[CERPEN] Berita Gerbong Kereta
Sudah seminggu sejak aku mencoba berangkat kerja menaiki kereta umum. Gadis kecil itu selalu ada berdiri di sana. Sesekali mata kami bertemu, tetapi tak jarang ia hanya menunduk. Terkadang aku melihat bibirnya bergerak. Ah, atau mungkin bergetar? Aku tidak tahu. Aku hanya melewatinya. Melangkahkan kakiku menuju gerbong kereta.
“Pagi, Pak Gavin! Berangkat naik kereta lagi, Pak?” Seseorang menyapaku basa-basi. Ia adalah seorang mandor di tempatku bekerja. Sementara aku, Gavin Putra, seorang manajer di sebuah perusahaan makanan terkenal. Aku membalas sapaannya. Tersenyum, lantas sedikit berbicara santai.
Biasanya aku selalu menggunakan kendaraan pribadiku menuju kantor, tetapi kali ini aku mencoba menikmati kembali nuansa muda yang dulu sempat kurasakan, tetapi hanya sebentar. Aku tidak ingat tepatnya kapan, yang jelas itu bertahun-tahun lalu. Saat itu, aku mengalami kecelakaan yang cukup parah, membuat kedua mataku tidak lagi berfungsi dengan baik. Aku tidak buta. Hanya, penglihatanku sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Seseorang mengatakan aku menjadi istimewa sejak kecelakaan itu.
Ketika aku hendak meninggalkan rumah, aku harus didampingi. Mulanya itu terasa menyenangkan. Mengetahui bahwa aku tidak sendirian. Seiring berjalannya waktu, keistimewaan ini bukanlah hal yang menyenangkan lagi. Aku tahu, inilah yang disebut kekurangan. Aku membencinya. Orang-orang menyebutku bodoh, menganggap aku mudah untuk dipermainkan. Hari-hariku penuh dengan penyiksaan bak neraka. Dihujani segala komentar dan pertanyaan, dijadikan bahan olokan, bahkan tiada hari tanpa mempermalukan diriku.
Aku marah. Aku muak. Jika saja ia sedikit menggunakan otaknya saat itu untuk tidak menipuku dengan kata ‘keistimewaan’ mungkin hidupku akan baik-baik saja. Ketika aku melampiaskan segala amarahku padanya, ia hanya diam. Kemudian menghilang. Kehadirannya tak lagi kurasakan. Bagai angin lalu yang hanya membawa kesejukan sesaat. Saat itulah aku menyadari bahwa ia bukanlah siapa-siapa.
Bertahun-tahun kemudian, ketika aku telah berdamai dengan diriku. Sebuah pesan surel menghubungiku. Itu berasal dari rumah sakit yang merawatku pasca kecelakaan lalu. Mereka mengatakan bahwa aku bisa memiliki penglihatan normal kembali karena mereka menemukan donor mata untukku. Bagai bermain paralayang, menghirup udara segar dengan membuka mata, menyaksikan dengan jelas bagaimana dunia ini. Riang bukan kepalang hatiku saat itu. Terutama ketika operasinya berjalan dengan lancar. Petugas rumah sakit mengatakan bahwa relawannya bernama Givania Putri. Aku merasa kenal dengan nama itu, tetapi siapa peduli. Mungkin hanya seseorang yang kebetulan tertarik dengan namaku.
Dengan tak ada lagi keterbatasan, akhirnya aku bisa menjalani kehidupan yang kuinginkan. Mengejar impian untuk bekerja di perusahaan yang sedari dulu memang sudah kuincar. Setelah lima tahun bekerja, aku bisa meraih posisi manajer seperti saat ini. Walaupun masalah selalu datang dan akan selalu ada, aku selalu mengingat bahwa aku pernah memikul beban dunia sendirian.
Hari ini pekerjaan di kantor berakhir cukup lama. Untungnya masih ada kereta terakhir yang lewat. Aku melangkahkan kakiku masuk menuju gerbong. Nuansanya begitu berbeda dengan pagi hari. Begitu sepi dan sunyi, ditambah gelap malam dan dinginnya malam ikut menyertai. Aku memilih tempat duduk yang kuinginkan. Di samping jendela, aku duduk bersandar. Berhenti memikirkan segala hal. Aku menikmati suasana kereta dimalam hari. Ketika aku hendak menjalankan perahu mimpi, seseorang menarik bajuku. Aku terkesiap. Mataku mendapati gadis pagi yang selalu berdiri di stasiun. Pikirku, ia hanya berdiri di stasiun menunggu kehadiran malaikat yang akan mengasihaninya. Yah, perawakannya memang tidak lusuh, tetapi aku sempat berpikir bahwa ia adalah seorang tunawisma.
Aku memberi raut ekspresi bertanya-tanya. Gadis itu berbicara, “Kau ..., maaf ....” Aku menghela napas. Tidak perlu meminta maaf, hanya berbicaralah. Begitu pikirku. Gadis itu menyerahkan sebuah kertas lusuh. Aku mengambilnya. Hanya sedikit coretan di sana. Aku bisa membacanya. Itu namaku. Gavin Putra. Aku mengernyit. Menatap kembali pada gadis itu. Tidak ada komentar darinya.
Pandanganku kembali pada kertas itu. Ada coretan kecil. Itu sedikit susah dibaca tapi tulisannya tak asing. Givania Putri. Aku tertegun. Menatap gadis kecil itu. “Apa! Jangan bercanda, apa maksudmu?” suaraku pelan, tetapi masih bisa didengar. Aku tidak ingin mengambil kesimpulan tanpa penjelasan. Maksudku, apa gadis ini bernama Givania? Atau....
Kemudian, gadis itu mengangguk dan tersenyum. “Kau tahu dia? Kau ingat dia siapa sekarang?” Mendengar penuturan itu, bak tayangan kaset film. Aku yakin bahwa kepalaku adalah Kota Nagasaki dan Hiroshima yang tengah dibom. Aku yakin bahwa hatiku saat ini adalah kapal Titanic yang sedang tenggelam. Aku yakin bahwa deru jantungku lebih cepat dari cheetah. Aku mengingatnya. Dia kakakku.
Dengan melihat ekspresiku saat ini, aku yakin gadis itu tahu jawabannya. Kemudian dia melanjutkan ucapannya, “Dia ibuku.” Satu detik. Aku yakin, satu detik ini terasa lama sekali. Dunia seolah berhenti, gerbong kereta seolah tak bergerak lagi. Kepalaku telah hancur meledak. Hatiku telah tenggelam. Deru jantungku tak lagi bisa dihitung dengan stopwatch. Jika ada ajang kebodohan, maka akulah pemenangnya.
The End
***
Tentang Penulis
Vallstar adalah nama pena seorang gadis kelahiran 2007. Vallstar tidak terlepas dari tiga hal yang sangat ia sukai, yaitu Kim Dokja, kucing, dan hujan. Vallstar aktif di Instagram sebagai @Vallstar49.