[CERPEN] Elvaretta

Table of Contents

Angin berembus kencang disertai hujan lebat menggoyangkan pepohonan di pinggiran jalan. Seorang perempuan berseragam SMA berlari menghampiri sebuah gedung tua di pinggir jalan untuk berteduh. Suara petir terus-menerus terdengar dan hujan yang makin lebat membuat perempuan itu ketakutan. Cipratan air mengenai baju seragam dengan name tag yang bertuliskan Elvaretta Adinda Siska sudah setengah basah, membuat ia menggigil kedinginan. 

Suasana jalanan sangat sepi, begitu pun di gedung ini. Tidak terlihat ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, padahal gedung ini sangat besar dan mewah, hanya perlu sedikit perbaikan untuk atapnya yang bocor. 

 Gadis benama Elvaretta itu melihat sekelilingnya yang sepi, lalu ia membalikkan badannya dan melihat ke arah jendela gedung itu. Ia melangkahkan kakinya dengan mata yang penuh selidik, rasa penasaran kini menyelimuti pikirannya. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya, tetapi sebuah balok kayu berhasil membuat kakinya tersandung lalu ia terjatuh. Tanpa  sengaja ia mendorong pintu itu hingga berhasil terbuka dengan mudahnya.

“Aws!” ringisnya, lalu ia terbangun dan melihat dengan terkejut saat pintu itu terbuka. 

Sedikit gelap dan tercium aroma debu yang menyelimuti ruangan luas ini. Di setiap dinding tembok dikelilingi oleh buku-buku yang berderet rapi dan padat. Tidak ada satu celah pun ruang kosong di rak itu. Semuanya penuh dengan buku-buku yang rapi dengan ukuran sama, dan warna-warna yang di kelompokkan menjadi satu bagian warna.

Elvaretta tanpa permisi langsung masuk saja dan berkeliling melihat semua penjuru ruangan yang penuh dengan buku-buku. Setiap langkah kakinya bisa ia dengar karena suara hujan kini mulai mereda. 

“Apa ini gedung perpustakaan yang udah tidak beroperasi, ya?” gumamnya pada dirinya sendiri, “sangat menarik, semuanya tersusun rapi, seperti disusun oleh seorang yang perfeksionis. Tapi sayang sekali tidak terawat.” 

Elvaretta berhenti pada salah satu rak yang terkumpul buku-buku berwarna cokelat. Ia melihat salah satu perbedaan di antara buku itu. Satu-satunya yang berbeda dibandingkan dengan buku yang lainnya yang terasa sangat sama. Tanpa berpikir panjang ia langsung mengambil buku itu, dan membukanya. 

Brak!

Tiba-tiba pintu gedung itu tertutup dengan kencangnya, membuat Elvaretta terkejut. Dengan cepat ia langsung berlari menuju arah pintu itu. Ia ingin membuka pintu itu, dan ternyata begitu mudahnya pintu itu terbuka kembali. 

“Huh! Hampir saja, aku takut terkunci di sini. Sebaiknya aku langsung pulang saja,  pasti Ibu menungguku.” Elvaretta langsung melangkahkan kakinya meninggalkan gedung tua itu. 

Hujan sudah reda, meninggalkan genangan air di sepanjang jalan. Seorang pria bertubuh tinggi sekitar 180 cm, tiba-tiba muncul di ambang pintu gedung tua itu dengan pintu yang terbuka lebar, sambil melihat kepergian Elvaretta dengan sorot mata yang tajam. “Kenapa kamu membawa buku itu?” ucapnya penuh tanya dan dengan raut wajah yang datar.

Di sepanjang perjalanan pulang, Elvaretta kembali mengingat kejadian-kejadian yang telah berlalu. Kejadian yang selama ini ia alami oleh ibu dan saudara tirinya di rumah, bahkan di sekolah. Ia tidak pernah merasa tenang, apalagi setelah kepergian ayahnya beberapa bulan yang lalu. 

Di rumah, ia selalu mendapat perlakuan yang berbeda dengan adiknya. Ia mendapat kekerasan dari ibunya, baik dari perkataan maupun fisik. Sedangkan di sekolah, Elvaretta selalu mendapat bully-an dari adiknya karena tidak menganggap bahwa Elvaretta adalah kakaknya.

Elvaretta sekelas dengan adiknya yang bernama Alex Pradipta. Ia hanya selisih beberapa bulan saja dengan Elvaretta. Dahulu, ibu kandung Elvaretta meninggal dunia saat melahirkannya. Beberapa tahun kemudian, ayahnya menikahi seorang janda anak satu yang sama ditinggal mati oleh suaminya. Sekarang Elvaretta hanya memiliki seorang kakek yang sangat menyayanginya, dan membelanya jika ibu tirinya memarahinya. 

Plak! 

Tamparan sangat nyaring itu mendarat di pipi kiri Elva dengan kencang. “Dari mana aja kamu? Pulang selarut ini?” ucap ibunya saat ia baru memasuki rumahnya.

“Maaf, Bu, aku pulang jalan laki, lalu tadi aku kejebak hujan.” Elvaretta melirihkan suaranya dengan menundukkan kepalanya.

“Kamu ini, jaman sekarang masih aja jalan kaki, sekarang angkot banyak, taksi banyak, Grab ada. Alesan aja kamu, bilang aja abis main sama temen kamu kan? Keluyuran jalan-jalan ngabisin duit, iya?!” cerca ibunya dengan nada tinggi dan terus memojokkan Elva yang sekarang diam seribu bahasa tidak tahu harus berkata apa. 

Alex terlihat berada di ambang pintu kamarnya lalu tersenyum miring melihat ke arah Elva. Ia tahu perempuan itu tidak akan berani mengatakan bahwa uang sakunya habis karena setiap di sekolah Alex selalu meminta uang saku Elvaretta dengan paksa. Kalau Elva menolak, ia selalu diancam tidak akan mendapat kesempatan bersekolah dengan tenang, dan pasti akan dikeluarkan dari sekolahnya. 

Elvaretta langsung pergi begitu saja ke kamarnya tanpa memedulikan omelan ibunya itu. “Dasar anak kurang ajar, orang tua lagi ngomong ya. Retta!” teriak ibunya, tetapi tidak dihiraukan oleh Elvaretta dan langsung menutup  pintu kamarnya. 

“Ada apa ini? Kenapa kamu berteriak-teriak seperti itu?” tanya seorang laki-laki paruh baya keluar dari kamarnya. 

“Tuh cucu kesayangan kamu, jam segini baru pulang. Mau jadi apa dia nantinya. Anak perempuan malam-malam keluyuran di luar.” Seorang kakek itu hanya menatap  ke arah pintu kamar cucu perempuannya. Ia tau cucunya sangat menderita di sini, ia tidak pernah melihatnya tersenyum dengan tenang. 

“Argh!” Elvaretta melampiaskan rasa marahnya dengan sedikit berteriak dan membanting tas sekolahnya asal. Kemudian, ia menangis sejadi-jadinya. Ia sangat sakit sekarang. Kenapa ia selalu mendapat perlakuan seperti ini? Salah apa ia hingga ibu dan adik tirinya tidak menyukainya? Keadaan mentalnya sekarang merasa hancur. Setelah kehilangan ayahnya, Elva merasa kehilangan kehidupannya. 

“Ayah, apa aku boleh menyusul Ayah?” gumamnya di sela-sela tangisan.

“Bagaimana kalau mereka yang menyusul ayahmu? Apa kamu akan baik-baik saja?” Suara berat dari seorang pria itu membuat Elva menghentikan tangisnya. “Siapa kamu? Kenapa kamu ada di kamarku?” Elvaretta terkejut lalu sedikit memundurkan dirinya hingga terentak ke dinding.

“Kamu membawa bukuku,” ucapnya dengan dingin dan datar. 

Elvaretta merasa ketakutan sekaligus terpaku oleh penampilan pria itu. Ia seperti seorang tokoh-tokoh yang ada di cerita dongeng. Berpakaian seperti seorang pangeran kegelapan karena pakaiannya yang serba hitam. Wajahnya putih pucat, dan rahangnya yang sangat indah dilengkapi dengan hidung mancung serta mata yang tajam. Badan tinggi dan tegapnya terlihat benar-benar seperti seorang pangeran.

“Buku?” ralatnya. Tak butuh waktu lama Elva mengingat buku yang ia bawa dari gedung tua itu. Elva berjalan menghampiri tas sekolahnya lalu mengeluarkan buku itu. “Apa benar ini milikmu?” pertanyaan Elva tidak mendapat jawaban dari pria itu, “jika memang benar, bawa aku ke dunia buku ini! Aku ingin mengubah takdirku, dan memulai kembali kehidupanku. Aku ingin memilih takdirku sendiri,” lanjutnya tanpa berpikir panjang karena mana mungkin ucapannya bisa terjadi. Mustahil. Begitulah pikir Elva. Namun, di luar dugaan, pria itu tertawa menanggapi ucapan gadis itu. 

“Takdirmu sudah tercatat jelas, yang bisa mengubahmu, hanyalah nasibmu, apa yang kamu inginkan di masa depan? Dan, apa yang telah kamu kerjakan sekarang?” kata pria itu, tawanya pun tanpa ekspresi, sangat menakutkan. Ia seperti psikopat di mata Elva. 

Pria itu melanjutkan, “Aku datang ke sini bukan hanya untuk mengambil buku itu, tapi juga membawamu pergi dari sini. Kamu harus ikut denganku. Beruntung kamu sekarang, permintaanmu aku kabulkan.” Elva lebih terkejut mendengar perkataan itu daripada mendengar penolakannya. 

Pria itu berjalan perlahan mendekati Elva dengan sedikit pandangan menyusuri kamarnya. Ia melihat semua yang ada di kamarnya hingga benda terkecil pun ia melihatnya. “Seharusnya kamu terkunci di gedung tua itu. Tapi mengapa kamu dengan mudahnya keluar dari sana? Sekarang aku mengerti. Karena kamu tidak menginginkan di sini,” jelasnya. Elva langsung menjawabnya, “Ya, aku tidak menginginkan di sini. Maka cepat bawalah aku.” 

“Hey, jaga ucapanmu. Jangan biarkan ucapan itu membunuhmu.” Pria itu menunduk menatap tajam mata Elva. “Maka bersiaplah, kamu akan kehilangan orang yang menyayangimu, begitu pun kamu akan kehilangan mereka.” 

“Itulah pengorbananku. Jika aku akan mengubah takdir atau nasibku. Aku bersedia, asalkan pencapaianku sesuai dengan apa yang telah aku korbankan.” Pria itu tersenyum tepat di depan wajah Elvaretta. Beberapa detik kemudian Elvaretta terbangun dari tidurnya.

“Aku, bisa menyusun rencanaku sendiri, apa yang aku kerjakan sekarang, maka sesuatu itu yang akan aku terima di masa yang akan datang.” 

Begitulah hukum alam membentuknya menjadi pribadi yang lebih dewasa, dan menerima keadaan dengan ikhlas dan penuh semangat untuk menjemput masa depan yang lebih cerah. “Apa  yang kamu tanam hari ini, maka itu yang akan kamu tuai suatu saat nanti.”

***

Tentang Penulis

Dina Novita itu seorang gadis kelahiran 2003. Dia mempunyai mimpi yang tidak bisa dibayangkan oleh dirinya sendiri. Gadis ini bisa ditemui di akun Instagram miliknya, @HI_DIN95. Selain itu, jika kamu tertarik dengan hasil tulisannya, dia memiliki akun Wattpad yang bisa kamu kunjungi karya lainnya, yaitu pada akun @DQIUERIN. Dia akan senang jika kamu menyapanya.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar