[CERPEN] Cinta di Ujung Jalan
Bian mengusap name tag gold bertuliskan 'Branch Manager' yang dipasang di dada sebelah kanan. Name tag yang cocok dengan warna kemeja yang sedang digunakan. Bibirnya mengulas senyum. Hari ini adalah hari pertama dirinya menjadi kepala cabang setelah mendapatkan promosi kenaikan jabatan.
Meniti karir dari bawah di bank ternama, membuat Bian bangga atas dirinya. Jabatan tinggi di usia muda. Namun, dia masih belum memiliki kekasih.
Bian menyapa ramah para front liner di banking hall. Nasabah mulai berdatangan tepat sesaat jam operasional dimulai. Para petugas bank sibuk melayani nasabah. Antrean pun cukup banyak.
Bian menelisik area banking hall dan menghampiri security. "Antrean paling banyak ke mana?" bisiknya.
"Lebih banyak ke teller, Pak. Beberapa nasabah ke customer service untuk pembukaan rekening dan kartu ATM tertelan," jawab security pelan.
"Kalau cuma penarikan di bawah 10 juta arahkan ke mesin ATM agar tidak terjadi penumpukan antrean."
"Sudah, Pak. Rata-rata pencairan cek dan bilyet giro."
Bian tak bicara lagi. Para marketing pun sedang sibuk dengan nasabah masing-masing. Hingga akhirnya memutuskan untuk turun tangan langsung. Dia menghampiri para nasabah yang memegang formulir pembukaan rekening.
Mencoba membantu nasabah menentukan produk yang tepat. Menjelaskan setiap produk yang sesuai dengan kebutuhan nasabah. Hal ini dilakukan agar saat di customer service waktu layanan tidak banyak terbuang.
Matanya mengedar kembali ke jajaran nasabah yang masih duduk mengantre. Seorang wanita cantik yang duduk di pojok menarik perhatian Bian. Dia menghampiri wanita tersebut.
"Selamat siang, saya Bian. Kepala cabang di sini," ucap Bian mengulurkan tangan.
Sang wanita menoleh ke kanan dan kiri. Sedikit bingung, hingga ia yakin bahwa dirinya yang diajak bicara, dia pun mengulurkan tangan untuk menyambut tangan Bian. "Saya Camelia. Oh, Anda BM (Branch Manager) baru?"
"Iya, pengganti Pak Rudi. Bu Camelia, mau transaksi apa?" tanya Bian ramah.
"Biasa Pak, ke teller. Biro dan cek," terang Camelia mengulas senyum.
Bian ikut tersenyum melihat senyum manis Camelia. “Bu Camelia sudah punya pro—”
“Jangan tawari saya produk lagi,” potong Camelia. Dagunya menunjuk ke arah customer service. “Mereka sudah banyak menodong saya membeli berbagai macam asuransi dan tabungan,” kekehnya.
Bian ikut terkekeh. Dari cara bicara Camelia, sepertinya wanita itu sudah sering datang ke cabang dan juga akrab dengan para karyawan. Setelah berbincang sebentar, Bian izin undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya.
***
Bian pulang telat karena harus meeting bersama para marketing. Menyandarkan punggungnya di kursi mobil dan mulai menjalankan mesin. Di ujung jalan, dia melihat Camelia yang sedang berdiri di pinggir jalan. Bian menghentikan mobil tepat di samping Camelia.
“Bu Camelia mau ke mana?” tanya Bian.
“Oh, saya sedang menunggu angkutan umum,” jawab Camelia.
“Mau saya antar pulang?” tanya Bian lagi. Dia melihat Camelia memicingkan mata dan mengigit bibir bawahnya. “Maaf, saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin membantu.” Bian cepat-cepat meluruskan, tak ingin dianggap dirinya menggoda wanita.
Camelia tertawa ringan. “Iya saya tahu. Hanya saja rumah saya jauh, takut merepotkan, Bapak?”
“Tidak apa. Ini sudah malam, biar saya antar.”
Camelia masuk ke dalam mobil Bian, memberitahu alamat rumahnya. Mereka pun berbincang tentang transaksi di bank.
“Jadi, Bu Camelia sudah cukup lama bekerja di PT Demansis?”
“Lumayan, setelah lulus kuliah langsung bekerja di Demansis.”
“Jurusan akutansi?” tanya Bian, mengingat Camelia yang mengurus keuangan PT Demansis.
“Bukan. Dulu saya ambil dua jurusan. Malam ambil komputer, siang dihukum.”
“Wow, double degree.”
“Ya begitulah. Malam ambil komputer, siang dihukum,” ulang Camelia sambil tertawa pelan.
“Hukum,” gumam Bian. “Bisa masuk ke divisi legal juga. Menangani masalah hukum di perusahaan.”
“Bisa banget,” kekeh Camelia. “Malam ambil komputer, siang dihukum!” Camelia semakin terbahak, terlebih melihat Bian yang bingung karena dirinya tertawa.
“Malam ambil komputer, siang dihukum… maling dong!” seru Bian yang baru mengerti candaan Camelia.
Mereka tertawa bersama, obrolan panjang menemani perjalanan mereka. Sapaan bapak dan ibu tersingkir begitu saja, berganti aku dan kamu. Mengobrol dengan hangat dan akrab.
Dua minggu berlalu, hubungan mereka semakin dekat. Namun, kesibukan Bian sebagai kepala cabang membuat mereka hanya bertemu di malam hari. Bertemu di ujung jalan yang sama di awal mereka pulang bersama.
“Kapan aku boleh mampir?” tanya Bian memberhentikan mobil di ujung jalan perumahan Camelia.
“Baru dua minggu jalan bersama. Aku belum siap memperkenalkanmu,” ucap Camelia menundukkan kepala. Wajahnya tampak sedih.
“Tidak apa. Aku bukan mau mendesakmu. Hanya saja, aku tidak ingin dianggap tak sopan karena mengantar hanya di ujung jalan.”
“Kamu sangat sopan kok. Aku pulang ya.”
“Ya, hati-hati. Selamat malam.”
Camelia memajukan wajah, lalu secara tiba-tiba mengecup pipi Bian. Setelah itu keluar dari mobil dan berseru, “Good bye!”
***
Semangat pagi mengiringi hari Bian. Hatinya bahagia. Menyentuh pipi dan tersenyum, mengingat saat sang kekasih mengecup pipinya semalam.
Bian datang ke ruang Riri, seorang manager operasional untuk memberikan surat tugas marketing. Namun, dia melihat Desi, seorang customer service sedang menangis.
“Ada apa ini?” tanya Bian.
“Nggak ada apa-apa, Pak. Desi cuma sedih saja mengingat seorang nasabah,” jelas Riri.
“Emang kenapa?”
Riri menunjuk monitor cctv di sampingnya, terdapat seorang wanita paruh baya yang sedang termenung di meja layanan Desi. “Ini orang tua nasabah bernama Lia, datang membawa surat kematian anaknya untuk penutupan rekening. Sebulan yang lalu, Lia meninggal di ujung jalan karena dirampok setelah menarik cek empat ratus juta. Kemarin, para perampok berhasil diringkus polisi,” jelasnya.
“Orangnya baik banget, ceria. Jahat banget itu rampok! Mbak Lia cuma menjalankan tugas tapi kenapa sampai harus dibunuh!” kesal Desi. “Sekarang, yang jadi perwakilan PT Demansis nggak seramah kaya Mbak Lia,” lanjutnya.
“PT Demansis? Bukannya perwakilannya Camelia?” tanya Bian dengan hati gusar.
“Mba Lia itu, ya Camelia!” timpal Riri.
Seperti bom yang meledak di telinga Bian. Dia mengambil berkas di tangan Riri. Tangannya bergetar saat melihat nama sang kekasih di akta kematian.
“Ada apa, Pak? Wajah Bapak pucat?” tanya Riri.
***
Seminggu berlalu, selama itu pula Bian memarkirkan mobil di ujung jalan setiap pulang kerja. Berhenti beberapa saat seolah sedang menunggu seseorang. Namun, yang ditunggu tidak pernah datang. Meraih ponsel, menyentuh sebuah nama dalam kontak. Namun, tak pernah terhubung, hanya ada jawaban mesin yang menyatakan nomor tidak terdaftar.
Mulai menyalakan mesin kembali. Menatap jalan dan menyematkan nama sang kekasih di hati. Camelia, akan selalu menjadi kenangan terindah.
***
Tentang Penulis
Age Nairie, wanita aquarius yang tidak menyukai basah. Namun, bukan berarti tak menyukai air. Menghayal adalah kesehariannya, meskipun belum tentu semua khayalan dituang dalam tulisan. Seorang penulis yang masih butuh banyak belajar dan terus belajar. Untuk saat ini bisa temukan novel Age di Noveltoon, Fizzo, KBM dan Hinovel.
Semangatt kk, ceritanya bagus
Selalu bikin aku terhanyut,
Bisa tuh lanjut ke novel🥰
Kereenn bgt si ceritanya