[CERPEN] Pikiran Adalah Maut - Karya Rejuanlee
Pikiran adalah maut.
Karena pikiran yang membuat kita kesulitan dan hidup berantakan.
Lisan adalah sebuah alat yang menjadikan doa sebagai realita. Bahkan dia bisa menjadi bumerang di kehidupan kita.
Minggu, 28 Juli 2024.
Aca menatap kosong kertas putih di hadapannya yang dipenuhi coretan hitam rapi. Ia menutup buku diarynya dan meletakkan pulpen di atas meja. Lalu menarik nafas panjang dan dihembuskan pelan, "Hufft..."
Ditatapnya jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari, dan Aca belum memejamkan matanya. Aca menarik keluar headset dari kedua telinga lalu mematikan musik, ia bangkit dari kursi menuju tilam.
"Nyatanya memang sesulit ini mengendalikan diri sendiri," batinnya.
Setelah itu Aca memutuskan untuk tidur dan berharap, esok, sesuatu yang menggerayangi pikirannya lekas berjumpa titik temu.
Pagi pun tiba, saat ini Aca tengah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Sebelumnya ia sempatkan untuk menanak nasi agar Sang Ayah bisa makan, walau hari itu hanya bisa sekadar nasi saja. Untuk masalah lauk, Ayah bisa mencari sendiri di luar.
"Paa, aku berangkat dulu, nasi udah aku masak nanti di makan," ujar Aca sembari menyalami tangan ayahnya.
"Iya, hati-hati," jawab ayah Aca.
Aca tersenyum dan pamit pergi.
Aca menyusuri jalan menuju halte, posisinya bisa ditempuh sejauh 300 meter, terhitung hanya tiga tikungan dari rumahnya. Aca duduk di bangku halte, sembari menyelidik wajah tiga orang yang sudah berada disana sebelumnya. Julita, sang sahabat, presensinya belum nampak.
Selama lima menit Aca berdiam diri, selama lima menit pula pikirannya melayang. Hingga menit berikutnya temannya datang, Aca sekadar mengulas senyum simpul serta sapaan selamat pagi, dan berangkat bersama menaiki bus tak lama kemudian.
Di sepanjang jalan pun, pikirannya terputar banyak kata. Aca menghela napas, ia sandarkan kepalanya pada jendela bus. Aca pening, lisannya gatal ingin mengutarakan cerita. Ingin sekali Aca merapahkan kalimat panjang, tetapi tidak bisa. Tidak semua hal harus diceritakan, tidak semua hal harus dipamerkan kepada khalayak, tidak semua orang harus tahu, pikirnya. Tetapi Aca justru kebingungan, apa yang harus ia lakukan agar pikiran yang mengganjal itu pergi. Aca menghela nafas sekali lagi.
"Kamu kenapa, Ca?" Tanya Julita, sang sahabat. Julita menyadari keganjilan perilaku Aca sejak awal bertemu tadi.
Aca terhenyak, "Hah? Apa? Kenapa?"
"Dari tadi diem aja, biasanya juga banyak ngomong. Kenapa?" Julita mengerutkan kening.
Aca menatap mata sahabatnya sepersekian detik, sebelum berpaling sembari mengulum bibir dan tersenyum tipis. Aca menjawab dengan tatapan kosong ke depan, “Aku oke, Jul.”
"Yaa, tapi aneh aja. Biasanya setiap pagi kamu selalu punya cerita yang bakalan diceritain ke aku. Sekarang engga, lagi badmood ya?"
"Hehe lagi gak ada cerita apa-apa, tapi aku gak kenapa-napa."
Aca menjawab dengan intonasi menyakinkan.
Sejujurnya acap kali ada yang bertanya, Aca gemas ingin bercerita. Terapi, dia harus melatih dirinya untuk tak banyak bicara. Ia ingin mencoba menyelesaikan semuanya sendiri terlebih dahulu.
Aca dan Julita menuruni bus, cukup berjalan 50 meter dari halte untuk sampai lokasi kerja mereka dan tiga puluh menit kemudian, aktivitas dimulai.
"Ca."
Julita mencolek bahu Aca saat ia melewatinya. Julita melongok, mengikuti arah pandang Aca ke dalam mesin pembuat es krim yang saling tertaut. Dahinya mengerut, Julita tak begitu paham. Ia kemudian bersandar di meja pantry sambil bersedekap.
"Iya?" Jawab Aca sembari mengotak-atik bagian dalam mesin.
"Ngambek lagi ya, mesinnya? Kenapa ngga bilang buat beli baru aja, sih? Owner kita kan kaya, cabangnya dimana-mana."
Aca hanya terkekeh mendengarnya, tak ingin menimpali.
"Kamu kalau mau cerita, cerita aja Ca."
Aca terdiam saat Julita tanpa aba-aba menyenggol pertahanannya. Ia banyak diam hari ini. Terasa seperti bukan dirinya, karena sikap itu akan tampak secara nyata.
Aca tersenyum, "Iya, nanti ya? Aku selesaiin ini dulu."
Julita menyetujui, membiarkan Aca membereskan pekerjaannya, lalu kembali ke tempat. Dan beberapa menit kemudian setelah dipastikan mesinnya bekerja secara normal, Aca menghampiri Julita.
Aca menarik satu kursi bulat ke samping Julita. Sahabatnya ikut memposisikan diri untuk menjadi pendengar.
Aca menarik napas sebelum ia menceritakan apa yang beberapa hari ini menganggu pikirannya.
"Jul, aku tahu kalau diam adalah emas. Atasan kerjaku dulu juga sering menasihati bahwa, jangan terlalu banyak cerita dan mudah percaya sama orang. Baik itu orang baru ataupun lama, karena kita ngga tahu siapa musuh kita sebenernya. Kamu pun tahu aku memiliki sifat banyak bicara dari siapa, bukan? Aku gak pengen kayak Papa, setiap kali dia banyak cerita, banyak juga yang gak suka. Bahkan itu menjadi bumerang untuknya. Aku lagi usaha buat ngurangin sifat banyak bicara itu. Bagaimana pun caranya aku harus bisa."
Julita beratensi penuh pada cerita Aca. Ia perlahan mengerti apa yang Aca rasakan saat ini. Julita tersenyum mendengarnya, "Ca, nasihat dari atasan kamu itu benar. Mengenai bicara secukupnya, aku yakin kamu pasti bisa. Tapi bukan berarti semuanya kamu pendam sendiri. Ada kalanya kamu ungkapin tentang apa yang ganggu pikiran kamu. Ada aku disini. Aku ngga pernah keberatan kalau itu kamu. Jadi diri kamu sendiri, ya, Ca?"
Aca tersenyum tipis, "Bersyukur banget aku punya teman yang menjadi pendengar terbaik kayak kamu, Jul."
Julita memamerkan kedua jempol jarinya, "Aman!" Ujar Julita, "Oh ya, aku juga mau tanya," sambungnya.
"Apa?"
"Katanya bumi itu menyerap kata-kata, benar, ngga?"
"Benar."
Julita bertanya penasaran, "Kenapa?"
Aca menaikkan satu alisnya, "Eum, setahu aku. Bumi itu memang menyerap kata-kata, makanya kenapa kita gak boleh ngomong 'enggak' contohnya kaya gini, 'Semoga kamu gak sakit ya.' Seharusnya kita bilang 'Semoga sehat ya!' Karena lisan adalah sebuah alat untuk menjadikan doa sebagai realita."
"Jadi, itu alasan kenapa kita harus ngomong baik-baik? Karena apa yang kita ucapkan itu adalah doa."
Julita mengetuk dagunya, raut wajahnya nampak serius.
"Benar! Itu pointnya."
"Oke, aku paham." Nampak binar kecil di kedua lensanya, "Senang, deh, bisa saling tukar opini dan menjadi pendengar satu sama lain," Ujarnya.
"Aku juga senang, ini adalah salah satu nikmat yang Tuhan beri." Aca menimpali dengan senyuman.
Kata, kalimat, serta pertanyaan yang beberapa waktu belakangan ini terpatri di otak Aca, kini perlahan menemui titik terang. Dan, jujur saja Aca merasa lega. Berbicara tidak ada salahnya, pikirnya. Tetapi bukan berarti Aca kembali seperti dulu lagi, ia harus tetap mencoba mengurangi sifat banyak bicaranya itu. Dan ia harus membedakan mana yang harus di ceritakan dan mana yang tidak. Karena sebenarnya, musuh ada di sekitarnya.
***
Tentang Penulis
Juaningsih, dikenal dengan nama pena Rejuanlee, lahir di Tangerang, 17 Juni 2005. Dia gemar menulis sejak kecil dan Juan sudah menulis di platform orange sejak kelas 9 SMP. Juan sangat menyukai menulis kisah-kisah yang pernah dia alami. Kalian bisa mengenalnya lebih dekat di media sosial berikut;
Wattpad : Rejuanlee
Instagram : @rejuanlee