[CERPEN] Cermin - Karya Anastasya Aiyana

Daftar Isi

“Kamu mau kemana?”

Suara lembut itu terasa memekakkan hati Trina yang sedang memilih anting. Ia menengok ke cermin, sambil mengelus ujung bawah rambutnya. Tampak bayangan dirinya. Ya… dirinya yang lain!

“Oh, Trina di cermin! Lo udah tau dong, gue mau kemana malam ini,” seru Trina sambil mengedipkan mata. 

“Jangan bilang…”

“Yap! 100 buat lo!” sela Trina cepat sebelum bayangan dirinya yang sok tahu menghakiminya.

Bayangan itu melihat tidak percaya pada perpaduan little black dress, make-up berdempul dan stocking hitam yang dikenakan Trina. Matanya melotot memandang high heels hitam berhak 11 cm di sebelah pintu kamar. Trina hanya terkekeh.

“Santuy aja lagi! Gue bakalan nge-date hari ini sama my prince charming!”

“Prince charming?” seloroh bayangan Trina dengan sinis. “More like… prince of hell!”

Trina mengambil gunting dan hampir mengarahkannya menuju cermin, “Lo bisa nggak sih, kalo ngomong itu dijaga? Dasar sok alim! Kayak yang punya surga bapak lo aja!”

Bayangan Trina memejamkan mata sambil berkomat-kamit mengucapkan dzikir. Sesekali terdengar istighfar terucap lirih. Trina cuma bisa menggelengkan kepala.

“Gini nih, kalo orang terlalu mabuk agama! Have fun dikit nggak boleh! Apa-apa nggak boleh! WOI!!! Lo masih muda! Banyak banget waktu yang terbuang sia-sia kalo nggak dinikmatin gitu aja!”

“Aku… aku… boleh tanya… tanya satu hal, nggak?” ucap bayangan Trina dengan terbata-bata.

“Satu aja, ya! Kalo lo tanya yang lain, nggak bakalan gue tanggepin!” kata Trina dengan ketus sambil memasang anting imitasi putih di kedua telinganya.

“Trina, kamu diijinin nggak, sama ortu buat ketemuan sama dia?

“Mama sih, ngijinin. Om yang nggak tau. Jadi kita semi backstreet gitu, deh! Tapi seru, lho! Makin banyak tantangan, makin lengket kita!”

Handphone Trina bergetar, ringtone khusus terdengar. Matanya berbinar. Prince charming-nya sudah menelepon.

“Lebih baik kamu di rumah aja, Trin,” ucapan bayangan di cermin itu mengembalikan memori masa kecil Trina. Itu adalah panggilan yang sering digunakan almarhum ayahnya. Sudah 10 tahun Mama dan dirinya hidup bersama keluarga kecil Om. Sudah selama itulah, Trina merindukan sosok Papa yang sedikitpun tidak bisa digantikan oleh Om. Ia tidak mau mengkhianati ikrar yang terukir di hatinya saat mengantar Papa ke liang lahat.

“Eh, nenek lampir! Lo pikir, lo bisa panggil gue ‘Trin’ seenaknya! Cuma Papa yang bisa panggil gue gitu! Gue ulangin, cuma Papa!”

“Aku paham, Trin… tapi…”

“NO TAPI TAPI! Bangsat lo! Kalo lo kira dengan panggilan itu gue bakalan nurut sama lo, NOL BESAR! Sadar diri, dong! Lo bukan bokap gue! Lo bukan siapa-siapa gue!” teriak Trina kencang hingga terduduk di lantai.

“SAYANG!!! Sayang! Kamu nggak apa-apa?” Trina merasakan tangan kekar melingkupi kedua lengannya. Perlahan, tubuhnya terangkat dan dirinya dapat berdiri lagi. Pandangan matanya jatuh pada sosok itu, kekasih hatinya. 

“Say… yang?” Trina berusaha merangkai kata sambil perlahan memulihkan kesadarannya.

“Iya, sayang. Ini aku. Maaf ya, aku masuk ke kamar kamu. Abis, kamu aku tungguin di luar udah ada setengah jam. Sekalinya denger kamu teriak, aku auto panik, dong!” pangerannya ini menyunggingkan senyum termanis yang membuat hati Trina meleleh.

“Iya. Tapi, apa Omku nggak lihat kamu masuk?” tanya Trina. Diam-diam, dia takut juga ketahuan backstreet.

“Sepi tuh, nggak ada siapa-siapa. Cuma Trina dan Edi di rumah ini, berdua aja yang aku tau,” ucap Edi sambil mengecup tangan kanan Trina. Selain salting, ia tidak menyangka kalau mereka sedang beruntung karena rumah kosong. Pasti Mama dan keluarga kecil Om sedang ke pasar malam.

“Kita makan di luar, kuy! Kita udah ngerencanain ini berbulan-bulan. apalagi aku baru dapat gaji pertama dari freelance! I don’t wanna disappoint you, my love…,” 

“Tapi, aku belum selesai dandan. Masih ku…”

“You look really beautiful. Always…” bisik Edi dengan lembut.

“Really?” pipi Trina memerah.

“Ya,” jawab Edi singkat. Punggung tangannya membelai pipi Trina.

“Kalo kita disini aja gimana? Aku takut ketemu sama keluargaku di pasar malam,” perkataan Trina ini membuat Edi tersenyum simpul.

“Sebenernya, aku nggak berpikir kamu mau kita tetap disini. Tapi, kalo itu yang kamu mau…,” Edi memegang gagang pintu kamar.

“HEI!!! Kamu mau ngapain?” tangan Trina memegang gagang pintu kamar dan tubuhnya menahan agar pintu itu tidak tertutup.

“Sayang, kita sudah pacaran hampir 6 bulan. Aku ingin… kamu tau…,” mata Edi bergerak menelusuri Trina dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kalo kamu pikir aku cewek gampangan, kamu salah besar, Ed!” bantahan Trina ini membuat Edi tertawa.

“Oh, ya? Terus apa yang bisa kamu lakuin? Nggak ada yang bisa nolongin kamu sekarang!”

Trina yang berusaha melarikan diri gagal setelah tangannya ditarik oleh Edi, “Kamu… iblis apa yang udah merasukimu? Bukannya kamu sayang sama aku? Bukan ini yang namanya sayang!”

“Aku memang sayang! Sayang dengan yang memanjakan mataku ini.”

Plak! Trina melayangkan tamparan ke pipi kanan Edi, “TOLONG! TOLONG!”

“Nggak ada gunanya, sayang!” tegas Edi yang sudah kehabisan kesabarannya. Ia memegang wajah Trina dengan tangan kanannya. Tangan kirinya bersiap menampar Trina.

Brukkk!!! Tiba-tiba, tubuh Edi sudah tersungkur di lantai. Di dekat pintu kamar, Trina melihat Om berdiri di sana dengan napas terengah-engah.

“Om!” teriak Trina sambil terisak. Tubuhnya berdiri di belakang Omnya.

“Alhamdulillah… Dia pingsan. Ayo! Kita pindahkan ke ruang tamu!” perintah Om dengan suara baritonnya.

Trina bersyukur Om merahasiakan kejadian itu. Selain hanya mereka berdua, yang tahu hanya Allah, kedua malaikat dan tentu saja… bayangannya di cermin.

“Bagaimana keadaanmu, Trina?” 

“Gue… ngerasa lebih baik,” jawab Trina seadanya. “Lo sendiri gimana? Gue tau lo sebenernya pengen nolong, tapi nggak bisa.”

“Jujur, aku prihatin,” bayangannya terlihat sedih.

“Kayaknya ada banyak yang mau lo omongin, deh!” desak Trina.

“Ya, tapi tentu kamu sudah tau. Karena aku adalah bagian dari dirimu, Trin…”

“Iya, aku tahu…,” Trina melanjutkan menyisir rambutnya.

“Kamu nggak marah karena aku panggil ‘Trin’?”

“Nggak.”

“Bukannya cuma Papa yang bisa panggil kamu gitu?”

“Udah saatnya buat gue mengikhlaskan. Gue yakin Papa pasti pengen gue bahagia.”

“Aku setuju, aku juga pengen lihat kamu bahagia. Mama, bahkan Om dan keluarganya juga, Trin.”

Ternyata, apa yang selama ini aku butuhkan sudah ada disekitarku.

***

Tentang Penulis

Anastasya Aiyana adalah overthinker yang menjadikan sifat introvert, pemalu, dan sensitifnya sebagai bahan bakar untuk menghasilkan karya berkualitas untuk kemaslahatan umat. Anastasya bisa disapa lewat Instagram: @anastasya.aiyana dan e-mail: anastasya.aiyanabooks@gmail.com. Wattpad? Insyaa Allah menyusul!





Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar