[CERPEN] Waktu yang Tepat
Suara mobil Honda Brio terdengar di indra pendengaran wanita berkacamata, yang tengah memakai wangian vanilla Ice ke bajunya dan beberapa titik di lengannya. Caca bergegas mengambil tas coklat berbahan kulit dan berlalu meninggalkan ruangan pribadi miliknya. Audrey Cantika Putri atau Caca adalah gadis yang berusia 26 tahun. Gadis introvert, tapi jika dikenali lebih dalam tidak se-introvert yang orang lain bayangkan.
“Ibu, Caca mau berangkat,” ucapnya berlari-lari kecil menuju ke dapur.
Caca melihat sahabatnya sudah menempati posisi ternyaman di kursi makan dengan memegang selembar roti tawar isian coklat, dia adalah Dewi. Caca dan Dewi merupakan sahabat sedari duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama, sekaligus rekan kerja yang paling klop diantara banyaknya pegawai seumurannya. Caca dan Dewi merupakan manusia yang memiliki karakter bertolak belakang, satunya pendiam dan kalem, yang satunya lagi petakilan dan cerewet abis.
“Udah yuk, Bu kami pamit yah.” Ucap Caca mencium tangan Ibunya dan kedua pipi Ibunya, begitupun dengan Dewi dan selembar Roti yang ada di tangan kanannya. Caca mengambil kunci mobil yang diberikan Dewi lalu bergegas masuk ke dalam Honda Brio Kuning milik Dewi. Perjalanan menuju kantor Caca hanya memakan waktu sekitar 45 menit dengan kondisi jalan yang tidak terlalu padat.
“Assalamualaikum, selamat pagi semua!” Sapa Dewi ke beberapa pegawai yang sudah duduk di kursi kerjanya dan kopi yang tersedia dimeja berbahan kayu coklat masing-masing pegawai. Sapaan Dewi dibalas hangat oleh mereka.
“Guys, kalian harus tau kalau aku sudah nonton film Ipar adalah Maut, asli maut banget tuh film,” ucap Dewi penuh ekspesi. Sedangkan Caca memilih duduk di kursi kerjanya dan merapikan meja kantornya yang sedikit berantakan.
“Beneran? spill Wi, gimana-gimana?” Tanya Kak Rika heboh. Senior berusia 34 tahun yang berstatus sebagai ibu dua anak.
“Si Rani ini bermain di belakang Mbaknya yang bernama Nisa. Berawal dari Rani nyaris diperkosa sama teman kampusnya itu karena satu insiden, terus datanglah Mas Aris yang nolongin Rani sambil hujan-hujanan. Drama banget,” jelas Dewi dengan tertawa nyaring.
“Terus, mereka sampai berbuat gitu berkali-kali?” Tanya pria yang meja kantornya tepat disamping meja Dewi.
“Aku juga liat di Tok-tok kalau Rani itu booking hotel sama Aris,” sahut pegawai yang duduk tepat berdampingan dengan Caca.
Caca terlihat fokus menjadi pendengar yang baik diantara mereka. Tidak ada ketertarikan menggubris mereka. Caca lahir dari keluarga broken home yang tidak merasakan kasih sayang dari seorang Ayah. Di mata Caca, Ayah hanyalah status formal untuk dirinya.
Berbeda dengan Ayah pada umumnya yang hanya mencintai istri dan anaknya, Ayah Caca justru seorang pecinta wanita. Tidak ada julukan lain yang tepat untuk menggambarkan Ayah Caca selain “Manusia berhati iblis”.
***
Keindahan langit sore Kota Jakarta tertutupi oleh polusi pengendara, mungkin jika udara Kota Jakarta sehat, langitnya akan berwarna biru cerah dihiasai awan putih. Seperti biasa, pukul 17.00 WIB adalah waktu para pencari cuan kembali ke bangunan ternyamannya yaitu rumah.
Menempuh perjalanan sejam lebih lamanya akibat kemacetan Kota Jakarta diisi dengan nyanyian Pamungkas - Only You, Chrisye – Andai Aku Bisa, dan obrolan receh dari Dewi yang membuat suasana petang jadi seperti Pelangi, penuh warna. Mobil Honda Brio Kuning masuk ke garasi yang bernuansa cream. Kedua sahabat itu tampak turun dan berjalan melewati pintu kayu coklat yang gagangnya sudah macet.
“Lelah banget ya Allah! Kerja capek, gak kerja gak dapet duit. Ya Allah… kapan yah aku dipinang sama pria yang berhati baik, tulus, pengertian? gak masalah ganteng yang penting kaya biar aku dapat donator tetap,” Ujar Dewi memelas penuh harap.
“Dih, doa apaan kek gitu? Maksa tuh namanya,” sahut Caca melangkah menuju kasur kesayangannya menyusul Dewi yang sudah terbaring pasrah.
Tok…tok…tok, ketuk Ibu Caca di depan pintu “Sayang, Mama baru selesai masak, makan dulu.” Dewi tersenyum memarken gigi saat mendengar perkataan Mama Caca. Tanpa basa basi Dewi menyahut dan menarik tangan Caca agresif keluar dari kamar.
Tatapan lapar Dewi dan Caca sudah tidak bisa dibendung lagi, makanan lezat yang ada di depannya adalah makanan kesukaan mereka. Ada ayam saos tiram, sayur sup jagung, perkedel tempe, dan yang gak bisa alfa adalah sambel terasi ala Ibu Caca. Dijamin poll maknyus.
Tidak banyak perbincangan ditengah rutinitas makan malam mereka, hanya sesekali Dewi mengeluarkan rumor receh agar tidak terkesan kikuk. Hingga saat Ibu Caca membuka suara.
“Sayang, Mama mau jodohin kamu sama anak teman Mama!” Ucap Mama Caca to the point.
“Maksudnya Ma?” Tanya Caca.
“Sayang, kamu sebentar lagi sudah berusia 26 tahun. Masa kamu gak mau nikah sih,” Jawabnya balik.
“Caca bukannya gak mau, tapi Caca...”
“Sampai kapan Ca? sampai kapan kamu gak mau? Kamu udah berumur nak, Mama hanya mau kamu bahagia!” ucap Mama Caca sedikit menekan.
“Ma, apa dengan menikah Caca bisa Bahagia? Apa dengan menikah semua masalah dalam hidup Caca selesai?” Tanya Caca tegas.
“Mama hanya ingin kamu...”
“Apakah pernikahan Mama dan Papa bahagia? Caca saksi dari perjalanan rumah tangga kalian. Bagaimana Papa selingkuh, Papa tidak menghargai Mama, Papa yang egois dan merasa punya kuasa karna kekayaannya, Papa ngeremehin Mama. Ap aitu kebahagiaan?” ucap Caca yang diselimuti amarah, tubuhnya bergetar, berusaha menahan tangis.
“Pernah gak Mama bertanya, alasan Caca gak mau nikah?” Tanya Caca dengan nada menekan.
Dewi yang melihat Mama Caca tertunduk langsung menghampiri dan memeluknya. Suasana malam yang seharusnya tenang kini menjadi panas dibanjiri tangis.
“Karna Caca gak melihat keindahan dari pernikahan. Patriarki, tuntutan, KDRT, dan perselingkuhan, semua laki-laki dihidup Caca perlihatkan hal ini, bahkan cinta pertama Caca sendiri,” gumamnya dengan sesak.
“Ma, dengerin Caca!” sahut Caca bersimpuh, menggenggam kedua tangan Mamanya.
“Caca tidak takut menikah, tapi Caca takut salah pilih pasangan. Kalau pun Caca menikah, Caca akan tetap bediri di atas prinsip Caca. Menjadi wanita yang bervalue, mandiri, wanita kuat, wanita cerdas, dan wanita yang berpegang teguh dengan agama.” Ungkap Caca berusaha meyakinkan Mamanya. Tangan Mama Caca mengelus rambut putri kesayangannya.
“Maafin mama sayang, karena mama kamu menyimpan luka ini.”
Dewi melihat Caca yang selama ini kuat ternyata masih menyimpan luka lama. Dewi hanya bisa menguatkan keduanya dengan merangkul Mama Caca dan tangan kanannya mengelus pundak Caca yang sedang bersimpuh di depan Mamanya.
“Kamu sangat kuat nak. Kamu benar, kamu harus menjadi wanita yang berprinsip, wanita yang bisa berdiri di atas kakinya sendiri, wanita yang Bahagia tanpa mengharapkan kebahagiaan dari siapapun. Kamu harus jadi wanita yang baik dan tulus,” tegas Mama Caca mengangkat kepala Caca.
Caca menangis haru mendengar ucapan sang Mama. Memang benar, kebahagiaan hanya di dapatkan dari diri sendiri, dan cinta yang besar hanya ada untuk diri sendiri. Menikah bukanlah solusi dari setiap permasalahan, dan usia tidak bisa menjamin keberhasilan seseorang dalam membangun rumah tangga. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk menjalani hubungan suci itu. Menikah di waktu yang tepat bersama orang yang tepat jauh lebih baik daripada menikah di waktu yang cepat.
***
Tentang Penulis
Wanita kelahiran 99 yang berasal dari Pulau Sulawesi dan memiliki banyak mimpi. Tak khayal, kadang satu mimpinya berhasil membuatnya jatuh, tapi ia bangkit lagi. Wanita ini bernama Anaderana, seorang wanita ambisius, keras kepala, tapi pekerja keras. Salah satu mimpi yang ingin ia wujudkan adalah menjadi seorang motivator untuk anak-anak muda yang khawatir akan hidupnya kelak. Mari bermimpi agar kita berusaha untuk mewujudkannya.
Di nanti tulisan berikut nya.
Semoga karya-karyanya selalu menginspirasi
Semoga konsisten.
apa yang terlihat buruk mungkin tidak seberuk itu, dan apa yang terlihat baik bisa saja tidak sebaik itu