[CERPEN] Perlawanan di Tengah Malam

Table of Contents


Di sebuah desa kecil yang tenang pada tahun 1990-an, terdapat seorang pemuda bernama Bob. Ia adalah seorang petani yang hidup sederhana bersama keluarganya. Sejak kecil, Bob sudah terbiasa bekerja keras di sawah, membantu orang tuanya menanam padi dan sayuran. Namun, kehidupan yang tenang ini mulai terusik oleh rencana pemerintah yang tidak memihak kepada warga di desa ini.

Pada awal tahun, pemerintah berencana untuk membangun bandara internasional di desa mereka. Tanah-tanah pertanian yang subur akan diambil alih, dan penduduk desa harus pindah ke tempat lain. Janji-janji akan pekerjaan baru dan kehidupan yang lebih baik terus digaungkan oleh pejabat-pejabat pemerintah, namun Bob dan banyak warga desa tidak percaya.

“Kita sudah hidup di sini selama berabad-abad,” ujar Pak Karto, seorang petani tua yang menjadi tetua desa. “Tanah ini adalah warisan leluhur kita. Bagaimana kita bisa meninggalkannya begitu saja," tegas Pak Parto sembari mengangkat dan mengepalkan tangan kirinya.

Keresahan semakin memuncak ketika alat-alat berat mulai berdatangan, meratakan tanah dan menghancurkan sebagian lahan pertanian di desa ini. Bob tidak bisa tinggal diam. Bersama beberapa pemuda desa lainnya, ia mulai merencanakan perlawanan. Mereka mulai menyebarkan perlawan di berbagai media, selain itu mereka juga mengirim surat penolakan pembangunan ke pemerintah daerah. Bahkan, mereka juga mengadakan demonstrasi di depan balai kota. Namun, suara mereka seolah hilang di antara hiruk-pikuk pembangunan.

Suatu malam, saat bulan purnama menggantung tinggi di langit. Bob, dan teman-temannya berkumpul di balai desa. Mereka duduk melingkar, mendiskusikan pergerakan perlawanan selanjutnya.

“Kita harus melakukan sesuatu yang lebih besar,” kata Bob dengan suara tegas. “Demonstrasi dan surat-surat kita tidak didengar. Kita harus membuat pemerintah melihat dan merasakan penderitaan kita," lanjut Bob.

“Apa yang kamu punya ide, Bob?” tanya Andi, sahabatnya yang juga seorang petani muda.

“Kita akan mengadakan protes besar-besaran. Kita akan menduduki lahan yang akan diambil alih. Kita akan tidur di sana, makan di sana, dan tidak akan pergi sampai pemerintah mendengarkan kita," jawab Bob.

Semua yang hadir sepakat. Malam itu, mereka mulai menyebarkan berita ke seluruh desa. Esoknya, ratusan warga desa berkumpul di lahan yang akan diambil alih. Mereka membawa tenda, selimut, dan persediaan makanan. Para wanita memasak di tempat, anak-anak bermain di sekitar, sementara para lelaki berjaga-jaga di pinggiran.

Hari demi hari berlalu, dan para demonstran tetap bertahan. Meskipun, mereka menghadapi berbagai intimidasi dari pihak keamanan. Namun, tekad mereka tidak goyah. Setiap malam, Bob dan teman-temannya bergiliran berjaga untuk memastikan keselamatan semua orang.

Suatu malam, saat giliran Bob berjaga, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dari kegelapan muncul seorang pria tua dengan jubah panjang dan tongkat di tangannya. Bob mengenali sosok itu sebagai Pak Karto.

“Bob, bisakah kita bicara sebentar?” ucap Pak Karto dengan suara lembut.

“Tentu, Pak. Apa yang ingin Bapak sampaikan?” jawab Bob, sambil mempersilakan Pak Karto duduk di sebelahnya.

“Aku bangga denganmu dan semua pemuda di desa ini,” kata Pak Karto. “Kalian telah menunjukkan keberanian dan cinta yang besar untuk tanah kita. Tapi, aku juga ingin mengingatkanmu bahwa perlawanan ini harus dilakukan dengan damai. Jangan sampai ada darah yang tumpah," jelas Pak Karto.

Bob mengangguk. “Kami akan berusaha, Pak. Tapi kami juga tidak akan mundur.”

Pak Karto tersenyum dan menepuk bahu Bob. “Itu yang aku harapkan. Ingat Bob, perlawanan yang sejati adalah yang lahir dari cinta, bukan dari kebencian.”

Keesokan harinya, para demonstran terkejut ketika melihat wartawan dari berbagai media datang ke desa mereka. Berita tentang perjuangan mereka telah menyebar ke seluruh negeri. Dukungan pun mulai berdatangan, baik dari warga desa lain, aktivis, maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Semakin hari, tekanan terhadap pemerintah semakin besar. Demonstrasi di desa kecil itu telah menjadi sorotan nasional. Akhirnya, setelah berminggu-minggu bertahan di bawah terik matahari dan hujan deras usaha Bob dan warga desa membuahkan hasil. Pemerintah membatalkan rencana mereka, dan mencari lokasi lain yang tidak akan merugikan rakyat. 

Kegembiraan meliputi seluruh desa. Warga saling berpelukan, menangis bahagia. Bob, dan teman-temannya dianggap sebagai pahlawan. Namun bagi Bob, ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ia tahu bahwa masih banyak tantangan di depan.

Beberapa bulan kemudian, di tengah malam yang tenang. Bob duduk di depan rumahnya, merenungi semua yang telah terjadi. Ia sadar bahwa kekuatan rakyat terletak pada kebersamaan dan keteguhan hati. Perjuangan mereka telah membuktikan bahwa suara rakyat sekecil apapun, bisa mengubah dunia jika diperjuangkan dengan penuh cinta dan keberanian. Dan di bawah sinar bulan purnama, Bob tersenyum. Ia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tapi ia siap menghadapi apapun yang akan datang, bersama teman dan warga desa.

***

Tentang Penulis

Muhammad Agumelar Saddam Husein atau yang lebih akrab di sapa Gumbrek, penulis muda yang baru saja berhasil menerbitkan buku pertamanya yang berjudul "Seni Menertawan Kehidupan". Bagi Gumbrek, buku adalah sahabat sejati yang mampu memberikan inspirasi di setiap pembacanya. Selain itu, ia juga bercita-cita untuk mendirikan taman baca untuk mengenalkan dunia literasi di generasi selanjutnya. Mari berteman, dan berbincang dengan Gumbrek di akun sosial media Instagram pribadinya @miaw_absurd

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar