[CERPEN] Anak Kost Ayah Ali

Table of Contents

Empat tahun yang lalu, ada yang datang dengan rombongan keluarga mencari kos yang layak untuk tuan putri mereka, mengingat masa penerimaan mahasiswa baru telah dibuka. Satu-dua tahun berlalu tanpa konflik, hingga ujian datang tanpa diduga. Kehilangan sosok cinta pertama anak perempuan sungguh sangat menyakitkan. Satu tahun terlewati begitu saja, jatuh bangun untuk kembali melangkah meski tanpa tujuan karena sang pembuka jalan sudah tiada.

Ke mana arah langkah kaki itu dibawa? Mau mundur sudah di tengah, mau maju takut salah langkah, tetapi dengan tekadnya dia bangkit menghantam semua badai yang berusaha menjatuhkannya lagi. Hingga saat ini pun  badai itu masih bergemuruh bahkan tak hayal puting beliung ikut andil untuk meluluhlantakkan fondasi yang telah dibangun. Sungguh malang nasibnya berjuang keras menegakkan keadilan untuk dirinya sendiri, tetapi takdir seakan-akan enggan berpihak.

"Ayah beri dua pilihan, besok keluar dan Ayah anggap sudah tidak ada sangkutan lagi, atau lunasi besok semuanya?” Kalimat itu masih berputar menguasai pikirannya, dia termenung memutar balikkan pikiran mencari jalan keluar yang hampir mengarah ke jurang semua. Bagaimana dia bisa memberitahu mamanya? Sedangkan dia tau betapa sulitnya perekonomian saat ini, bahkan dia juga menjadi saksi mamanya banting tulang untuknya dan adiknya, lantas langkah mana yang ia ambil?

"Ren, di bedeng kamu bisa kan naruh barang dulu, nanti aku panjar di awal." Ketiknya di aplikasi lingkaran hijau. 

"Bisa, kapan mau pindah?" Balas Reni, 

"Besok aku langsung angkut,” ketiknya lagi yang berakhir centang biru tanda telah dibaca. Setumpuk genangan mulai terjun bebas di pipi indahnya, tak sanggup menahan rasa sesak yang di tanggungnya. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk bersama teman kosnya, tetapi semesta seakan-akan punya caranya sendiri untuk mengakhiri drama kos ini. 

Berat rasanya meninggalkan teman seperjuangan dari awal masuk kuliah hingga beberapa bulan lagi. Momen-momen beberapa tahun belakangan ini berputar kembali dari kebiasaan-kebiasaan baik dan buruknya yang sudah tahu, saling menutupi kekurangan satu sama lain. 

"Tidak ada lagi drama bangunin Arda malam-malam minta temanin ke WC," keluh Tiara, "siapa nanti yang akan membukakan pintu kalau aku jalan sama, Baby?" sambungnya. (Yah jangan lupakan kebucinan Tiara ini), "Siapa lagi yang mau mendengarkan senandungku malam hari?" keluhnya lagi, "Arda kan tau, aku tuh kalau ada sesuatu pasti ke Arda, ada cicak panggil Arda, ada kucing panggil Arda, terus kalau Arda pindah aku minta style pilihkan baju ke siapa?" celoteh Tiara dengan mata berkaca-kaca. 

”Ting” Notifikasi aplikasi hijau berdenting.

"Arda mau pindah ke mana?" sambung Meli pada pesan grup aplikasi lingkar hijau. 

“Tidak bisakah sampai kita wisuda?" 

"Tidak bisa da, Tidak ikhlas aku!" Spam Meli dengan ketidak-ikhlasannya.

"Hei, ayolah, Guys. Aku hanya pindah kos, bukan pindah kota, ayolah," ungkap Arda menenangkan mereka. Sejatinya hanya mereka bertiga yang bertahan di kos lantai atas tersebut. 

Waktu berlalu hingga mentari berganti rembulan. "Siapa yang masih di luar?" tegas ibu kos. 

"Tiara, Bu, masih di luar mencari buah-buahan untuk sidang akhirnya besok," jawab Arda, 

"Yo, lah, kunci ini larikan ke belakang pintu yuk,” pintanya.

“Jadi gimana keputusannya?"tanyanya dengan lembut.

“Besok Arda pindah, Bu, mungkin barang-barang ini diangkut pulang, mengingat hanya hitungan bulan lagi,” jawabnya dengan yakin.

“Yo, lah, kalau ditanya Ayah tuh jawab minta keringanan beberapa hari lagi, jangan diam saja,” nasihatnya.

“Iya, Bu, maaf, Arda tidak bisa menjawab perkataan orang tua,” pungkas Arda.

“Yah sudah kalau besok, matikan lampu tengah," peringatnya. "Oke, Bu,” jawab Arda.

“Tak”, lampu ruang tengah pun dimatikan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi. Sembari menunggu Tiara pulang, Arda membuka percakapan yang ada di aplikasi hijau tersebut, membalas spam dari Meli, dan ternyata Tiara memberi tahu bahwa dia pulang sedikit larut dan meminta tolong bukakan pintu nantinya jikalau sudah pulang. Hal inilah yang sulit untuk ditepiskan, kebiasaan kami yang saling menolong jika masih berada di luar.

Keesokan harinya, fajar menyingsing di atas kepala dengan guratan indah putih yang menghias langit biru,  menemani pengemasan barang yang akan diangkut, "Arda nanti sudah sidang  jangan pulang dulu, biarlah barang-barangmu diangkut pakai mobil, Baby, sekalian aku mau mudik," kata Tiara.

“Oke, jika kamu memaksa, wk-wk," kata Arda. Waktu terus berjalan sampai pukul 3. Selesai foto-foto dari sidang akhir Tiara, mereka pun lanjut pulang ke kos, sekaligus mengemas barang-barang Arda dan Tiara yang mau mudik. "Ibu, Ayah, terima kasih untuk waktu 3 tahun ini, mungkin banyak salah Arda yang tidak bisa di sebutkan satu persatu, Arda mohon izin pamit pindah, Yah, Bu," pungkas Arda di dalam tokoh kelontong milik ibu kos. "Iyo, lah, sisanya anggap saja Ibu sama Ayah sedekah," kata ibu kos. "Di atas masih ada barang Arda, Bu, mungkin esok atau lusa Arda ambil lagi," lanjut Arda. "Iyo, lah, yuk sapuin kamar tuh," suruh ibu kos. “Sepih da, di kos," kata meli. “Yah mau gimana lagi, Mel?" saut Arda sembari berkemas ke mobil doi Tiara. 

Singkat cerita mereka pun mengantar Arda sampai di bedeng barunya yang dibantu oleh doi Tiara. Tentunya Tiara, Reni, dan Feby, Arda di mana? Yah tentunya izin ke nyai kos (pemilik bedeng), setelah semua barang dipindahkan dan mentari pun mengukir guratan indah senja. "Arda. Hug me!" pinta Tiara dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Oh sayangku hanya pindah kos, bukan pindah kota," jawab Arda sembari memeluknya hangat. "Kita masih ada hutang liwetan bareng," sambung Tiara. "Kan bisa ke sini Tiara sama Meli. Min, semalem Tiara mau menangis gegara aku mau pindah,"  adunya ke doi Tiara. "Tapi aku bilangin jangan nangis kan besok sidang akhir, tidak lucu dong mata sembab sebelum dibantai wk-wk," candanya. "Ya sudah terima kasih untuk bantuan Tiara sama Resmin, yah, maaf banget jikalau merepotkan kalian, hati-hati di jalan, yah," ucap Arda mengakhiri drama pamitnya. "Titip Arda, yah, Ren, Feb," ucap Tiara sambil melambaikan tangan di balik kaca mobilnya. __

Sekian penulis tutup dengan kata, "Perpisahan memang menyakitkan tapi perlu diketahui bahwa tak semua perpisahan itu buruk, kadang kala perpisahan juga memberi manfaat serta pengalaman yang sangat berarti untuk berani mengambil langkah yang lebih baik lagi, jadi jangan pernah menyalahkan takdir karna memang sudah skenario tuhan untuk membentuk hamba-Nya jadi lebih baik."

***

Tentang Penulis

AtmaRachita adalah nama pena pertama dari buku pertama seorang gadis kelahiran Pendopo (Kab. Penukal Abab Lematang Ilir) pada 14 September 2002. Anak pertama yang menjadi saksi kehidupan rumah tangga kedua orang tuanya. Penyuka kucing, bunga, serta hal-hal yang berbau seni, dan perangkai kata amatir yang menarik dirinya untuk berani menerbitkan buku pertamanya. Silakan singgah pada Instagram-nya @ardawullan tanpa first account ataupun second account, hanya satu account. Selamat menikmati kehidupan.


Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar