[CERPEN] Permainan Terkutuk
Di keheningan malam yang dinginnya mencekik paru-paru, mereka tidak berhenti untuk mengambil napas. Deru napas terengah mengisi sunyi lorong kelas dari sekolah menengah yang ditutup paksa—Raka menarik tangan adiknya untuk lebih mempercepat langkahnya. Sementara itu, suara kerencang rantai dan langkah kaki berat terdengar dari belakang mereka, membuat mereka berhenti sesaat untuk memastikan suara itu masih jauh.
“Masih jauh, Bang?” tanya Ryan terengah. Ia sangat susah untuk menarik napas dalam-dalam. Rasanya, paru-parunya ikut berhenti memasok oksigen.
“Kayaknya sedikit lagi. Tahan, Yan,” jawab Raka dengan dada yang naik-turun. Bulir keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya hingga menembus baju.
“Aku gak kuat lagi, Bang...” keluh Ryan, melemaskan kakinya ke lantai.
“Yan, kau mau mati kayak teman-teman waktu itu? Abang juga sudah lelah, tapi mau gimana lagi? Mau gak mau kita harus selesaikan permainan ini.”
Ryan tahu itu. Mengingat teman-temannya mati tragis dalam permainan sebelumnya dengan sangat mengenaskan membuat mentalnya terguncang. Gambaran wajah meminta pertolongan menjadi teror nyata dalam ingatannya. Rasa bersalah selalu menyelimuti dan ia harus menaklukkan perasaan itu dengan menyelesaikan permainan terkutuk ini bersama kakaknya. Hanya mereka berdua yang tersisa dari 12 pemain yang bergabung.
Bunyi rantai terdengar lebih dekat, membuat Raka panik. Ia prihatin pada kondisi adiknya yang memiliki riwayat infeksi paru-paru. Raut kelelahan tak berdaya tergambar jelas di wajah Ryan; ia benar-benar ingin menyerah. Raka menggigit bibir bawahnya—merasa tak berguna sebagai kakak. Tanpa pikir panjang, ia berbalik membelakangi Ryan dan menawarkan punggung untuk adiknya.
“Naik, Yan,” pintanya.
Ryan berdecap. “Aku gak apa-apa, Bang. Kita lanjut saja.” Ia berdiri tegap meski ritme napasnya masih tak beraturan. Ia tahu kakaknya kesal karena menolak tawarannya, tetapi bagi Ryan itu akan membebani Raka. Mereka telah berlari dari lantai 1 ke lantai 3, untuk menuju ruang kesenian kelas 12 seolah mendaki gunung yang berliku nan terjal.
Suara kerencang semakin dekat, dan mereka segera pergi menjauh. “Ruang kesenian, ruang kesenian, ruang kesenian...” batin Raka membaca plang nama setiap ruangan sambil berlari.
“Ketemu!” Senyum Raka mengembang lebar menemukan tempat yang mereka tuju. Ryan ikut senang, akhirnya permainan gila ini akan berakhir dan mereka akan menjadi pemain bertahan.
“Ayo, masuk—“ Srreet!!
Mata Ryan membulat sempurna menyaksikan pisau melayang ke tubuh Raka, menancap di dada dan menarik panjang ke perut. Darah Raka berceceran di lantai, tembok, dan wajah Ryan. Gadis berkaki rantai yang mereka anggap masih jauh kini berdiri di depan pintu ruang seni dan berhasil membunuh satu targetnya. Wajahnya hancur sebagian tanpa kulit, mata merah berlinang darah, dan senyum penuh kepuasan seraya menjilat pisau yang menusuk targetnya.
[Raka Geovandi. Mati.]
Notifikasi muncul di ponsel Ryan tapi ia tidak menggubris. Tubuhnya berdiri kaku, matanya tertuju pada jasad kakaknya. “Bang Raka...” gumam Ryan nyaris tak terdengar.
[Sisa pemain: 1 orang]
[Pemain Ryan Giandra melanjutkan permainan]
[Lenyapkan Gadis berwajah setengah]
[Gagal = mengulang selamanya]
Ryan muak mendengar notifikasi berbunyi berkali-kali. Ia menggenggam ponsel kuat-kuat hingga retak dan mati. Ia meyakini bahwa tidak akan ada yang berhasil mengakhiri permainan ini. Permainan ini terkutuk dan akan terus menyebar kepada siapa pun yang tanpa sengaja membuka website-nya. Tidak ada yang bisa keluar dari jebakan ini. Jika pemain mengabaikan perintah, pemain itu akan mati.
Ryan menghadap dengan tegas di depan gadis berwajah setengah yang telah membunuh kakaknya. Gadis itu cekikikan seolah kesengsaraan Ryan adalah hiburan untuknya. “Kakak gak mau main?” tanyanya dengan suara kecil dan lucu. Namun, ekspresi Ryan hanya melukiskan dendam.
“Nanti kakak mati, loh,” tambahnya.
Ryan masih menahan emosi di kepalan tangannya. Mau gak mau kita harus selesaikan permainan ini. Perkataan Raka menusuk ingatan Ryan, meluapkan perasaan bersalah yang ia pendam.
“Aku gak bisa, Bang,” batin Ryan memekik. “Aku gak bisa melanjutkan permainannya,” keluhnya lirih. Di depan jasad kakaknya, Ryan menunduk penuh penyesalan telah gagal menyelesaikan permainan terkutuk ini. Ia tahu Raka pasti kecewa dengan keputusasaannya.
Namun, Raka tidak seperti yang ia pikirkan. Ia tetap di sisi Ryan dan mendorongnya untuk melanjutkan permainan. Sentuhan dingin dapat Ryan rasakan melalui semilir angin yang menggelitik lehernya. Sentuhan itu terasa familier dan tidak menakutkan. Ia merasa mendapatkan kebangkitan untuk memulai kembali permainan terakhir. Ryan menatap gadis itu dengan mata penuh kebencian. Meski lelah dan pikirannya kacau, satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan membiarkan kematian Raka sia-sia. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel Raka dan melihat notifikasi permainan.
“Baiklah,” gumam Ryan dengan suara serak. “Jika ini yang kau mau.”
Gadis itu tersenyum lebar, senyum menyeramkan dan tidak manusiawi. “Bagus, Kakak. Ayo kita main.” Gadis itu menghilang dari pandangan Ryan dengan gelak tawa yang menikmati permainan.
Ryan membuka ponselnya dan menemukan petunjuk baru: mencari simbol tertentu yang tersembunyi di ruang kesenian. Sambil berjalan dengan langkah berat memasuki ruangan, ia merasa kehadiran Raka masih ada di sisinya, mendorongnya untuk terus maju.
Semakin dalam ia masuk, suasana berubah menjadi lebih mencekam. Barang-barang seni bertebaran di mana-mana, dan bayangan dari lukisan-lukisan di dinding tampak hidup dalam kegelapan. Ryan mulai mencari simbol yang dimaksud, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya menyelesaikan permainan ini.
Di salah satu sudut ruangan, Ryan menemukan simbol aneh yang terukir di lantai. Ketika ia menyentuhnya, ruangan bergetar dan dinding-dindingnya mulai berubah, mengungkapkan pintu rahasia. Di bawahnya, ada buku tua yang sudah lapuk tergeletak sembarangan.
Ryan membuka buku itu dan menemukan tulisan tangan kaligrafi. Dengan semangat baru, Ryan membaca setiap halaman buku tersebut, mencari cara untuk menghentikan gadis itu dan menyelesaikan permainan sekali dan untuk selamanya.
Ryan mengikuti petunjuk dari buku itu, yang mengarahkannya ke altar tua di ruang bawah tanah. Dengan langkah hati-hati, ia menuruni tangga berderit, sampai akhirnya tiba di depan altar yang dihiasi dengan simbol-simbol aneh. Gadis berwajah setengah tiba-tiba muncul di belakangnya, rantainya berisik mengisi keheningan.
“Kakak, kenapa ke sini?” Suaranya terdengar marah.
Ryan menoleh dengan tatapan penuh tekad. “Untuk mengakhiri semua ini.”
Ia membaca mantra yang tertulis di buku itu dengan suara lantang. Gadis itu mulai berteriak, tubuhnya menggeliat seakan terperangkap dalam rasa sakit yang luar biasa. Cahaya terang muncul dari altar, menyelimuti ruangan dengan sinar menyilaukan. Saat cahaya itu menghilang, gadis berwajah setengah juga lenyap, meninggalkan keheningan yang menyesakkan. Ryan terjatuh ke lantai, kelelahan tetapi lega.
Semuanya sudah berakhir.
***
Tentang Penulis
Dipus Deewani, author fanfiction yang dapat kalian jumpai di Wattpad dengan nama pena kaseinitrat5. Ia sempat hiatus 2 tahun karena insecure yang membuatnya rendah diri dengan penulis lain. Namun, ia bangkit lagi di pertengahan tahun 2023 dan tahun depan ia akan mencoba membuat karya Orific di platform lain.