[CERPEN] Just an Illusion - Bab 2: Kesempatan
"Di
kampus harus belajar yang benar, perhatikan dosen yang sedang menerangkan,
serap semua ilmunya. Jangan sampai buat Ayah dan Ibu kecewa!" ujar Pak
Tara ketika semuanya selesai sarapan.
Pak
Tara menyodorkan black card ke hadapan Kalingga. "Kamu boleh pakai
untuk apa pun, yang
penting nilai kamu harus selalu bagus."
Kalingga
diam menatap kartu itu dengan tanpa minat. Percuma punya segalanya kalau hidup
penuh tekanan dan kekangan, tidak akan membuatnya bahagia.
"Kamu
nggak mau?" tanya Pak Tara dengan
satu alis yang terangkat dan tangan yang bersedekap.
"Kalingga,
terima!" titah Bu Rengganis, "kamu yang nurut, ini semua untuk
kebaikan dan kebahagiaan kamu di masa depan juga," lanjutnya.
Kalingga
mengembuskan napas kesal. "Kebaikan aku atau kebaikan perusahaan?"
sinisnya lalu pergi menuju kamar membawa black card yang diberi Pak
Tara. Dia harus menerimanya meskipun tidak ingin, karena jika tidak, sama saja
dia memperpanjang masalah.
Di
kamarnya, Kalingga menghadap cermin yang menggantung di sisi meja belajarnya.
"Kenapa? Kenapa aku harus terus nurutin Ayah dan Ibu terus? Aku
capek!" kesalnya. Napas Kalingga menggebu-gebu, wajahnya memerah menahan
emosi.
"Aku
udah dewasa, aku berhak pilih jalan hidup yang aku mau. Lagian, apa salahnya
aku pengen kerja? Aku pengen menikmati hidup aku dengan melakukan apa yang aku
suka. Apa itu salah?" tanyanya di depan cermin.
Kalingga
mengusap kasar air mata yang tiba-tiba keluar. Dia menuju meja belajar dan
menyimpan black card milik ayahnya ke dalam laci. Setelahnya, dia masuk kamar mandi untuk mencuci
muka menghilangkan bekas menangisnya lalu bersiap pergi ke kampus. Ya, hari ini
adalah hari pertamanya sebagai seorang mahasiswa di Universitas Nusantara.
Kalingga
berangkat dengan motornya. Dia telah
sampai
di kampus setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit. Sebenarnya, kelas pertama dimulai pukul 11 siang,
dia sengaja datang pagi karena malas berlama-lama di rumah megah tempat
tinggalnya saat ini. Dia tidak suka rumah itu, meskipun megah dan mungkin
menjadi impian banyak orang untuk
bisa
memiliki dan tinggal di rumah di sana, tetapi
nyatanya rumah itu sejak dulu tidak pernah memberikan kenyamanan untuknya.
Setelah
memarkirkan motornya, Kalingga berkeliling di kampus. Tidak apa-apa harus menguras
tenaga lebih karena dia berkeliling dengan berjalan kaki, setidaknya itu akan
mampu membuatnya tidak merasa bosan menunggu berjam-jam. Lagian, dia baru kali
pertama berkeliling mengelilingi kampus ini.
Berjalan
sembari kedua tangan dimasukkan
ke saku celana. Kalingga memasang earphone bluetooth ke telinganya dan
menikmati musik yang dia nyalakan dari handphone-nya.
Sangat
ramai sekali orang berlalu lalang di sini. Ada yang sedang mengobrol dengan
teman, berjalan sambil membawa buku dengan mulut komat-kamit, ada juga yang
hanya berjalan sendirian seperti dirinya. Kalingga juga menemukan orang-orang
yang tampak sibuk dengan laptopnya dan beberapa buku yang dibaca, tampaknya
serius sekali.
Universitas
Nusantara memang pantas dielu-elukan sebagai salah satu universitas favorit di
negeri ini. Semalam dia sempat searching tentang universitas ini.
Katanya, selain karena konsep bangunan yang sangat indah dan elegan,
dosen-dosen yang biasa mengajar di sini pun harus terlebih dulu melakukan
serangkaian tahapan agar bisa diterima. Tidak main-main memang, tidak sembarang
orang bisa masuk ke universitas ini.
Apakah
Kalingga harus bersyukur bisa menjadi bagian dari Universitas Nusantara ini?
Jawabannya, ya. Namun, itu sangat sulit,
mengingat ini tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Kalingga
berjalan sambil menoleh ke kanan-kiri, memperhatikan sekelilingnya. Dia tadi
sudah melewati beberapa kantin yang ternyata jumlahnya lumayan banyak. Mungkin
karena mahasiswa di sini juga jumlahnya tidak sedikit. Oleh karena itu,
kantinnya dibuat di beberapa tempat agar tidak terlihat menumpuk.
Bruk!
"Aduh!"
Astaga,
baru saja Kalingga menabrak seseorang karena tidak memperhatikan depan saat
berjalan. Dia berjongkok membantu merapikah buku-buku yang berserakan milik
orang yang ditabraknya.
"Aku
minta maaf, ya, tadi nggak
perhatiin jalanan sampai nambrak Kakak." Kalingga menggunakan sapaan
'Kakak' karena sepertinya laki-laki yang ditabraknya ini adalah kakak tingkat.
"Nggak
apa-apa, tadi saya juga sambil teleponan
jalannya. Bukan sepenuhnya salah kamu," balas laki-laki itu.
"Ini
buku-buku Kakak, sekali lagi saya minta maaf." Kalingga menyodorkan
buku-buku yang sudah dibereskannya dan langsung diterima.
"It's
okay. Kalau gitu duluan, ya."
Kalingga
mengangguk dan tersenyum sebagai bentuk sopan santun. Untung tidak menjadi
drama panjang seperti yang biasa ada di film-film.
Kalingga
melirik jam tangan yang dipakainya. Tidak terasa tinggal sebentar lagi kelasnya
dimulai. Kalingga putar balik dan menuju ke kelas
yang akan digunakannya untuk belajar. Terdapat di gedung A lantai 3 ruang 1,
dan kelas keduanya nanti di gedung C lantai 1 ruang 10.
Ternyata
sudah banyak orang di kelas itu, terlihat mereka sedang berkenalan satu sama
lain. Karena tidak mau dibilang sombong di hari pertamanya ini, Kalingga
menyapa mereka dan memperkenalkan dirinya juga. Mereka cukup ramah, meskipun
ada saja yang terlihat hanya berpura-pura. Maklum, Kalingga adalah introver dan
dia sangat tahu gelagat orang yang hanya berpura-pura saja.
Ketika
dosen datang, semuanya langsung duduk rapi. Mereka mengikuti semua yang
diarahkan oleh dosen. Hari ini tidak banyak materi yang berikan, lebih banyak
sesi sharing-sharing saja. Kata dosen yang memiliki nama
panggilan Pak Arif, dia mengatakan agar tercipta keakraban di antara mereka dan nantinya bisa menyerap
ilmu yang diberikan dengan baik. Karena biasanya seseorang bisa lebih mudah menerima
ilmu yang diberikan jika senang kepada yang memberikannya.
***
Kantin
menjadi tempat pilihannya untuk dikunjungi sambil menunggu kelas berikutnya.
Dia sudah mengetahui ada beberapa kantin di sini, dan dia memilih untuk ke
kantin utama yang letaknya berada di bawah. Tidak masalah meski harus menuruni
banyak anak tangga untuk mencapai tujuannya, lagi pula
masih tersisa satu jam sebelum kelas berikutnya dimulai, masih banyak waktu.
Menjadi
mahasiswa masih menjadi hal baru. Terkadang masih suka terselip dalam pemikiran
Kalingga mengenai impiannya untuk bekerja saja, mencari sebuah tempat yang bisa
menampung hobinya untuk membuat
dan meracik berbagai minuman. Dia sangat suka bereksperimen, mencampurkan
segala bahan untuk menciptakan inovasi pada minuman yang dibuatnya. Namun,
untuk saat ini,
sepertinya dia harus menyimpan mimpinya dan fokus kuliah.
Kalingga
sampai di kantin, dia memesan es teh dan gorengan untuk menemaninya. Setelah
mendapatkan tempat untuk duduk, menyedot tehnya terlebih dulu lalu memainkan handphone-nya. Dirinya belum memiliki
teman yang pas menurutnya, ya ... memang sudah ada beberapa kenalan, tetapi
masih canggung. Tidak heran sebenarnya, apalagi teman-teman SMA-nya hanya
sedikit yang masuk universitas ini, itu pun
berbeda fakultas.
"Kalingga
bukan, sih?"
Kalingga
mendongak. "Ya? Siapa, ya?"
Laki-laki
yang sepertinya seumuran dengan Kalingga itu mengulurkan tangan dengan ekspresi
ceria, meminta Kalingga menyambutnya. Kalingga menerimanya, mereka berjabat
tangan.
"Hai,
apa kabar?! Aku Rendi, yang dulu sering minta contekan ke kamu waktu SMP. Kamu
inget, nggak?
Ha-ha-ha,"
kata Rendi sambil mengguncang tangan mereka yang masih bertaut.
"Rendi?
Oh, yang waktu kelulusan kepleset di tangga panggung itu?" tanya Kalingga
memastikan.
"Wih,
orang emang nginget momen jeleknya aja tentang aku. Tapi iya, itu aku,"
jawabnya sambil menggelengkan kepala.
"Ha-ha-ha,
ya gimana lagi, habisnya tingkah kamu emang nggak pernah bener dulu." Kalingga
tertawa kecil, dia jadi ingat masa putih-biru dulu.
Rendi
adalah teman Kalingga ketika SMP, mereka selalu satu kelas meskipun setiap
tahunnya di-rolling.
Memang tidak terlalu akrab dengan Kalingga, mereka beda circle. Kalingga
lebih suka bergabung dengan murid yang bisa diajak ngobrol tentang pelajaran
dan masa depan, tidak suka keluar, dan suka membaca buku. Sedangkan, Rendi tipe laki-laki yang suka
nongkrong, suka main keluar, dan kadang bergabung dengan murid nakal.
Meski
begitu, mereka tetap
berteman baik. Namanya juga satu kelas, kan? Sebagai teman kelas, mereka selalu
kompak dalam kerja sama, apalagi 3 tahun berturut-turut selalu bertemu membuat
mereka jadi tahu satu sama lain. Minusnya, Rendi sering memanfaatkan Kalingga
untuk mengerjakan tugas. Terkadang dia menggunakan alibi 'kerja sama' untuk
mendapatkan jawaban dari tugas yang diberikan guru.
"By
the way, sejak kapan ada di Indonesia?" tanya Kalingga.
Seingat
Kalingga, setelah lulus SMP,
Rendi ikut orang tuanya ke luar negeri dan melanjutkan pendidikan di sana.
"Kira-kira
dua bulan lalu, lah. Aku nggak
betah di luar negeri, diatur mulu sama Ayah, akhirnya mutusin buat lanjut
kuliah di Indonesia aja." Kini, Rendi sudah duduk di hadapan Kalingga.
Kalingga
mengangguk sebagai balasan. Dia memperhatikan penampilan Rendi lalu
berkomentar, "Pulang dari luar negeri sekarang penampilan kamu berubah
drastis banget ya, sampe aku nggak
kenal."
"Bisa
aja kamu. Yang penting masih ganteng lah, ya," ujar Rendi percaya diri.
Memang
banyak yang berubah dari penampilan temannya itu. Di antaranya sekarang rambutnya diwarnai
abu-abu, dan giginya memakai behel. Seperti yang dibilang Rendi, yang penting
masih ganteng.
"Eh,
seinget aku dulu kamu pernah jualan kopi unik-unik gitu, kan? Sampe sekarang
masih?" tanya Rendi.
Kalingga
menipiskan bibirnya, ternyata ada yang masih ingat. Dulu, ketika orang tuanya
di luar negeri, Kalingga pernah membeli alat dan bahan untuk membuat kopi dam
minuman. Dia mencoba membuat sesuatu yang unik dan berbeda. Ide-ide random-nya bermunculan kala itu yang ternyata
berhasil membuatnya menciptakan 3 minuman pertama dengan berbeda varian. Dia
merasa puas ketika apa yang dibuatnya berhasil.
Ketika
iseng menawarkan ke orang melalui media internet, ternyata banyak yang membeli
hingga dia bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya. Namun, itu tidak
berlangsung lama. Ketika orang tuanya tahu, semua alat-alatnya dibuang dan dia
tidak diperbolehkan melakukan itu. Tapi, sekali-sekali Kalingga masih suka
melakukannya diam-diam ketika ayah dan ibunya bekerja. Meskipun hanya untuk
dikonsumsi sendiri, bukan untuk dijual.
"Udah
enggak," jawab Kalingga.
"Kenapa?"
"Aku
anak satu-satunya dan orang tuaku salah satu pengusaha besar. Kamu pasti ngerti
sama maksudnya." Kalingga terkekeh.
"O-oh,
iya-iya, aku paham." Mendadak Rendi jadi tidak enak. Dia berdeham sebelum
melanjutkan perbincangan. "Sebenernya aku punya kafe kecil di daerah sini,
udah lumayan lama sih dibangunnya. Cuma, ya, karena aku nggak di Indonesia jadi nggak terlalu keurus dan sepi
kafenya."
"Punya
kamu sendiri?"
Rendi
mengangguk dan menjawab, "Modalnya minjem dari Ayah. Tapi alhamdulillah
sih udah bisa aku bayar hutangnya, meskipun untuk keuntungan masih sedikit banget."
Rendi menyesap kopi yang tadi memang dibawa olehnya. "Aku juga sekarang
lagi nyari orang yang bisa nemenin aku jadi barista di sana. Mungkin kamu
mau?" tawarnya.
"Kamu
nawarin aku?" tanya Kalingga.
"Emang
siapa lagi yang lagi kuajak ngobrol selain kamu?!" Rendi berdecak kesal,
tidak habis pikir. Dia pun makin kesal ketika Kalingga tertawa, menyebalkan.
"Ha-ha-ha,
maaf. Umm, sebenernya aku tertarik
sih, cuma aku nggak
bisa terima gitu aja. Gimana kalo pulang nanti aku ikut ke kafe kamu, liat-liat
dulu, lah."
"Oke!"
Bagaimana
tidak tertarik? Ini adalah kesempatan! Baru beberapa menit lalu Kalingga
berpikir akan menyimpan saja mimpinya untuk mengembangkan hobi, sekarang dia
mendapatkan tawaran pekerjaan yang bisa menampung hobinya. Tuhan memang maha baik.
Akhirnya
seperti yang telah disepakati oleh keduanya, setelah semua kelas selesai Rendi
mengajak Kalingga ke Kafe Kenangan.
Kafe
Kenangan terletak 100 meter ke sebelah timur kampus. Berada di pinggir jalan,
berseberangan dengan minimarket. Bangunannya memang belum terlalu besar, tapi
untuk halamannya cukup luas. Meskipun berada di pinggir jalan raya, suasana di
kafe tersebut sangat sejuk. Konsepnya in door dengan setiap pojok
ruangan ada lemari berisi buku-buku bacaan, di sisi ruangan dan di luar Kafe berjejer
tanaman hias yang mempercantik Kafe tersebut.
Benar
kata Rendi, Kafe ini tidak terlalu ramai meski berada di tempat yang bisa
dibilang sangat stategis.
"Kafe
kamu ini konsepnya bagus dan cocok juga buat yang suka baca buku. Suasanya juga
nyaman. Kok bisa sepi, ya? Padahal banyak orang-orang yang lewat sini,"
kata Kalingga.
Rendi
mengedikkan bahu. "Aku juga nggak
ngerti," balasnya. Dia duduk di salah satu tempat diikuti oleh Kalingga.
"Jadi
... setuju,
nggak, kerja di sini? Tenang aja, aku nggak akan ganggu kuliah kamu, kok.
Suer!" tanya Rendi, dia berusaha meyakinkan Kalingga.
Kalingga
melihat-lihat sekeliling sambil berpikir. Lumayan juga kalau dia menerima
tawaran dari Rendi ini. Dia bisa tetap kuliah dan dia juga bisa menyalurkan
hobi juga mewujudkan impiannya. Bukan karena pendapatan yang akan diterimanya,
tapi tentang rasa bahagia yang akan muncul dalam dirinya. Kalingga akan
berusaha membagi waktunya sebaik mungkin agar bisa menjalankan kuliah dan kerja
dengan optimal. Dia juga akan berusaha menyembunyikan ini dari keluarganya,
karena dia sangat yakin jika mereka tahu pasti akan langsung melarangnya.
"Oke,
aku setuju!" Kalingga akhirnya menyetujui tawaran Rendi. "Tapi aku
minta tolong, kalo kamu ketemu keluarga aku, jangan kasih tau kalo aku kerja di
sini, ya?" pintanya.
"Kenapa?"
"Pokoknya
jangan! Buat alasannya, maaf aku nggak
bisa kasih tau," jelas Kalingga.
"Oke,
aman." Rendi tidak ambil pusing, dia mengangguk menyetujui. Lagi pula, itu bukanlah suatu permasalahan
yang harus dipusingkan, bukan?
Kalingga
tersenyum bahagia. Dia menyandarkan punggungnya dengan perasaan yang lega.
Akhirnya,
dia punya kesempatan untuk mengembangkan hobinya. Dia tidak berhenti mengucap
syukur untuk ini semua. Dia sangat bersemangat karena besok dia akan mulai
bekerja sebagai barista di Kafe Kenangan.
Cerpen ini ditulis oleh:
1. Misnati
2. Kavita
3. Aknes Wulandari
Posting Komentar