[CERPEN] Harmoni Tak Terdengar

Table of Contents

Di panggung yang megah dan penuh dengan gemerlap lampu, seorang konduktor berdiri tegak di depan orkestra yang siap tampil. Meskipun tidak bisa mendengar suara indah alunan musik yang akan dimainkan, ekspresi wajahnya dipenuhi dengan keberanian dan semangat yang membara. Netra hitamnya memancarkan tekad yang kuat, mencerminkan keinginan yang tulus untuk membimbing orkestra menuju keharmonisan yang luar biasa. 

Di tengah hening, Zayan Reswara –konduktor itu mengangkat baton dengan penuh keyakinan. Ia siap untuk memulai pertunjukkan yang akan memukau penonton. Suara alat musik yang dimainkan mengalun indah di udara, menciptakan melodi yang memukau dan memikat pendengarnya. Setiap nada yang dipancarkan oleh alat musik mengalir dengan lembut. Suara alat musik tersebut memenuhi ruangan, menghipnotis pendengar dan membawa mereka ke dalam aliran musik yang memikat. 

Setiap nuansa musik terdengar jelas dengan sempurna, menciptakan lapisan-lapisan melodi yang saling melengkapi dan menyatu dengan hamonis. Suara alat musik itu bagaikan cerita yang diceritakan tanpa kata-kata, namun dapat menyentuh hati dan jiwa pendengarnya. Dengan gerakan yang anggun dan penuh semangat Zayan memimpin orkestra. Dia bisa merasakan kehadiran setiap nada yang dipancarkan oleh alat musik. Tangannya bergerak gesit dan penuh ekspresi mampu menciptakan irama yang indah di antara para pemain orkestra. Setiap gerakan tongkatnya menggambarkan keselarasan yang luar biasa.

“Aku bisa merasakannya,” 

Di tengah gemerlap lampu panggung, Zayan menjadi pusat dari harmoni yang tercipta. Ekspresi wajahnya penuh dengan kegembiraan dan kepuasan, menunjukkan keindahan dari kesatuan musik yang diciptakan bersama. Walaupun dirinya sendiri adalah seorang tunarungu, itu tidak menjadi penghalang bagi pemuda itu. Dengan teliti dan penuh perhatian, ia memberikan arahan yang tepat kepada setiap bagian orkestra. 

Suara gemuruh tepuk tangan penonton memenuhi ruangan, menunjukkan apresiasi mereka terhadap penampilan yang luar biasa atas pertunjukkan. Wajah-wajah yang dipenuhi dengan senyum dan kepuasan menghangatkan atmosfer di panggung. Zayan berbalik menghadap penonton lalu membungkukkan tubuhnya. Senyuman lebar terpatri di bibirnya, dia bersyukur pertunjukannya berjalan dengan lancar. 

Begitu dia keluar dari gedung, nampak seorang gadis yang berlari kecil menghampirinya. Gadis itu adalah sahabat lama Zayan, Kavya Lunarie atau kerap dipanggil Luna berdiri di hadapan Zayan. Dia tampak menawan dengan balutan dress bermotif bunga-bunga. Rambut hitam legamnya tergerai dengan lembut di atas bahu, penampilannya malam ini terlihat seperti bunga yang sedang mekar. Cantik, itu yang ada dipikiran Zayan sekarang. 

“Kamu tumben dandan, biasanya pake rok aja nggak mau,” ujar Zayan dengan bahasa isyarat. 

Dia bisa berbicara seperti orang normal, hanya pendengarannya saja yang bermasalah sejak kecil. Zayan belajar bahasa isyarat untuk membantunya berkomunikasi dengan orang lain, kecuali Luna. Saat bersamanya Zayan bebas menulis atau menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi dengan gadis itu. Pemuda itu lagi-lagi menggerakkan tangannya untuk berkomunikasi dengan Luna. 

“Ayo, aku anterin kamu pulang. Udah selesaikan les pianonya?”

Luna mencubit pinggang Zayan sembari tersenyum. Ia kemudian menggerakkan tangannya sambil berbicara. “Udah, kamu mau makan? Hari ini aku traktir mumpung dikasih uang sama mama.”

Zayan menggeleng, menolak tawarannya. Ia merogoh sakunya lalu mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya tampak mengetik sesuatu di ponselnya. Kemudian dia menunjukkan ponselnya sambil tertawa. 

“Tabungan ya? Udah, tenang aja. Kamu mau makan apa?” Zayan dapat mengerti apa yang gadis itu katakan melalui gerak bibirnya. Dia kembali mengetikkan sesuatu di ponselnya. 

“Beneran nggak mau?” Lagi-lagi Zayan menggeleng sambil memasang senyuman simpul. Bagi Luna, Zayan adalah laki-laki yang sempurna meski dia memiliki kekurangan tapi di matanya dia adalah sosok malaikat. 

Tin!! 

Suara klakson mobil menarik atensi dua orang tersebut. Seorang pria paruh baya tampak melambaikan tangannya ke arah Luna. Dapat Zayan tebak jika itu adalah ayah Luna yang datang menjemput gadis ini. 

“Ayah udah dateng. Aku pulang duluan, ya? Hati-hati, jangan ngebut bawa motornya.” Zayan mengangguk lalu mengusap pucuk kepala Luna. 

Luna segera berlari ke arah mobil ayahnya berhenti. Zayan melambaikan tangannya ke atah ayah dan anak itu. Setelah mobil mulai menjauh, barulah Zayan berjalan kaki menuju kost yang tak terlalu jauh dari sana. 

Dalam perjalanan pulang, suasana sekitar cukup ramai. Di tengah keramaian itu, Zayan tidak sengaja menabrak seorang pria tua. Pria itu mengucapkan maaf sambil tersenyum. Tubuh Zayan membeku kala melihat senyuman misterius pria tua yang menabraknya. 

“Maafkan saya, saya tidak bisa melihat dengan baik.” Pria itu hendak pergi namun ditahan oleh Zayan. Seketika wajahnya berubah menjadi pucat pasi. 

“Tunggu sampai polisi datang,” ujar Zayan sebelum orang-orang datang berkerumun. 

***

Keesokan harinya, Luna duduk termenung di dekat ibunya. Tadi pagi dia menerima kabar bahwa sahabatnya telah pergi untuk selamanya. Luna berharap ini hanyalah mimpi semata, tapi itu hanyalah angan-angan belaka. Zayan meninggal di rumah sakit karena menjadi korban acak. 

Rasanya sulit menerima kepergian Zayan yang mendadak. Baru tadi malam dia melihat pemuda itu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. Memang kepergian seseorang adalah rahasia Tuhan yang tak seorang pun tahu kapan. 

Wajah gadis itu sembab karena dari tadi pagi buta terus menangis. Hatinya bak tertusuk belati tajam mendengar kabar duka itu. Air matanya kembali meluruh saat mengingat momen dan janji yang mereka berdua buat. 

“Aku bakalan temenin kamu sampe kamu bisa beli mobil Lamborghini!!”

“Luna, ayo nanti kita pergi ke Paris! Aku pengen banget liat menara Eiffel.”

Senyuman tipis terukir di bibir Luna. Kenangan-kenangan itu kini berputar di benaknya. Ia harus kehilangan sosok sahabat dekatnya. Orang yang selama ini menjadi tempat ceritanya kini harus pergi. Luna memeluk erat pesawat kertas buatan Zayan kemarin. 

Kini jiwanya bebas. Terlepas dari semua beban yang membelenggunya. 

***

Tentang Penulis

Radendeng, nama pena gadis berusia 17 tahun yang terinspirasi dari nama makanan yaitu dendeng. Si pecinta sastra dan fiksi. Ia adalah seorang penulis pemula yang membagikan karyanya di beberapa platform, salah satunya Wattpad.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar