[CERPEN] Mata Aini

Table of Contents

Suara azan terdengar lantang menandakan akan dimulainya Salat Asar, begitu pun dengan aku yang bergegas mengambil wudu dan menunaikan Salat Asar karena bakda Asar nanti kegiatan Balagh Ramadhan dimulai. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Masjid Al-Falah tempat kegiatan Balagh Ramadhan dilaksanakan, aku bergegas masuk dan langsung duduk di tempat ternyaman, tempat paling enak untuk para kaum mager sepertiku, di mana lagi kalau bukan pojok masjid.

Hari ini, hari ke tujuh Balagh Ramadhan dilaksanakan. Seperti hari-hari sebelumnya, pengisi acara atau biasa disebut ustaz yang dia adalah seorang santri lulusan dari pesantren ternama di Sarang sudah datang tepat pada waktunya. Hikmah dan beberapa poin penting mengenai bulan Ramadan dia sampaikan sampai tak terasa acara sudah selesai. Niat hati ingin langsung pulang, tetapi ketika di area parkir masjid ada suara yang memanggilku dan aku langsung menoleh ke sumber suara.

“Aini.” Suara itu terdengar asing di telingaku.

“Dalem, ada apa?”

“Ini buku buat kamu, tadinya aku mau ngasih random ke jamaah tapi tak liat-liat yang anak muda cuma kamu jadi tak kasih ke kamu ajah,” jelasnya.

“Oh, oke makasih,” jawabku dibalas anggukan olehnya. Aku mematung di tempat karena merasa aneh tapi tak apalah, aku terima saja buku ini mungkin dia sedang ingin bersedekah.

Namanya Muhammad Zidni Habiballah, dia adalah seorang ustaz muda lulusan dari pesantren ternama di Sarang yang rumahnya bersebelahan dengan desaku dan aku Alifia Ainiyah, siswi SMA yang juga lulusan dari salah satu pesantren di Tegal. Sebenarnya dulu, kami pernah satu madrasah, tetapi Zidni tiga tahun lebih tua dari aku, jadi tidak terlalu dekat.

Bulan Ramadan telah berlalu, disusul pula oleh bulan Syawal, dan kini telah kembali ke aktivitas awal. Aku mendapatkan tugas mengajar madrasah di desaku yang juga tempat Zidni mengajar. Hingga pada suatu hari setelah selesai mengajar, Zidni mengajak beberapa pengajar makan di lesehan milik keluarganya. Aku duduk satu lesahan dan bersebelahan dengannya. Aku memesan nasi sate jamur dan juga es lemon tea yang sangat segar.

“Zid, aku boleh cerita, nggak?” kataku membuka percakapan karena sedari tadi suasana terasa hening. 

“Boleh, cerita aja, siapa tahu ada yang bisa aku bantu,” jawabnya santai.

Sebenarnya aku masih canggung bila berhadapan dengan laki-laki, tetapi Zidni tipe orang yang tenang yang membuat lawan bicaranya terbawa tenang juga. Aku berharap ini tidak lebih dari batas kewajaran untuk menceritakan sesuatu yang membuat trauma besar dalam hidupku.

“Jadi dulu waktu aku kelas 4 MI sepulang sekolah di daerah persawahan arah rumahku, aku dipanggil oleh dua orang karena aku pikir mereka butuh bantuan aku pun menghampirinya, tak disangka mereka menarik kakiku dan menutup mulutku dengan tangan kekarnya. Salah satu dari mereka menekan mataku seakan ingin mengambil bola mataku, aku menjerit lalu aku dilempar di tumpukan padi. Karena mereka mendengar ada warga yang menghampiri dan mungkin mendengar jeritanku.” Zidni tercengang mendengar ceritaku seakan-akan selama ini aku terlihat baik-baik saja. 

“Dari kejadian itu mata kiriku mengalami kerusakan 90% dan hampir mengalami kebutaan, nggak cuma itu, aku juga harus melakukan operasi sebanyak 6 kali dan yang lebih parahnya abahku menjual tiga hektar pekarangannya untuk administrasi operasiku, tapi sampai sekarang pelaku belum ditemukan.”

“Aku bener-bener baru tahu, Aini, terus kamu nggak lapor polisi?” tanya Zidni penasaran.

“Dulu keluargaku hanya fokus pengobatanku, jadi kejadian itu terpendam begitu saja, dan aku berniat mencari pelaku tapi aku benar-benar bingung apa yang akan kulakukan kalau sudah bertemu pelaku,” sambungku.

“Nggak ada salahnya kamu bertemu pelaku, Aini, tapi hal yang perlu kamu ingat bahwa sesuatu itu tergantung pada niatnya, maka kalau kamu berniat untuk memaafkan pelaku maka dendam sebesar apa pun akan kalah. Oh ya kebetulan pakdeku polisi, nanti aku coba minta bantuannya.” “Serius, Zid, makasih ya.” Aku mengangguk sembari tersenyum yang dibalas ramah oleh Zidni.

***

Hati diciptakan untuk menyempurnakan, tetapi jika hati tanpa ilmu, maka akal akan merusaknya. Semalam Zidni memberitahu aku bahwa pakdenya bilang kalau kejadian itu dulu pernah diusut oleh kepolisian, tetapi karena minimnya saksi yang membuat berhentinya kasus ini. Dari instruksi Zidni, aku sekarang berada di kantor kepolisian  dan aku mendapatkan titik terang lokasi rumah pelaku yang sebenarnya aku ingin menyerahkan ke kepolisian. Namun, aku tak sanggup membayar biaya administrasi.

Saat ini aku berada di desa Pulobali yang terletak di lereng Gunung Slamet, tempat yang masih sangat asri, tetapi entah kenapa hati ini tak dapat menahan emosi seakan-akan ingin membalas apa yang dilakukan oleh pelaku. Sebuah rumah yang mungkin luasnya setara dengan luas satu ruang kelas dengan tembok dari tripleks dan atap dari seng yang mulai termakan oleh karatnya.

Aku berjalan mendekati pelataran rumah itu, seorang anak kecil berumur sekitar enam tahun mendekatiku dan bertanya, “Mbak, golet sopo?” Lalu aku menjawab, “Bapak enten, Dek?” Anak kecil itu menganggukkan kepalanya dan mempersilakan aku masuk. 

Seorang laki-laki terbaring lemas dan di kakinya terbalut perban. Aku mendekatinya dan mengulurkan tanganku untuk bersalaman. Entah apa yang Allah rencanakan untukku, tak pernah ada rasa yang sedahsyat ini dan dendam yang kupendam kini hilang begitu saja. 

“Emm, saya dari lembaga kemasyarakatan ingin memberikan sedikit bantuan untuk keluarga Bapak, mohon diterima nggih, Pak.” Kuberikan uang jajanku sekitar tiga ratus ribu dan aku masih tak paham apa yang sedang aku lakukan. Bapak itu menerima uang itu dan berterima kasih seraya mengusap air matanya. Aku berbincang sebentar sebelum pamit, rasanya tidak mudah untuk menatap orang yang telah memberikan trauma besar dalam hidupku.

Balkon rumah menjadi tempat di mana aku masih tak menyangka akan kejadian kemarin, tak kuat rasanya bila mengatakan siapa aku sebenarnya dan terpaksa aku berbohong karena melihat kondisi pelaku yang memang Allah sudah merencanakan semuanya. Allah yang memberikan hati ini, maka Allah-lah yang berhak membolak-balikkan hati ini pula. Jauh sebelum kejadian kemarin rasanya hati ini terselimut dendam yang membara, bahkan aku sudah menyiapkan kata-kata apa pun itu agar dia tahu bahwa aku hancur dan hampir buta karena ulahnya, tetapi aku teringat saat aku membaca buku dari Zidni. Ada sebuah hadis riwayat Muslim yang artinya “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati.” 

Dan, mata ini tak mampu menatap dengan amarah seakan-akan menandakan api kedendaman itu telah padam. Lisan ini juga tak mampu mengeluarkan kata-kata kebencian karena akan menyakiti hati ciptaannya dan menzalimi pencipta-Nya. Aku sadar bahwa semua kejadian adalah kehendak Allah dan raga ini adalah miliknya, maka apa yang aku alami di masa lalu yang hampir membuat mataku buta menjadi pelajaran yang sangat penting bahwa mata ini adalah mata Allah buka mata Aini.

***

Tentang Penulis

Qurrotul Ainie atau yang lebih sering disapa Ani, merupakan perempuan kelahiran Tegal, 21 Juni 2004. Saat ini sedang menempuh pendidikan di UIN Purwokerto dan berdomisili dipesantren. Mengedit dan mengemil adalah hobinya yang dia tuang di Instagram @qurrtlanie dan cita-citanya bekerja di dinas pendidikan.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

1 komentar

Silakan menuliskan komentar dengan rapi dan sopan!
Comment Author Avatar
Senin, 05 Agustus, 2024 Delete
Good✨