[CERPEN] Pasien Gila
Tiga mahasiswi Jurusan Psikologi bernama Nanda, Anes, dan Pasya mendapatkan tugas untuk melakukan magang di salah satu rumah sakit jiwa di kota mereka yang bernama RSJ Cahaya Batin. Mereka bertiga bersahabat dan tentu memiliki karakter unik masing-masing.
Anes,
si supel yang ceria dan jarang cemberut. Namun, sangat takut dengan kuntilanak,
pocong, genderuwo, cicak, tokek, kecoak, belalang, dan banyak hal lainnya.
Pasya, si jahil penikmat jokes “bapack-bapack” yang sering dianggap chef salah jurusan lantaran kemampuannya
dalam memasak. Sedangkan, Nanda, si atletis yang rajin lari dan suka bercanda.
Dia mudah jatuh hati dan terbawa perasaan.
Pada
pagi yang cerah, mereka menyambut hari pertama di tempat magang. Ketiganya
menyusuri lorong gedung kos secara bersamaan. Di antara mereka, Nanda-lah yang
paling heboh tampilannya dengan ber-make up membahana dan memakai wedges cokelat susu. Dia tidak berhenti
bergumam dalam hatinya, Gue udah cakep
belum, ya? Kedua temannya hanya memicingkan mata dan geleng-geleng melihat
dandanannya yang sedemikian rupa. Diledeki karena mirip orang yang hendak fashion show, Nanda masa bodoh saja dan
masih pe-de dengan penampilannya.
Masalah
muncul tatkala Nanda menaiki motor. Wedges
yang dikenakannya rupanya tidak nyaman dipakai untuk berkendara.
“Ish, ish. Lihat. Kesusahan dia,” decak
Anes saat melihat Nanda yang kesusahan menyalakan motornya.
“Nanda
kan pendekar, makanya harus pake sepatu gitu,” Pasya menimpali.
Anes
mengernyit keheranan. “Pendekar? Kok pendekar, Sya?” tanya Anes berusaha
meminta kejelasan.
“Iya,
pendekar," jelas Pasya.
Anes
garuk-garuk kepala. Bingung sendiri dengan maksud perkataan Pasya. “Apa? Eum. Maksudnya, karena ujung wedges itu tinggi, ya? Makanya kayak
senjata tajam gitu, kan? Bisa buat bela diri juga.” tebaknya. Kali ini malah
Pasya yang mengernyit.
“Apa
sih, Nes?”
Anes
mengernyit lagi. “Apa sih, Sya?” Kok nanya balik? Kan aku tanya duluan.”
“Tanya
apa emang?” Pertanyaan Pasya ini membuat Anes menepuk dahi.
“Itu
tadi, kok tiba-tiba jadi nyambung ke pendekar?”
“Oalah
itu. Iya pendekar." Mulut Pasya membulat. “Pendekar 'pendek ah, rek,' terangnya kemudian. Anes kini berwajah datar dan
menggerutu, "Dasar, jokes
bapak-bapak, nggak jelas."
***
Anes
merinding memasuki rumah sakit jiwa ini. Kemampuan Anes dalam melihat hal tak
kasat mata sering membuatnya terkejut. Menjadi anak indigo kadang membuat Anes
stres sendiri. Anes sendiri memang penakut, tetapi selalu dituntut untuk bisa
menghadapi semua hal tentang hantu-hantu gila ini.
Setelah
di-briefing sebentar oleh pihak Rumah
Sakit Jiwa Cahaya Batin. Mereka dipersilakan memasuki ruangan tempat magang
masing-masing dan ditemani salah satu psikiater di RSJ ini. Tentu psikiater
yang berbeda-beda, sesuai bagiannya. Yang pasti Anes, Nanda, dan Pasya berbeda tempat.
Anes
bersama Dokter Indi berjalan santai menyusuri koridor. Anes rasanya ingin
teriak mendengar banyak tawa, jeritan, dan bau aneh di RSJ ini. Kenapa setiap
tempat selalu ada seperti ini? Rasanya Anes ingin pensiun menyandang gelar
"anak indigo".
Setelah
menyusuri koridor, Anes sampai di ujung ruangan yang sempit. Anes merasa kesal
karena mendapat ruangan paling ujung yang pastinya jauh dari jalur utama.
Setelah memasuki ruangan, Dokter Indi—psikiater yang menemani Anes—memberi Anes
job desk. Berhubung di sini magang,
jadi kami memang diberi satu pasien untuk ditangani sendiri. Namun, tetap
dibantu oleh dokter dan suster di sini.
Anes
mendapatkan pasien bernama Rena. Ya, Rena, nama anak gadis berusia 19 tahun
yang rambutnya digerai dan memiliki tatapan kosong. Semoga Anes bisa menjalani
ini semua.
"Hai,
Rena. Perkenalkan, namaku Anes. Yang akan menemani kamu," jelas Anes
memperkenalkan diri. Rena masih diam dan tidak berbicara.
"Oh,
baiklah. Mari kita main, yuk!" ajak Anes.
"Nggak,
ini aku lagi main. Kamu nggak liat?" ucapnya sambil melirik Anes.
Ya.
Anes tau dia sedang bermain boneka bersama anak kecil di depannya. Ternyata,
Rena juga indigo.
"Weeek, kamu jelek, Kak, makanya Rena
nggak mau main sama kamu," ledek anak kecil hantu itu.
Anj*r, lama-lama gue pites juga, nih, bocil
kematian. Eh, udah mati, batin Anes gemas dengan hantu tengil itu.
"Kamu
bisa liat dia?" tanya Rena dengan muka pucetnya. Kemudian, Anes
mengangguk.
"Ayo,
sini main!" ajak Rena yang akhirnya tersenyum. Namun, justru terlihat
ngeri.
"Gimana
kalo kita kerjain hantu-hantu yang berisik di sini?" Ide Anes muncul dan
Rena langsung mengiyakan.
Anes
menyebar uang dari depan pintu kamar hingga dalam kamar. Mereka sudah berdandan
layaknya hantu. Tidak lama, Anes merasa keadaan di luar sudah mulai berisik.
Anes rasa ada tuyul yang mulai mengambil uang yang telah disebar.
Mereka
sudah bersiap di belakang pintu. Setelah tuyul itu masuk, mereka berbalik dan
mengunci pintu itu.
"Hi-hi-hi," tawa mereka seperti
kuntilanak.
"Hantu
berkepala plontos itu emang bego bin tolol, ya," ucap Anes dengan disusul
tawa (lagi) oleh Rena.
***
Di sisi
lain, ada Nanda yang sudah berada di tempat bagiannya.
“Sus
namanya siapa?” tanya pemuda berdada bidang itu.
“Nanda,”
jawab Nanda singkat sambil memperhatikan pasien RSJ yang mendatanginya itu.
Kalau dilihat-lihat, orang itu tampan. Rambutnya hitam rapi, rahang gagah, jawline yang tajam, dan hidung mancung.
Kok bisa orang se-ganteng ini masuk rumah sakit jiwa?
“Aku
Dodo, Sus,” katanya memperkenalkan diri. Wah,
sopan sekali dia, batin Nanda.
“Kenapa,
Do?” tanya Nanda. Dodo mengulum bibirnya.
“Sus
cantik banget.” Pujian itu sontak mengejutkannya. Kok bisa dia memujinya
tiba-tiba?
“Terima
kasih,” balas Nanda.
“Sus
sudah menikah?” tanyanya lagi dengan tiba-tiba. Nanda langsung mengernyit.
“Belum."
Dodo
diam berpikir, kemudian berkata, “Kok bisa orang secantik ini belum laku?”
Nanda diam saja, entah harus bereaksi bagaimana. Dia senang dipuji cantik,
tetapi tersinggung karena disinggung perkara “belum laku”.
“Emangnya
kenapa, Do?” tanya Nanda lagi.
“Mau
nikah sama, Sus." Jawabannya membuat Nanda tersentak.
“Dodo
suka sama Sus.” Mendengar pernyataannya, Nanda makin tak habis pikir.
“Dodo
suka karena Sus cantik, hatinya juga cantik. Dodo rasa, kita akan membangun
rumah tangga yang sakinah mawaddah wa
rahmah. Dodo bahkan nggak tahu lagi harus ngomong apa. Dodo merasa tenang
dan bahkan tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan rasa tenang dan sejuk
yang Dodo dapat saat berbicara dengan Sus. Dodo suka sama Sus, apa Sus juga
suka Dodo? Dodo nggak mau ajak Sus pacaran, Dodo mau ajak Sus menikah. Tapi sepertinya,
ada jarak di antara kita. Dodo tidak yakin hubungan ini akan bertahan dan terus
baik-baik saja," kata Dodo yang makin di luar ekspektasi, "Dodo
sangat kehilangan harapan. Tapi Sus tidak usah mengasihani Dodo. Dodo tidak
apa-apa. Ini perjuangan Dodo, harus Dodo hadapi sendirian. Dodo kuat, jadi
pasti baik-baik saja. Sebagai perkataan terakhir dari Dodo, meskipun hampa,
tapi Dodo tetap berharap yang terbaik untuk kita semua," lanjutnya (lagi)
dengan perkataan yang panjang, sepanjang jalan kenangan.
Kali
ini, Nanda benar-benar tercengang. Seram. Gila betul dia. Seorang perawat
senior menghampirinya dan berbisik singkat, “Dia memang suka halu soal
pacarnya. Batal nikah soalnya.”
Nanda
belum sempat mengatupkan mulutnya, Dodo melanjutkan kalimatnya lagi.
“Susan,
I love you. Mari menikah."
***
Di lain
tempat, Pasya menuju ruangan yang dia tempati selama magang di Rumah Sakit Jiwa
Cahaya Batin ini. Pasya lumayan kesel karena harus berpisah dengan dua
sahabatnya, yaitu Anes dan Nanda. Pasya ditugaskan bersama Dokter Rizka.
"Kamu
nggak usah khawatir, Sya. Kamu bersyukur karena kamu dapat pasien yang banyak
omong," ucap Dokter Rizka dengan senyumannya.
"Alhamdulillah,
makasih banyak ya, Dok. Insyaallah saya akan usaha semaksimal mungkin untuk
magang di sini. Mohon bimbingannya ya, Dok," ucap Anes dengan senyuman
pula.
Seusai
berjalan di koridor. Mereka sampai di ruangan dengan nuansa biru laut. Ya,
setiap ruangan dengan tingkat depresinya mempunyai ruangan khusus
masing-masing.
"Assalamu'alaikum,"
ucap Dokter Rizka dan Pasya memasuki ruangan.
"Wa'alaikumussalam.
Eh, Dokter. Gue abis belanja tas Chanel nih, Dok. Dokter pasti suka, deh,"
ucapnya sambil menenteng plastik hitam.
Pasya
terlalu receh melihat ekspresinya. Detik itu juga, Pasya seakan-akan ingin
mengata-ngatai pasien itu seperti ini, "WOI, SADAR, ITU PLASTIK NJ*R BUKAN CHANEL. CHANEL ANTV NOH,
INDIA, ADA ICHA TAPASYA," seru batin Pasya dengan senyuman aneh di
bibirnya.
"Icha
jangan bercanda, duduk, yuk. Ada Kakak baik yang bakal nemenin kamu di sini," ucap Dokter Rizka.
Hah? Dia Icha? Sumpah pengen ngakak,
ini kenapa pas sama dialog batinku, hah? seru batinnya (lagi).
"Hai,
Kak, gue udah 36 tahun tapi dimasukin ke sini sama anakku, katanya gue beli
emas mulu. Padahal emasnya mas-mas berondong," ucapnya asal.
"Ya
Allah, bwa-ha-ha," tawa Pasya
pecah. Pasya tak bisa menahan lagi.
"Duh,
Dok, maaf. Saya nggak bisa tahan," ucap Pasya sambil memegang perutnya.
"Ha-ha, nggak papa kok, dia emang suka
bercanda. Ini orangnya hyper aktif,
apa yang dia ucapkan tadi benar. Dia dimasukkan ke sini oleh anaknya karena
stres beli emas terus hingga bangkrut. Saya tinggal dulu ya, kamu
semangat," jelas Dokter Rizka.
"Makasih, Dok."
Pasya
mendekat dan duduk bersamanya. "Hai, Ibu," sapanya.
"Anj*r ibu-ibu, gue. Heh, gue tuh bunda
sosialita tauuu. Nih liat Chanel gue," ucapnya lagi dengan sombong. Orang
itu rasanya ingin Pasya depak.
"Ah, mang eak?" ucap Pasya
menjahilinya.
"Eak, eak, eak. Ha-ha-ha," ucap
pasien ibu-ibu itu sambil tertawa.
"Heh,
kok lucu, ha-ha-ha!" Pasya ikut
ketawa.
"Kamu
namanya siapa?" tanyanya.
"Oh
iya, nama aku Pasya. Ibu mau aku panggil apa?" jawab Pasya mengimbuhinya.
"Panggil
aja Bunda."
Setelah
itu, mereka bermain. Ternyata, pasien itu cukup asyik walaupun kadang membuat
emosi Pasya membeludak. Namun, di sinilah kesabaran Pasya diuji. Jiwa
sombongnya selalu muncul di setiap mengobrol.
"Aku
punya Civic di rumah tau," ucapnya dengan nada sombong.
"Halah
pasti mobil-mobilan ya, ha-ha,"
ledek Pasya yang kemudian menertawainya.
"Idih, kamu kok jahat. Huaaa, hiks-hiks." Kali ini, Pasya
tidak tau kenapa tiba-tiba pasien itu menangis dan memukulinya. Untung ada
suster yang menolong Pasya.
"Eh,
ayo Bunda diem, mau Sus kasih tas Chanel, nggak?" tanya Suster menenangkan
sambil memberi kantong plastik lagi.
"Kak,
ayo keluar dulu," ucapnya sambil membawa Pasya keluar ruangan.
"Kenapa,
Sus?"
"Kalo
dia tiba-tiba kayak gitu, kasih obat ini, ya. Efek obat dia abis berarti,"
jelasnya.
Seusai
itu, Pasya memberi obat ke Bunda. Dia kembali ceria.
"Maaf
ya, Bunda, yok Bunda lanjut cerita."
"Bunda punya Fortuner dari emas tapi bisa dimakan," ucapnya tanpa lupa nada sombong.
***
Pasya
beralih diajak suster untuk ke dapur. Membantu memasak. Tentu bertemu Anes dan
Nanda. Suasananya cukup ramai. Pasya langsung berinisiatif membantu mengupas
bawang merah dan beberapa jenis sayuran lainnya.
"Nanti
aku nggak bisa pulang bareng, Guys, mau ke fotocopy-an dulu,"
ucap Anes di sela-sela kesibukan kami memotong.
"Iya
sama, aku juga mau ketemu temen bentar," imbuh Nanda.
"Oke,
pokoknya nanti malam kita harus ngobrolin tentang hari ini!" seru
Pasya semangat.
"Siap,
Bos," ucap Anes dan Nanda bersamaan.
***
Hari ini bisa dibilang sebagai hari yang melelahkan
bagi mereka. Bagaimana tidak? Magang hari pertama di RSJ sangat menguras tenaga
fisik dan batin.
Sesuai perjanjian, mereka akan mengobrol santai, bincang-bincang
tentang hari ini. Kini, mereka sudah berkumpul di salah satu kontrakan. Kali
ini, mereka berkumpul di kamar kos Pasya.
“Aduuuh,” rengek Nanda kesakitan.
“Eh, kaki kamu kenapa, Nda?” Pertanyaan Anes itu
membuat Pasya menengok ke arah Nanda. Anes kemudian melanjutkan memakan kripik
singkongnya.
“Makanya jangan sok-sokan pake wedges,
deh. Dasar, pendekar, ha-ha,” ledek Pasya.
“Iya, iya, duuuh,” rengek Nanda lagi, “by the
why, hari ini di luar ekspektasi banget, ya. Mana tadi aku dilamar sama
pasiennya. Ganteng, sih. Cuman, nggak deh. Gila karena ditinggal nikah tuh
orang,” lanjutnya.
“Bwa-ha-ha, serius? Aku tadi dapat pasien yang
sombong banget, gila. Asli, pengen depak, tapi dia udah ibu-ibu,” timpal Pasya,
“kalau kamu gimana, Nes?”
“Aku dapat pasien yang nyeremin.” Mata Nanda
dan Pasya mulai membulat.
“Serius? Bukannya kamu udah sering liat hantu, ya? Nyeremin
gimana?” Pertanyaan Pasya yang penuh rasa kepo.
“Dia indigo juga kayak aku. Senyumnya nyeremin
banget. Aku tadi juga sempet ngajak dia nge-prank tuyul,” jelas
Anes.
“Bwa-ha-ha,” tawa Nanda dan Pasya pecah.
Tak disangka, magang pertama mereka terasa kocak. Ternyata bertemu pasien di RSJ tidak seburuk itu. Hari makin malam, mereka kemudian membubarkan diri masuk ke kamar kos masing-masing. Beristirahat memulihkan energi untuk keesokan harinya.
***
TENTANG PENULIS
Aknes Wulandari bangga menjadi bagian dari tim 7 Arisan Karya UL 2024 ini. Penulis sekaligus editor Ufuk Media ini lahir dan bertempat tinggal di Bantul, Yogyakarta. Ia berteman dekat dengan kucing, buku, dan alunan musik pop. Jika ingin menyapa, bisa berkunjung ke akun IG-nya, @terresasenja.
Rahma Pasha Sari atau yang kerap dipanggil nengok eh salah. Biasa dipanggil Rahma, Pasha. Ia saat ini berdomisili di Banjarnegara, Jawa tengah. Tahun ini ia berusia 19 tahun tepat 05 Oktober. Hobinya membaca dan mengedit. Ia suka gabung di berbagai komunitas online editing dan literasi. Menjadi admin di beberapa komunitas juga.
Ananda Arin atau Ashauk adalah seorang gadis kelahiran Bandung, 9 Oktober
2003. Sekarang kesibukannya adalah menimba ilmu di Universitas Nasional,
Jakarta Selatan. Menulis adalah sahabatnya. Karena dengan begitu, segala bentuk
emosi yang tertahan di lisan bisa ia ungkapkan, tanpa perlu ribut layaknya
lisan manusia.
Sukses terus😍
sukses terus yaah dengan karya²nya
Semangat terus berkarya, Dik Aknes♥️
1. Lumayan banyak typo di sana-sini dan beberapa diantaranya ada frasa2 yg sebenernya bisa dihilangkan.
2. Jokes receh bapack2 di pembuka cerita terasa lumayan 'meh' apalagi ditaruh di awalan. Bisa aja sih di-cut, tapi nanti jadi character-hole karena salah satu tokohnya emang doyan jokes receh.
Good job buat Aknes, Pasya, dan Ananda. Gaya bercerita kalianngingetin aku dgn serial Anak Kos Dodol karya Dewi Rieka
우리는 매우 행복하다. 🫶🏻💜