[CERPEN] Jejak Pena
Table of Contents
Pagi ini hari yang cerah, tetapi tidak secerah hati Maudy Lestari. Suasana ruang makan terasa penuh emosi. Pada waktu sarapan ini, rasa tegang dan amarah menyelimuti tiga orang yang sedang berdebat. Pagi ini, Maudy ditanyai oleh kedua orang tuanya.
Mama Riska bertanya, “Kamu sudah mendaftar kuliah?” Maudy mengangguk ragu dengan perasaan takut.
“Masuk Jurusan Manajemen, kan?” tanya Mama Riska, lagi.
Maudy terdiam sambil menghentikan sarapannya. Tangannya terangkat mengelus dahinya, tanda dia gelisah.
“Maaf, Mah. Aku masuk Jurusan Sastra.”
Karena perangainya yang tidak terbantahkan, dan penuh emosi, Mama Riska menggebrak meja makan. Beliau marah karena putrinya tidak menuruti apa yang diperintahkan.
“Kurang ajar! Mama udah suruh kamu masuk Jurusan Manajemen! Kenapa malah masuk Sastra, hah?!” Mama Riska berkata dengan nada tinggi.
Suasana hening, Ayah Bima hanya diam melihat percekcokan keduanya. Beliau membiarkan istrinya yang memegang kendali.
Maudy menahan tangis sekaligus emosi. Dia sudah lelah dengan sifat otoriter orang tuanya, “Mah, aku udah bilang, kan? Kalau aku mau jadi penulis. Dan, kalau mau jadi penulis, masuknya Jurusan Sastra.”
Mama Riska menggeleng meremehkan, “Jadi penulis? Penulis gajinya nggak cukup buat makan sehari-hari! Mending kamu masuk Manajemen, terus jadi pengusaha.”
Maudy memejamkan matanya kesal, air matanya sudah hampir menetes, “Tolong kali ini aja. Turutin kemauan Maudy.”
Setelah mengatakan itu, Maudy langsung berlalu ke luar rumah. Dia harus berangkat sekolah hari ini. Dalam perjalanan menuju sekolah, Maudy mengendarai motornya sambil menangis. Dia tipikal orang yang tidak menunjukkan kelemahannya di hadapan orang lain, termasuk orang tuanya. Pribadinya yang selalu tertutup, bukan karena tidak percaya dengan orang lain. Namun, banyaknya bantahan, dan sikap menghakimi yang sering dia dapatkan, membuat Maudy memilih memendamnya sendiri.
Hari ini ujian praktik terakhir. Setelah itu, Maudy lulus sekolah, dan lanjut kuliah. Dia bersyukur bisa masuk perguruan tinggi melalui jalur prestasi. Sehingga tidak memerlukan biaya untuk pelaksanaan ujian seleksi.
Dua bulan kemudian, Maudy sudah mulai kuliah. Awalnya, Maudy ingin mengekos, tapi orang tuanya melarang. Karena nanti pasti biayanya akan bertambah banyak. Padahal jarak rumah dengan kampus bisa menempuh sejam lebih. Itu pun kalau tidak macet. Tapi, Maudy lebih memilih patuh. Dia sadar akan ekonomi keluarganya.
Impiannya menjadi seorang penulis, memang sering kali mendapat cemoohan. Terutama terkait gaji, dan karier. Banyak yang berasumsi bahwa sebagai penulis gajinya kecil, serta kariernya masih belum jelas. Padahal jika mereka mengerti, pekerjaan bukan hanya dilihat dari gaji, dan kariernya. Namun, seberapa kita bisa membantu banyak orang melalui pekerjaan tersebut.
Maudy menghela napas panjang. Dia sedang duduk di taman kampus sendirian. Ingin menenangkan beban pikirannya, tak khayal air matanya kembali menetes. Dia sungguh selalu merasa sakit hati atas omongan pedas kedua orang tuanya. Meskipun sudah menjadi makanan harian, tetapi dia tetap saja sakit hati. Hanya saja, Maudy selalu bersikap tegar dan tidak pernah menangis di hadapan mereka. Maudy sungguh tidak sudi menunjukkan kelemahannya. Maudy harus menunjukkan bahwa dia bisa membuat mereka menelan kembali perkataan pedas mereka.
Selain itu, Maudy juga memikirkan biaya kuliahnya. Orang tuanya menyuruh Maudy untuk bekerja, padahal kegiatan Maudy sangat padat, dan akan sangat melelahkan jika kuliah sambil bekerja. Lelah pikiran dan juga badan. Namun, orang tuanya tetap kekeh menyuruhnya bekerja. Mereka mengatakan bahwa Maudy yang kuliah, maka Maudy juga yang harus membiayai. Jangan membebankan pada keluarga.
Maudy terisak lebih keras. Mengingat hal itu, Maudy menyalahkan dirinya sendiri. Tahu begitu, Maudy lebih memilih tidak kuliah jika membebani mereka. Namun, dulu siapa yang menyuruhnya kuliah? Tentu orang tuanya.
Setelah puas melepaskan kesedihannya, Maudy berkeliling kota mencari pekerjaan. Bagaimana lagi, dia tidak punya pilihan lain. Hingga petang, dia belum menemukan pekerjaan yang cocok dengannya. Akhirnya Maudy memilih berjualan nasi goreng.
Maudy meminjam uang dari bank sebagai modal awalnya. Mustahil dia meminta kepada orang tuanya. Dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membebani mereka.
Rutinitas Maudy berubah. Sekarang setiap pulang kuliah, Maudy akan mengerjakan tugas dan menyelesaikan naskah tulisnya. Kemudian, pada malam hari, Maudy jualan nasi goreng hingga menjelang subuh.
Penghasilan Maudy lumayan. Karena memang Maudy hobi memasak, masakannya banyak disukai orang. Hasil kerjanya bisa menutupi biaya kuliah dan kebutuhan sehari-harinya. Maudy bersyukur akan hal itu, meski tubuhnya terasa tersiksa karena rasa lelah.
Hingga beberapa tahun, rutinitas Maudy setiap harinya begitu. Imun tubuhnya menurun drastis, tubuhnya menjadi lebih kurus karena kelelahan. Bersyukur Maudy berhasil melaluinya, besok adalah hari wisudanya.
Sebulan sebelum hari kelulusan, Maudy datang ke penerbit buku. Beberapa naskahnya sudah sempurna, dan telah terbit. Berharap semoga apa yang telah ia tuliskan menjadi manfaat bagi banyak orang.
Hari kelulusan tiba. Kini para peserta wisuda sudah berkumpul di gedung auditorium. Semuanya tampak khidmat mengikuti acara yang berlangsung. Hingga tiba di acara inti. Peserta wisuda mendapatkan gelar sarjana. Semua keluarga para peserta wisuda merasa bangga melihat putra putrinya. Terkecuali Mama Riska, dan Ayah Bima. Mereka datang terpaksa, karena putrinya lulus tidak sesuai dengan jurusan yang mereka pilih.
Penghargaan mahasiswa terbaik diumumkan. Maudy menjadi mahasiswi terbaik dengan IPK tertinggi. Senyuman bangga tercetak di wajah Maudy. Jerih payahnya berbuah manis. Dia merasa sudah menyelesaikan perjalanannya.
Sedangkan, Mama Riska, dan Ayah Bima yang awalnya berwajah suram, kini berubah menjadi berbinar penuh bangga. Melihat putrinya mendapatkan penghargaan mereka seolah merasa ikut dihargai sebagai orang tuanya.
Maudy kembali duduk ke tempatnya setelah menerima piagam penghargaan. Tiba-tiba gedung auditorium gelap. Semua tampak panik, namun sebuah suara memperingati mereka agar tenang. Kemudian, di layar terlihat seorang mahasiswi cantik yang sedang berkuliah, bekerja, dan terakhir diperlihatkan beberapa karya miliknya. Mahasiswi itu Maudy Lestari, mahasiswi terbaik tahun ini.
Banyak orang merasa tidak percaya, tetapi juga kagum. Beberapa dari mereka yang sudah membaca karya Maudy, merasa senang ketika tahu penulisnya ada di sini. Mereka merasa senang, karena karya Maudy sangat mereka sukai. Menghibur, tetapi juga mendidik. Sorak tepuk tangan menggema di gedung tersebut ketika video berakhir. Begitu pun dengan kedua orang tua Maudy, mereka ikut merasa bangga atas pencapaian putrinya.
Sedangkan Maudy, dia sudah tidak fokus lagi. Dada kirinya tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa. Tubuhnya terasa kaku, dia memejamkan matanya. Maudy terjatuh pingsan.
Petugas kesehatan segera membawa Maudy ke rumah sakit. Mama Riska, dan Ayah Bima juga ikut. Semua orang merasa panik melihat Maudy tiba-tiba jatuh pingsan.
Setelah dokter melakukan tindakan, Maudy dinyatakan meninggal dunia. Maudy mendapat serangan jantung. Hal ini diakibatkan karena kelelahan dan kurang waktu tidur.
Mama Riska, dan Ayah Bima menangis mendengar kabar buruk tersebut. Mereka merasakan penyesalan yang teramat besar. Semua itu karena kesalahan mereka yang terlalu menuntut putrinya. Kini, rasa penyesalan sudah tidak berguna. Mereka berharap Maudy mau memaafkan mereka.
Kabar duka tersebut sudah menyebar ke seluruh kampus dan kota. Seorang penulis sekaligus mahasiswi terbaik, telah meninggal dunia. Meninggalkan karya-karya bermanfaat sebagai kenangan terakhirnya.
***
Tentang Penulis
Anastasya Aryani, lahir di daerah Banyumas pada tanggal 20 April 2006. Seorang mahasiswi baru Jurusan Sastra Bahasa Indonesia. Penulis bisa dihubungi melalui email spesialliterasi@Gmail.com dan Instagram @anastique_.