[CERPEN] Just an Illusion - Eps. 02
“Kamu
mau beragkat jam berapa?” tanya Rama dari telepon yang terhubung di handphone Kalingga.
“Jam
8 aja, deh. Udah nggak ada pelajaran lagi, bebas. Paling nanti gabut doang di
kelas,” jawab Kalingga.
“Denger-denger
nanti ada acara gladi bersih buat acara kelulusan, Ga. Mulainya mungkin agak
siangan. Ya udah, jam 8 aja. Nanti langsung ketemuan di kelas, ya.”
“Oke,
Ma,” ucap Kalingga mengakhiri percakapan di telepon.
Kalingga
menaruh handphone-nya di meja.
Kemudian, mencoba meregangkan badannya, mengumpulkan niat dan tenaga untuk
beranjak dari kasur yang empuk itu. Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi. Mata
Kalingga belum sepenuhnya terbuka. Dia langsung menuju kamar mandi untuk
mencuci muka dan sikat gigi.
Sementara
di ruang makan sudah ada kedua orang tua Kalingga yang menunggu untuk makan
bersama. Ayah Kalingga seperti tergesa-gesa karena ingin segera berangkat ke
kantor. Dia berjalan ke lantai atas menuju ke kamar Kalingga untuk mengajaknya
makan bersama.
“Kalingga,
cepat sini makan,” panggil Pak Tara (ayah Kalingga) dari luar kamar Kalingga.
“Iya,
Yah!” jawab Kalingga dari dalam kamar. Pak Tara kemudian melangkah turun ke
lantai bawah setelah mendengar jawaban dari Kalingga.
Kalingga
yang sudah keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya pun langsung keluar
dan berjalan turun ke lantai bawah untuk ke meja makan karena mendengar
panggilan dari ayahnya.
“Ayo
sarapan, Nak,” ajak Bu Rengganis (ibu Kalingga) sambil mengambilkan nasi dan
lauk untuk Kalingga makan. Kalingga mengambil tempat duduk dan segera memakan
makanan yang sudah disiapkan. Baru menyantap suapan pertama, ayah Kalingga
berkata, “Nanti setelah Ayah pulang dari kantor, ada yang Ayah mau bicarakan ke
kamu.”
“Tentang
apa, Yah?” tanya Kalingga. “Nanti kamu juga tau sendiri,” jawab Pak Tara, “Ayah
berangkat ke kantor dulu ya, Ga, Bu,” sambungnya. Pak Tara memberikan tangan
kanannya kepada Kalingga. Dia langsung mencium tangan ayahnya itu. Begitu juga
ke Bu Rengganis.
Saat
Bu Rengganis selesai mencium tangan Pak Tara, Kalingga berkata, “Kenapa enggak
sekarang aja, Yah? Masih jam 6 pagi.”
Pak
Tara menghela napas pendek. “Nanti kita bicarakan, Nak. Perjalanan dari rumah
ke kantor Ayah cukup jauh. Ayah nanti ada meeting.
Jadi, harus berangkat lebih pagi. Ayah mau berangkat ke kantor dulu, ya. Assalamualaikum.”
“Iya,
Yah. Hati-hati di jalan,” ucap Bu Rengganis kepada Pak Tara yang langsung pergi
meninggalkan ruang makan. “Makasih, Bu.”
***
“Udah
datang dari tadi, Ga?” tanya Rama yang baru saja masuk ke ruang kelas dan berjalan
menghampiri Kalingga. Rama adalah teman Kalingga yang paling setia. Dari kelas
X, mereka sudah berteman dekat. Satu angkatan kelasnya, Rama paling tau tentang
Kalingga. Begitu juga sebaliknya.
“Belum
lama, Ma. Masih sepi juga kelasnya,” ucap Kalingga sambil melihat sekeliling.
Bisa dibilang, Kalingga ini menjadi murid yang paling terkenal di kelasnya
karena berasal dari keluarga kaya. Namun, Kalingga tetap berperilaku apa
adanya, menyesuaikan dengan teman dekatnya, Rama, yang berasal dari keluarga
sederhana.
Rama
kemudian duduk di samping Kalingga dan menaruh tas yang hanya berisikan handphone, satu buku tulis, dan bolpoin.
"Kita
bentar lagi mau lulus, Ga. Waktu berlalu cepet banget, ya? Kita udah 3 tahun
kenal dan melalui keseruan SMA bareng-bareng," ucap Rama memulai topik
pembicaraan.
Kalingga
yang sedang bermain handphone
langsung mengangguk setuju, "Iya, bener banget, Ma. Tapi aku yakin masa
depan kita bakal lebih seru. Udah kepikiran mau ngapain setelah lulus?"
Kali ini, Kalingga mulai menatap ke arah wajah Rama.
Mereka
mulai membayangan masa depan. "Aku ngebayangin mau kuliah di bidang seni.
Pengen ngembangin bakat melukisku dan mungkin bikin pameran seni sendiri suatu
hari nanti," jelas Rama.
Kalingga
tersenyum, "Itu keren, Ma! Aku yakin karya-karyamu pasti bagus-bagus. Aku
sendiri mikirnya mau coba bisnis. Tapi bukan kuliah, melainkan langsung terjun
di dunia kerja. Mulai kerja dari nol. Aku pengen suatu hari nanti bisa bikin lapangan
kerja sendiri." Kalingga memang dari keluarga yang kaya raya, tetapi dia
tidak mau terus-terusan bergantung dengan keluarganya. Kalingga berniat untuk
mandiri.
"Mantap,
Ga! Kita masih bisa saling dukung satu sama lain nanti, kan?" Rama berkata
sambil menepuk bahu Kalingga.
Kalingga
tersenyum dan mengangguk setuju, "Iya, pastinya. Kita nanti akan jarang
sekali bertemu. Bahkan akan menjadi asing."
"Bener,
kita mungkin akan jarang bertemu. Tapi kita masih bisa berkomunikasi lewat handphone, kok,” ucap Rama.
Selama
ini, Rama satu-satunya teman yang selalu baik kepada Kalingga. Dari SD,
Kalingga kurang beruntung dalam hal pertemanan. Ditambah dengan orang tua
Kalingga yang selalu sibuk. Oleh karena itu, Kalingga selalu merasa kesepian
dan depresi. Kalingga sempat memeriksakan diri ke psikiater tanpa sepengetahuan
orang tuanya. Sampai sekarang, sesekali Kalingga masih mengonsumsi obat penenang.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Diberitahukan untuk seluruh murid kelas 12 untuk segera menuju ke GOR. Gladi
bersih untuk acara kelulusan akan segera dimulai. Sekian. Terima kasih.” Suara
pengumuman gladi bersih untuk acara kelulusan sudah diberitahukan lewat
pengeras suara dalam kelas. Kalingga, Rama, dan murid lainnya yang ada di dalam
kelas segera menuju ke GOR untuk hadir dalam latihan tersebut.
***
Matahari
sangat panas siang ini. Setelah selesai mengikuti glasi bersih untuk acara
kelulusan, para murid diperbolehkan untuk pulang. Namun, Kalingga kali ini
tidak ingin langsung pulang ke rumah. Terkadang dia akan menghabiskan waktu
dulu ke kafe untuk menikmati secangkir kopi. Kalingga sangat suka sekali dengan
kopi. Dengan motor kesayangannya, dia langsung menuju ke kafe yang menjadi
tempat favoritnya itu.
Setelah
memasuki pintu masuk kafe, Kalingga bisa mencium aroma kopi kesukaannya yang
khas dan nikmat. Tak hanya menyukai aroma dan rasa kopi. Kalingga juga menyukai
pekerjaan menjadi barista. Terkadang, saat menikmati waktu sendiri di rumah,
diam-diam Kalingga belajar meracik kopi untuk dia nikmati sendiri.
Suasana
di kafe itu membuat Kalingga merasa tenang. Seperti biasa, dia memilih tempat
duduk di pojok dekat jendela. Kemudian, dia mulai memesan kopi kesukaannya. Tak
lupa dengan buku bacaannya. Buku adalah barang wajib yang Kalingga harus bawa
jika pergi ke kafe langganannya. Di kafe itu dia merasa nyaman. Berbeda dengan
suasana rumahnya yang sepi tanpa kehangatan.
Setelah
resmi lulus nanti, Kalingga berencana ingin mencoba memulai awal karirnya
dengan bekerja menjadi seorang barista. Kalingga belum bisa memastikan akan
disetujui oleh ayahnya atau tidak. Namun, dengan keberanian yang ekstra, dia
akan mencoba memberitahukan niat itu ke ayahnya.
“Permisi,
Mas. Pesanan kopinya sudah jadi. Selamat menikmati,” ucap pelayan kafe yang ramah
melayani Kalingga dengan penuh senyuman. Selain Rama, Kalingga senang bisa
mendapatkan senyuman hangat dari pelayan di kafe ini. Di rumah, dia hanya
merasakan aura ambisi dari kedua orang tuanya. Mereka lebih mementingan
pekerjaan, sehingga terlihat selalu serius dan cuek.
“Terima
kasih, Mbak,” ucap Kalingga sembari tersenyum, membalas senyuman pelayan itu.
Kemudian, Kalingga langsung menyeruput kopi itu dengan santai. Energi Kalingga
seperti penuh kembali. Energinya sempat berkurang karena bertemu dengan banyak
temannya di sekolah. Iya, Kalingga ini masuk ke tipikal orang introver.
***
Malam
ini, tepatnya pukul 18.30 WIB, Kalingga teringat tentang perkataan ayahnya yang
akan membicarakan sesuatu padanya. Pas sekali sekarang mereka sedang makan
malam. Kalingga ingin menghabiskan makanannya terlebih dahulu sebelum bertanya
kepada ayahnya yang sedang meminum segelas air putih.
“Yah,
apa yang ingin Ayah bicarakan padaku tadi pagi?” ucap Kalingga selepas selesai
menghabiskan makanannya.
Pak
Tara yang sedang bermain handphone pun
langsung menatap anaknya. “Oh, iya. Ayah hampir lupa,” jawab Pak Tara sembari
menaruh handphone-nya di meja makan,
“Ayah sudah mendaftarkan kamu kuliah di universitas ternama. Ayah dan Ibu
pilihkan kamu masuk ke Jurusan Ekononi dan Bisnis,” lanjutnya.
Kalingga
memasang wajah kaget sekaligus bingung dan tanpa pikir panjang kemudian berucap,
“Tapi, Yah, Kalingga mau langsung kerja.”
“Kerja
di mana? Kamu penerus pemimpin perusahaan Ayah, Ga. Kamu harus kuliah.”
“Kalingga
mau mandiri. Selama ini, Kalingga udah terbiasa tanpa kalian. Kalian selalu
sibuk, nggak ada waktu buat Kalingga. Dan, nanti setelah lulus, Kalingga mau
pilih jalan Kalingga sendiri. Kalingga mau jadi diri Kalingga sendiri, Bu,
Yah,” jelas Kalingga dengan spontan.
Keadaan
sekarang menjadi memanas. Kali ini, Kalingga berhasil meluapkan semua emosinya.
Biasanya, Kalingga hanya diam, enggan menyuarakan isi hatinya.
“Ayah
dan Ibu sibuk juga karena bekerja membiayai hidup kamu,” ucap Bu Rengganis
menimpali. Pak Tara mengangguk setuju.
“Benar,
Bu. Kamu sudah Ayah daftarkan ke sana, Ga. Mau nggak mau, kamu harus nurut sama
Ayah, demi nasib perusahaan yang sudah Ayah perjuangkan dari bawah. Demi nasib
keluarga kita juga ke depannya.” Kali ini, Pak Tara menimpali dengan nada tinggi.
Pak Tara berkeras hati ingin anaknya berkuliah. Karena Kalingga anak
satu-satunya, siapa lagi yang akan meneruskan perusahaan Pak Tara jika bukan
Kalingga?
Kalingga
mencoba tenang. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini tak akan berakibat
buruk. Kalingga sudah terbiasa diatur dan dikekang oleh orang tuanya. Jadi,
kali ini dia tidak terlalu kaget dan heran dengan orang tuanya.
“Oke,
Kalingga akan kuliah,” putus Kalingga memasang muka datar.
Pak
Tara yang mendengar ucapan itu merasa lega. “Nah, itu baru anak Ayah. Harus
nurut.”
Suasana
mereda. Kegiatan makan malam segera berakhir dengan rasa kecewa di hati
Kalingga. Ternyata memang benar, keinginan Kalingga tak bisa terealisasikan semulus
yang dia bayangkan. Selama ini, tak ada yang bisa mengerti perasaan Kalingga.
Tekanan demi tekanan selalu Kalingga dapatkan. Untung dia masih mengonsumsi
obat penenang. Setelah makan malam berakhir, Kalingga meneguk air putih
kemudian berjalan perlahan menuju kamarnya.
Sesampainya
di kamar, Kalingga merebahkan badannya di kasur. Mata Kalingga menatap santai
langit-langit kamar, tak sadar air matanya menetes. Hati dan pikiran Kalingga
mulai kacau saat ini. Kalingga merasakan sesal saat menyuarakan emosinya tadi.
Seharusnya dia pendam saja jika pada akhirnya akan overthinking setelah menyuarakan itu.
Sadar
akan sedih dan overthinking-nya yang
makin menjadi, Kalingga langsung bangun dari rebahannya dan mulai mencari obat
penenang yang dia sembunyikan di lemari. Tak ada yang tau dengan obat itu,
hanya Kalingga saja. Kalingga harus meminum obat itu ketika kacau untuk
mengendalikan dirinya. Jika tidak, bisa saja dia akan nekat melakukan hal yang
melukai dirinya sendiri.
Iya.
Luka batin dan kesepian yang selama ini Kalingga rasakan begitu hebat. Semuanya
Kalingga atasi sendiri tanpa bercerita kepada orang lain, bahkan kepada Rama
pun tidak. Dia yakin bisa bertahan di kondisinya saat ini.
***
“Kalingga,
maaf ya, hari ini Ayah sama Ibu nggak bisa nemenin kamu di acara kelulusan kamu
hari ini. Jadwal di kantor padat, dan ada beberapa meeting. Jadi, kami nggak bisa nemenin kamu hari ini. Maaf, ya,”
ujar Pak Tara sembari bersiap-siap untuk berangkat ke kantor dibantu Bu
Rengganis yang memakaikannya dasi.
Setelah
mendengar penjelasan ayahnya itu, seketika hati Kalingga merasa perih.
Bagaimana tidak? Untuk datang ke acara penting putranya saja tidak bisa. Mereka
malah masih mementingkan pekerjaan mereka.
Kalingga
mencoba menyembunyikan sakit hatinya. “Terus Kalingga ditemani siapa, Yah?”
“Ayah
udah bilang ke Rangga untuk datang ke acara kelulusan kamu hari ini,” jawab Pak
Tara.
Yang
akan menemani Kalingga ke acara kelulusannya ialah Rangga. Dia adalah kakak
sepupu Kalingga. Iya, anak dari kakak perempuan ayahnya.
“Oke,
Yah.”
“Sebentar
lagi dia akan sampai ke rumah ini,” jelas Pak Tara, “nah, itu dia sudah
datang,” lanjutnya ketika baru saja melihat Rangga masuk dari pintu utama.
“Halo,
Om, Tante,” sapa Rangga ke Pak Tara dan Bu Rengganis.
Pak
Tara dan Bu Rengganis tersenyum. “Rangga sudah datang, kami berangkat dulu ya, Kalingga,”
ucap Pak Tara.
Rangga
dan Kalingga langsung menatap satu sama lain dan tersenyum.
“Oke,
Yah.”
***
Hari
ini semuanya berpakaian gagah dan anggun, tak terkecuali Kalingga. Namun,
senyum Kalingga tidak sama dengan yang lain. Pada saat teman-temannya
didampingi orang tua di hari kelulusan, Kalingga tidak begitu. Orang tau
Kalingga yang sangat sibuk sampai-sampai tidak bisa ikut mendampingi putranya
pada hari yang penting ini, hari kelulusan anak mereka satu-satunya.
“Gimana?
Udah siap kamu?” kata Rangga dengan senyuman yang terukir di wajahnya.
“Siap,
Bang.” Kalingga ikut tersenyum. Meski orang tuanya tidak bisa mendampingi, ada
Rangga bisa dibilang kakak yang ramah dan baik.
“Kamu
kumpul sama temen-temenmu sana. Abang duduk di sini, ya,” ucap Rangga lagi.
Kalingga membalas dengan senyuman lagi dan segera berkumpul bersama
teman-temannya. Acara sudah ditata dengan rapi. Semua murid dan wali murid
sudah datang. Acara pun segera dimulai.
Setelah
acara berlangsung cukup lama, tiba saatnya untuk pengumuman juara utama, yaitu
peringkat siswa berprestasi.
“Sekarang
kita beralih ke juara kedua! Juara Kedua Siswa Berprestasi ialah....” Semua
orang penasaran. “Kalingga Zain Pratama.”
Semua
orang tepuk tangan dengan meriah. Kalingga terkejut. Ternyata belajarnya selama
ini tidak sia-sia.
“Kepada
ananda Kalingga, silakan naik ke panggung,” ucap pembawa acara.
Tanpa
ragu, Kalingga langsung beranjak dari tempat duduknya dan menuju ke panggung.
Kali ini, dia tidak tau harus sedih atau bahagia. Kalingga memilih untuk tetap
tersenyum saja sampai acaranya selesai.
“Untuk
wali murid Kalingga, silakan naik ke panggung juga,” ucap pembawa acara itu
lagi.
Setelah
sampai di panggung, Kalingga dan Rangga berdiri berdampingan. Rangga memberi
senyuman bangga kepada Kalingga. Tidak lupa dengan pemberian hadiah dari kepala
sekolah kepada Kalingga sebagai sang juara. Kemudian, sesi foto pun dimulai.
Hati Kalingga masih perih. Berita bahagia seperti ini seharusnya ikut
disaksikan oleh kedua orang tua Kalingga saat ini. Tidak apa-apa. Setidaknya
ada kegembiraan yang Kalingga rasakan hari ini. Menjadi juara umum kedua memang
hal yang patut Kalingga rayakan.
Cerpen ini ditulis oleh:
1. Misnati
2. Kavita
3. Aknes Wulandari