hilang
bak ditelan bumi.
"Kamu Afshin,
'kan?" Seorang lelaki menghampirinya.
Afshin mengangguk.
"Siapa, ya?"
"Aku Rafi,
sahabatnya Farhan."
"Sahabatnya Kak
Farhan? Berarti kamu tau, kenapa Kak Farhan lama gak berangkat?"
Rafi mengangguk dalam
kebisuan. "Kebetulan sekarang aku mau nemuin dia."
Rafi mengajak Afshin
untuk ikut. Gadis itu langsung setuju, ia sangat penasaran dengan keberadaan
Farhan saat ini.
Di sepanjang
perjalanan, perasaan Afshin tidak tenang. Pikirannya terus berkecamuk,
menerka-nerka tentang apa yang sebenarnya terjadi. Hingga mereka tiba di sebuah
rumah sakit dan melihat kedua orang tua Farhan tengah duduk di depan ruang
rawat. Wajahnya penuh kesedihan.
"Om, Tante, kenapa
di sini? Kak Farhan?" Afshin tidak dapat lagi menyembunyikan
kekhawatirannya.
Wanda berdiri,
mengisyaratkan Afshin agar mendekat.
"Farhan sedang
berjuang di dalam sana. Kanker darah telah merenggut separuh harapan hidupnya,
sekarang kondisi Farhan sedang drop dan dia nggak bisa ditemui." Ia berusaha
menjelaskan kondisi Farhan setenang mungkin. Padahal hatinya tidak sanggup
melihat putranya terbaring tak berdaya. Jika bisa, dia ingin menanggung semua
rasa sakit yang selama ini Farhan derita.
Afshin terkejut
mendengar penuturan Wanda. Air matanya mengalir begitu saja, dadanya sesak
mendengar kenyataan pahit ini. Hatinya sakit menyaksikan Farhan yang tengah
berjuang antara hidup dan mati. Seketika itu, perkataan Farhan beberapa minggu
lalu kembali terlintas di kepalanya.
"Semoga tujuan
hijrahmu bukan semata-mata karena manusia, tapi karena Allah. Karena manusia
tidak ada yang abadi. Kalau kamu hijrah karena manusia, kamu akan kehilangan
alasan ketika manusia itu pergi. Jadi, berhijrahlah karena Allah agar kamu
tidak mempunyai alasan untuk berhenti."
***
Wanda menatap sendu
putranya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit, jauh dari Farhan yang
biasanya ceria dan penuh semangat. Sudah empat minggu, perawatan intensif yang
diberikan tak kunjung membuahkan hasil baik.
Sebagai ibu, hati Wanda
teriris melihat putranya terus-terusan tersiksa oleh penyakit. Tubuhnya semakin
kurus, tatapan yang dulu penuh semangat kini sayu. Napasnya sukar meski dibantu
oksigen. Jelas bahwa Farhan tengah menahan sakit yang teramat.
"Sel-sel kanker
telah menyebar dengan cepat dan cukup luas dalam tubuh Farhan. Meskipun kami
telah melakukan berbagai upaya, respons tubuhnya terhadap pengobatan kuratif
sangat terbatas," jelas dokter sore itu.
"Apa tidak ada
alternatif lain untuk kesembuhan Farhan, Dok?" tanya Alfi, nyaris tak bersuara.
Sementara Wanda menggigit bibir menahan tangisnya.
"Maaf, kami telah
mencoba melakukan yang terbaik, tapi penyakit ini telah mempengaruhi tulang
sumsum dan organ vitalnya, tubuhnya menjadi resisten terhadap pengobatan yang
diberikan." Dokter menghela napas. "Kami menyarankan agar beralih ke
perawatan paliatif yang bertujuan untuk menjaga kenyamanannya. Doa adalah
ikhtiar terbaik yang bisa kita lakukan saat ini."
Tak henti-hentinya
Wanda menangis, menggenggam erat tangan dingin putra semata wayang, berharap
bahwa akan ada keajaiban yang datang. Sementara Alfi diam, menatap pemandangan
itu dengan kepiluan.
Tarikan napas Farhan
yang penuh perjuangan membuat Alfi maupun Wanda seketika panik. Tatapannya
kosong menghadap langit-langit rumah sakit, buliran bening mengalir dari sudut
matanya. Urat lehernya menegang.
Menyadari putranya
sedang menghadapi sakaratulmaut, Alfi mengurungkan niatnya memanggil dokter.
"Asyhadu allaa
ilaaha illallah ... wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah ...."
Wanda terisak keras,
sementara Alfi tak mampu lagi menahan tangis. Tepat setelah menyelesaikan
syahadatnya dengan tersendat, mata yang selalu memancarkan keteduhan itu
tertutup rapat.
Kabar kepergian Farhan
menyebar pesat. Rafi yang saat itu masih di kampus langsung bergegas menuju
rumah sakit dengan tangisnya, berlari mengabaikan tatapan-tatapan heran yang
dilayangkan padanya sepanjang koridor.
Sepanjang langkah,
ingatannya mengelana pada jawaban Farhan saat ditanyai olehnya tentang wanita
idaman di masa depan. Farhan menjawab dengan tenang, "Afshin. Tapi aku
nggak tau, pernikahan atau justru kematian yang lebih dulu aku hadapi."
Kata-kata itu membuat
Rafi tertohok. Farhan tersenyum, senyuman tulus yang bahkan tidak mampu Rafi
tunjukkan saat itu.
"Makasih banyak,
ya, Fi, udah jadi sahabat terbaik selama ini. Kalau misal nanti ... ajal yang
lebih dulu jemput aku, tolong yakinkan Mama sama Papa supaya mereka
ikhlas."
"Lo ngomong apa,
sih? Gue yakin lo pasti sembuh, kok!" marah Rafi.
Farhan tersenyum lagi.
"Bukannya pesimis, tapi ajal nggak ada yang tau, 'kan?"
***
Di sisi lain, Afshin
masih membeku mendengar kabar kematian Farhan—lelaki yang dicintainya dalam
diam. Tatapannya kosong memandang rumah sakit Dharmais, rumah sakit khusus
kanker tempat Farhan dirawat empat minggu ini.
Sebelumnya, ia memang
berniat menjenguk Farhan bersama sang ayah. Namun, di perjalanan mereka
dikejutkan dengan kabar duka. Entah kenapa rasa sesak itu mengingatkannya pada
kepergian sang bunda dua tahun lalu. Sakit. Pedih yang menyeruak membuat gadis
itu tak mampu berekspresi selain dengan tangis.
Terlebih saat Afshin
melihat sendiri jasad Farhan yang sebagian dibalut kain putih. Kurus, wajah
pucatnya terpejam tenang, rambut yang dulu lebat kini habis. Menyiratkan
bagaimana kerasnya perjuangan Farhan melawan penyakit.
Seketika Afshin
menyadari kekhilafannya, ia telah salah dalam memulai niat berhijrah. Tujuannya
selama ini bukan untuk Allah, melainkan demi meluluhkan hati salah satu
makhluk-Nya. Sekarang, mahkluk itu bahkan sudah kembali ke pangkuan-Nya.
Kepergian Farhan
mendorong Afshin untuk benar-benar berubah, berbenah menjadi pribadi yang lebih
baik dari sebelumnya. Ditemani Fatimah, Afshin bertekad untuk istiqamah dengan
kerudungnya, mematuhi perintah orang tua, serta berusaha menjadi mahasiswi
berprestasi di kampus.
Farhan membuatnya
sadar, bahwa masa depan sesungguhnya adalah ‘kematian’.
"Segala sesuatu
yang dilakukan tidak karena Allah maka akan berbuah kecewa." Fatimah
memeluk Afshin. "Ikhlaskan, perbaiki niat. InsyaAllah masih ada
Farhan-Farhan lain di luar sana."
Cerpen ini ditulis
oleh:
1. Farihah Albara
2. Aisyah Nur Zaidah
3. Nazella Tsabitah
Azzahra
4. Iis Sumiati
Posting Komentar