[CERPEN] Kesalahan Virtual

Table of Contents

Hiruk-pikuk yang terpilin dari beraneka ragam bahana manusia yang singgah di kedai kopi pinggir jalan asyik hilir-mudik hingga bermuara pada sepasang gendang telinga saya, juga kidung yang alunan nada maupun lirik dalam saban lariknya teramat familier. Pancaran kerlap-kerlip yang berasal dari jajaran lampua yang menghiasi tepi jalanan seakan mengundang Batari Candra yang hanya mengepulkan aram temaram agar menghadiri sebuah pergulatan sebagai penentu siapa yang pantas mencengkam padmasana atas afsun gemerlap malam kali ini. Berkelainan dengan mahligai yang berdiri kokoh di hamparan kalbu saya, ia tidak perlu lagi beranjangsana ke pagelaran semacam itu sebab padmasana atas debar jantung saya suah menemukan sang pemenang. Duh, memikirkan hal itu saja sanggup mencipta sekuntum askar candra pada tapak roman saya yang dibarengi buaian detak hingga detik-detik persona yang duduk di kadera sebelah saya membuyarkan lamunan yang suah tercipta. 

"Sedari tadi, aku memergokimu asyik senyum sendiri. Apakah aku perlu mengantarmu ke rumah sakit sebab aku merasa bahwa kamu sudah kehilangan kewarasan, La?"

Sepasang netra saya berkalih merenung persona yang bahana berasal darinya suah menginterupsi lamunan. Dia ialah teman teramung yang suah memafhumi seluk-beluk yang termaktub dalam diri saya, termasuk ihwal sang pemenang. Dia memiliki perawakan selira bak tiang listrik yang bertengger di depan gerha saya dengan rambut berwarna hitam pegam. Jikalau saya berdiri di sampingnya, niscaya jemala saya sekadar kuasa bersejajar dengan lengan atasnya—belum mencapai pundaknya yang mahabesar. Bisa ditafsirkan, saya ialah kurcaci, sedang dia ialah raksasa dengan tampang yang cukup rupawan. Agaknya penuturan saya dibenarkan oleh semesta sebab kulitnya yang bersampul sawo matang seakan berpinar.

"Pasti dia lagi. Orang yang dimabuk asmara memang berbeda, ya. Sudah berapa lama, La?" sambungnya.

Saya membisu sejenak, memikirkan hari-hari yang suah saya lewati bersama sosok yang sedang kami bahas, lalu saya menjawab, "Kalau berkenalan, menyentuh enam bulan, tetapi kalau menjalin hubungan, masih berjalan sekitar tiga bulan. Kenapa memang?" 

"Tidak apa-apa. Hanya saja aku ingin berkata jujur. Sepertinya ...."

"Terima kasih, ya. Kalau begitu, saya pulang terlebih dahulu sebab kantuk mulai bersemayam dalam pelupuk netra," ujar saya sambi menepuk pelan pundaknya.

Sesampainya saya di bilik kamar, saya segera memanjakan selira dan jemala saya yang hampir bertonase melebihi kapasitas. Tatkala saya hendak memejamkan netra, indra pendengaran saya tiba-tiba menangkap dering ponsel. Refleks, salah satu tangan saya menyambar ponsel yang tergeletak di meja dekat ranjang. 

"Halo," sapa saya tanpa menilik asma yang terpatri di layar ponsel. 

"Apakah kamu sudah pulang?"

Tatkala kedua gendang telinga saya menerima bahana yang kerap mencipta gejolak di dasar palung kalbu saya, sepasang pelupuk netra yang sebelumnya hendak terpejam tiba-tiba saja merengkah, seperti kusuma Prunus serrulata yang mekar di musim semi. Saya pun menjawab, "Sudah. Saya pun baru saja hendak mengatupkan kedua pelupuk netra saya,  Ra, tetapi dering ponsel mencegahnya."

"Kalau begitu, aku akan menutup teleponnya. Maaf sudah mengganggu tidurmu.”

Dalam rentang beberapa detik, saya berujar, "Tidak usah.”

"Agaknya kamu sedang ada masalah, ya?" 

"Tidak. Hanya saja ada rangkaian pergumulan yang baru saja tercipta dalam benak saya, tetapi saya baik-baik saja."

"Perihal apa, La? Kamu harus mengasihani kepalamu sesekali."

Penuturan darinya yang bermuara pada gendang telinga saya kerap menyiratkan bahwasanya temali aksara yang keluar dari mulutnya mengandung sukrosa. Agaknya manis madu yang tercipta dari alai-belai madukara berada di kasta yang terletak di bawah kasta penuturannya. Entah berapa kali askar candra melengkung pada roman saya musabab dirinya.

Dia pun berujar lagi sebab saya tidak kunjung memberikan respons. "Apakah kamu masih di sana?" 

"Iya.”

"Aku pikir kamu sudah terlelap."

Sepasang gendang telinga saya menangkap gelegak tawanya yang membarengi kekeh saya lalu saya berkata, "Saya hendak meneroka ke pelataran mimpi. Bolehkah saya meminta sesuatu darimu?”

"Tentu, Sayang."

"Saya ingin mendengarmu menyanyikan kidung yang berjudul Karena Kamu Cuma Satu, seperti biasa," ujar saya sambi merengkuh guling yang tergeletak di samping saya.

"Siap! Namun, aku juga hendak meminta tolong kepadamu. Saat pagi nanti, aku memintamu untuk membangunkanku sebab aku rindu dengan keabsurdanmu. Rasanya sudah lama sekali kamu tidak membangunkanku dengan mengirim puluhan pesan yang sebagian besar malah diisi gombalan pantun. Penulis memang berbeda, ya, tetapi aku suka membaca jajaran kalimat darimu yang sangat panjang sebab kamu malah terlihat semakin menggemaskan," ucapnya yang lagi-lagi sanggup menstimulasi gelegak tawa saya. 

Keesokan hari, saya mengirimkan pesan dengan jumlah sekitar 65 pesan, juga spam telepon yang hanya berakhir tanpa jawaban. Sebelumnya, saya berpikir hal itu ialah hal yang wajar. Akan tetapi, saat jarum jam yang bersemayam di salah satu dinding bilik kamar suah menunjukkan pukul satu siang, berbagai pergumulan dalam benak saya mulai bergejolak, termasuk kelebat yang dihuni oleh pikiran kurang baik. Berbagai perasaan pun mulai bermunculan: khawatir, cemas, kecewa, maupun takut. 

Segenap keporak-porandaan itu kian menggelora tatkala retina saya merekam denting jam yang berdetak sembilan kali. Batari Candra yang bertakhta di mahligai bumantara pun suah menilik sedari tadi. Akan tetapi, belum ada satu pun balasan dari sang pemenang yang termaktub dalam kotak pesan hingga satu hari berkalih. 

Satu bulan. 

Dua bulan. 

Satu tahun berkalih. 

Faktanya, dia suah hirap di antara kepulan harap, bahkan akun media sosialnya. 

Benak saya berusaha mengulik segenap memoar yang tercipta dahulu, tetapi tidak ada satu pun hal yang bisa menjadi alasan di balik kepergian persona yang suah mencuri kalbu saya tanpa mengembalikannya terlebih dahulu. Saya malah menemukan sekelebat bahana  yang sesungguhnya saya kebumikan secara paksa dahulu. Bukan dari sang pemenang, melainkan  .... 

"Agaknya kamu jangan semakin memperdalam rasamu kepadanya, jangan terlalu jatuh untuknya, sebab dia masih bisa meninggalkanmu kapan saja. Sebaik apa pun lelaki, tidak akan pernah ada sosok yang bertahan dengan seorang perempuan tanpa bertatap muka. Lelaki lebih memilih persona yang bisa membersamai tanpa sebuah palang layar ponsel. Lelaki kerap memilih seseorang yang bisa menemani saat berkendara, menonton film di bioskop yang terletak di ujung kota, meminum kopi di kedai, membaca buku di perpustakaan kota, atau mungkin hal sederhana, seperti mendengarkan kidung dengan saling berbagi earphone. Bukan bermaksud suuzan, tetapi aku tidak mau kamu berakhir dalam lara, La."

Perkataan teman semasa kanak-kanak saya ialah sebuah bainah, begitu pun jalinan aksara yang menghiasi sebuah potret yang suah saya temukan dahulu di salah satu timeline media sosial.

Apa yang bisa diharapkan dari sosok virtual?

***

Tentang Penulis

Gadis Jawa itu bernama Ervina Emma Wardani. Satu-satunya hal yang tak bisa ditolak olehnya adalah kucing. Daripada ailurophile, lebih baik sebut dia bucing, soalnya akut banget! Kalau ingin tahu tentang dunia sastra perkucingan, sila sapa dia di akun Instagram @aameismm, ya! Jangan kaget kalau isinya kosong, masih aktif, kok!

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

2 komentar

Silakan menuliskan komentar dengan rapi dan sopan!
Comment Author Avatar
Anonim
Rabu, 24 Juli, 2024 Delete
mski kudu pelan2 bacanya, tpi aku ska bhsa yg dipakai. kelihatan kalo disusun hti2. gdlck!
Comment Author Avatar
Anonim
Kamis, 25 Juli, 2024 Delete
kata-katanya bikin suasana jadi romantis, tapi sayang berakhir tragis. 🥲 good job, Twin!